Aceh dan Segala Kegilaan dalam Kewarasan
Michel Foucault, seorang pemikir parlente berkepala plontos, sejarawan, pasikoanalisis dan Filosof selalu melekatkan “Kegilaan” (madness) dengan Peradaban (Civilization). Manusia harus dibentuk, diarahkan dan dibuat patuh sesuai dengan kodratnya, jika sebuah peradaban berperan menjauhkan manusia dari kodratnya, maka sebuah peradaban hanya menciptakan sebuah “kegilaan” saja. Pemikir yang meneliti secara mendalam bagaimana kehidupan di rumahsakit, di penjara, membagi “kegilaan” kedalam tiga fase sejarah manusia :
1. Fase Renaisance (abad 15-16), di fase ini “gila” adalah sesuatu yang biasa, tidak dipertentangkan dengan akal, tidak dipertentangkan dengan moral, tetapi sebuah fenomena biasa saja. Karena pada masa ini, kenormalan itu adalah punya imajinasi yang tinggi, punya fantasi yang tinggi, bahkan jika tidak berada pada dua model ini, itulah yang dianggap tidak normal. pada masa ini “gila” tidak dipertentangkan dengan akal. Maksudnya, orang gila bukan berarti orang yang tidak berakal. Kegilaan adalah kebebasan berimajinasi dan masih menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Kegilaan pada masa ini dianggap dekat dengan kebahagiaan dan kebenaran. Kegilaan menjadi cermin yang mencopot topeng dari pengetahuan semu dengan segala pretensi dan ilusinya. Singkatnya, kegilaan menempati tempat yang tinggi karena dianggap mampu mencapai kebenaran lebih dari yang dicapai oleh rasio. Pada masa ini orang gila masih berbaur dengan masyarakat umum.
2. Fase Klasik (abad 16-17), pada fase ini, kegilaan dipertentangkan dengan rasio, orang yang gila adalah orang yang tidak punya akal, tidak punya rasionalitas (unreason), di fase ini orang gila adalah sesuatu yang tidak perlu di gubris, tidak perlu diperhatikan, sehingga biar tidak mengganggu harus dimasukkan kesebuah tempat yang bernama rumah sakit, rumah sakit menjadi rumah bersama bagi orang-orang yang dianggap tidak berguna ini.
3. Fase Paska Klasik (abad 18 keatas), pada masa ini “gila” dipertentangkan dengan moral, orang gila adalah mereka yang tidak patuh pada moralitas, pada fase ini, orang gila disediakan tempat khusus yang disebut dengan Asylum, disini, orang gila diajarkan bagaiman cara untuk tunduk dan patuh pada hokum moral. Disini, orang gila, dianggap orang yang jauh dari kodratnya sebagai manusia.
Foto by Philosufi.me |
Bagaimana dengan Aceh?
Aceh, jika melihat dengan kacamata Foucault ternyata melampaui semua fase itu, kegilaan tidak lagi pada manusia-manusia yang dianggap gila, tetapi kegilaan berada sebagian manusia-manusia yang dianggap masih normal dan wajar. Kegilaan disini bukanlah dibaca dengan gila pada fenomena fisik, tetapi fenomena perilaku yang sangat kontras dengan kenormalan. Kita melihat beragam kegilaan dalam wujudnya yang lain. Misalnya seorang bapak yang memperkosa anak kandungnya sendiri dan itu sudah sering terjadi di tempat kita, atau kegilaan lainnya adalah predator-predator anak yang berani melakukan sodomi terhadap belasan anak-anak yang menggantungkan asa mereka pada pendidikan namun yang menimpa mereka adalah kegilaan perilaku manusia dewasa.
Ketika bagi Foucault kegilaaan adalah persoalan kekuasaan, persoalan relasi kuasa, dimana dia berkesimpulan bahwa kegilaan adalah ciptaan kelompok elit untuk menyingkirkan pihak-pihak tertentu yang dianggap menghambat kepentingan mereka selaku kelompok elit, maka kelompok elit memang berperan menghadirkan kegilaan ditengah kita, elit menciptakan “gila agama” kepada orang-orang awam dengan memproduk segala narasi peraturan-peraturan moral, dengan tujuan agar kita semua gila dalam segala kodrat dan kenormalan selaku manusia, sedangkan elit terus meraup keuntungan dari kegilaan ummat itu.
Disini, peradaban yang dibangun adalah peradaban yang menjauhkan manusia dari kodratnya. Kebebasan adalah satu kodrat manusia, namun dengan segala justifikasi narasi akal teoritis agama, manusia semakin dijauhkan dari kodratnya sehingga peradaban yang di produk elit ini berperan besar menciptakan kegilaan yang membabi buta. Ketika hidup terus berjalan untuk bertahan sebagai mansia yang waras ditengah segala kegilaan, maka ini hanyalah satu sisi sederhana untuk melihat apa yang sedang terjadi disekitar kita, sederhana dalam arti, kita tidak akan tahu kapan semua ini akan diselesaikan oleh elit, itu jika kita tidak menghentikannya dan sampai kapan semua kegilaan ini akan dipelihara, jika kita tidak segera berbenah dan melawan dengan segala kewarasan yang masih kita punyai.
Semoga Aceh terus maju, Aamien...