“Gnauti Seuaton, Meden Agan", Sang Sufi Socrates dan Bagaimana Kita memahami manusia
Yunani, adalah sebuah “anamnesis” atau sebuah ingatan. Negara asal “Gank of Three” (Socrates, Plato, Aristoteles) ini sering menuntun kita untuk menginat-ingat lagi bahwa manusia adalah misteri terbesar dan memahaminya adalah pekerjaan paling tua di dunia. Untuk memahami manusia, seorang Socrates telah memahat dan mengajarkan hikmah ini kepada anak-anak muda Athena dengan kalimat “Gnothi SeAuton Meden Agan” (Kenalilah dirimu, dan jangan berlebih-lebihan). Kalimat ini dapat dijumpai ketika kita memasuki gerbang kuil Delphi, 70 KM utara Athena yang berada ditengah lereng-lereng gunung.
Sumber Foto : Google |
Pius Pandor, dalam “Ex Latina Claritas”, memaparkan bahwa bagi Sokrates, salah satu metode yang dapat mengantar orang pada pengenalan akan diri sendiri adalah metode dialektika. Metode ini berusaha mengantar orang dari tahap pemikiran yang sempit atau dangkal menuju pengertian yang dalam dan sejati, dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sanggahan, debat dan penajaman persoalan-persoalan. Sokrates sangat meyakini bahwa pengenalan akan diri sendiri merupakan kunci utama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lain yang ada dalam hidup sehari-hari. Misal, untuk menjawab pertanyaan apa itu kebenaran?, apa itu kejahatan?, apa itu keadilan? dan banyak pertanyaan lainnya, maka hal pertama yang dilakukan adalah mengenali diri sendiri.
Mengenli diri sendiri adalah pintu masuk untuk mengetahui “semua” yang lain. Mengenal diri sendiri pertama-pertama berarti memahami siapa diri kita sebenarnya. Setelah mengenal siapa diri kita, maka tahap berikutnya adalah menerima siapa diri kita, dari penerimaan diri, kita diajak untuk merealisasikan diri sehingga menjadi pribadi yang utuh dan otentik, sangat fenomenologis, tanpa tafisr kepentingan lainnya diluar manusia itu sendiri. Setelah kita mengenal diri sendiri lewat pemahaman akan diri sendiri secara utuh dan otentik, kemudian beranjak pada penerimaan dan aktualisasi diri, maka kita akan dituntun untuk mengenal sesama dan kebenaran-kebenaran penting lainnya dalam ruang kehidupan, pada episentrum ini, bagi kita, orang lain adalah diri kita yang berada di luar.
Sumber Foto : Google |
Untuk memahami ini, ungkapan Sokrates yang terkenal adalah “Hidup yang tidak direnungkan atau diperiksa tidak layak untuk dihidupi” (Apologia, 38a), Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang membuat hidup manusia bisa menjadi semakin berkembang dan meluas, terbuka dan terhubung kepada berbagai titik temu-titik temu. Dan ini juga yang akan mengantar manusia pada kedalaman.
Mengapa kita harus memahami Manusia?
Memahami manusia lalu menjadi hal yang sangat penting karena terkait dengan bagaimana memperlakukan manusia, salah memahami manusia, maka berakibat pada salah memperlakukan manusia. Selama ini, di tempat kita, manusia selalu di pahami bukan dengan manusia itu sendiri, tetapi dengan tafsir kekuasaan. Manusia akhirnya di pahami menurut negara yang berkongsi dengan para agamawan, sehingga manusia diperlakukan untuk tunduk dan patuh pada segudang peraturan yang irrasional bahkan tidak bagi manusia, tapi bagi malaikat sekalipun. Jarang sekali kita dapati manusia dipahami dengan manusia itu sendiri, dan diperlakukan sebagai manusia itu sendiri, sehingga dari perkongsian sangat jahat ini, mereka berani memenjara manusia tanpa ada kesalahan sama sekali, memenjara manusia dengan membunuh potensi paling utama pada manusia yaitu kebebasannya.
Nietsche, sebagai sebuah manusia dinamit sangat marah dengan perlakuan manusia seperti ini, sehingga dia berkata bahwa “ negara adalah penghalang tertinggi bagi manusia untuk merealisasikan dirinya”, sejatinya manusia yang ingin merealisasikan diri sesuai dengan potensinya adalah kebudayaan mutlak dan independen, dimana dalam kacamata Nietsche, negara yang datang dan kemudian mengintervensi kebudayaan manusia itu maka negara itu bisa ditempatkan dibawah kaki dan kemudian bisa diinjak-injak. Seturut dengan ini bahkan jauh sebelumnya, Platon telah mendefisnikan bahwa adil itu adalah membiarkan “manusia mengerjakan sesuatu sesuai dengan apa kapasitas dan keahlian yang dia punyai”, artinya manusia harus diperlakukan bebas sesuai dengan kapasitas yang dia punyai.
Kita memang tidak lahir untuk memuja sokrates, tetapi Sokrates mengajarkan sesuatu yang penting bagi manusia ketika melawan kaum Sophis yang mengajarkan bahwa kebenaran adalah sesautu yang relatif, sedangkan bagi Sokrates kebenaran adalah sesuatu yang mutlak, kebenaran adalah kebenaran itu sendiri, tunggal, mutlak. Sehingga sokrates mempertanggung jawabkan kebenaran yang bagi dia “ilahi” itu dengan menenggak racun cemara. Sokrates tidak mau mengkompromikan antara kebenaran yang dia yakini ilahi dengan kebenaran perkongsian antara kekuasan dengan pengetahuan yang diwakili kaum sophis
Heidegger memahami manusia dengan “keterlemparan”, manusia ada begitu saja. manusia tidak tahu dia dari mana dan hendak mau kemana, sehingga akibatnya manusia menjadi cemas, emosiaonal, mudah marah dan ketakutan. Bagi Heidegger , manusia itu harus dipahami dengan “Dassein”, “Ada disana, (Being There) ada di sana. Manusia itu sangat unik, tidak tergantikan dan tidak bisa digantikan. Kepercayaan yang mengatakan manusia berasal dari Tuhan, bagi Martin Heideggervhanyalah prasangka saja melalui sosialisasi. Dalam pengertian Heidegger memahami bukanlah sesuatu yang dimiliki. Kita berada di dalam dunia ini dengan memahami. Dalam Sein und Zeit kita baca drama berikut: Dasein terlempar ke dunia ini, maka ia tak lain daripada In-der-Welt-sein (Berada-di-dalam-dunia). Kenyataan bahwa dia ada begitu saja di dunia ini menghasilkan kecemasan eksistensial (Angst).
Martin Heidegger Sumber Foto : Google |
Keterlemparan (Geworfenheit) itu telah ada sebelum ada perbedaan subyek dan obyek pengetahuan, maka di sini memahami bukanlah aktivitas cogito atau kesadaran Cartesian yang mendasari konsep modern tentang subjectum, melainkan merupakan tindakan primordial pra-reflektif, sebagai konsekuensinya memahami juga bukanlah alat untuk mengetahui dunia, melainkan keterbukaan Dasein sendiri terhadap dunia dan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk berada dalam dunia. Kita tidak berlebihan mengatakan bahwa bagi Heidegger memahami tidak lain daripada Dasein itu sendiri. Berada di dalam dunia tidak bisa lain kecuali memahami. (F. Budi Hardiman, 2014)
Sebagian manusia tentu sangat marah dengan Martin Heidegger, apalagi bagi manusia yang beragama, namun ada sebagian manusia lain yang maju, punya pengetahuan tinggi bahkan mendominasi dunia dengan menginternalisasi pikiran Heidegger ini. Bahkan, dalam catatan hitam dan putih sejarah manusia, yang penuh romansa, kebrutalan, bahkan pembantaian, salah satu memori kita adalah “nazi”. Sebagian besar fondasi gerakannya terinspiraqsi dari Heidegger dengan “manusia sebagai ada dan pengada”, dan Karl Friedrich Nietzsceh dengan “ubermensch” nya.
Dimana kita?
Ada sejumah alat dan instrumen untuk memahami manusia. Memahami manusia dengan kaca mata Tuhan adalah memahami manusia dengan kasih sayang karena manusia adalah kreasi Tuhan yang paling sempurna dan indah bagi orang-orang yang percaya bahwa Tuhan itu ada. Lalu mengapa sebagian manusia memahami manusia lain dengan kebencian bahkan kemurkaan, jawabannya adalah karena manusia sering terjebak, bahwa dia merasa telah memahami manusia dengan kacamata cinta, namun manusia merasa bahwa kacamata cinta itu adalah Tuhan (Agape), padahal dia memahami dengan cinta hawa nafsu nya (eros), manusia terbirahi dengan nafsunya dan merasa bahwa itu berangkat dari cintanya kepada Tuhan, tetapi sejatinya hanyalah hawa nafsunya saja, lalu dimanakah Tuhan disini?, Tuhan telah meninggalkannya bahkan jauh sebelum dia berkata apapun kepada manusia lain yang dibencinya.
Puluhan tahun sudah kita hidup, kita punya berbagai catatan bahwa kita hidup dalam berbagai aroma kebencian yang selalu dipaksakan ada dipermukaan sebagai sebuah keharusan dan kewajiban kebenaran. Tanpa sadar dan tanpa melawan, kita terus hidup di dunia millenial ini tetapi dengan “narasi jahiliyah” yang dibangun mereka, diantaranya adalah perkongsian tadi, begitu misoginis nya mereka menjalankan kekuasaan di tempat kita, lihatlah betapa bencinya mereka pada tubuh perempuan dan apapun yang berkaitan dengan perempuan. kita selalu defisit, kekurangan cara , alat dan kesanggupan untuk memahami manusia dengan kacamata Tuhan dan selalu surplus, lebih, dan berlebihan dalam memahami manusia dengan nafsu birahi dan nafus kebencian, kita selalu kurang dalam meahami manusia dengan Tuhan dan berlebihan dalam memahaami manusia dengan agama. lalu dengan model begini kita menghabiskan umur kita untuk masa depan?