Ber Islam “Karnaval” dan Ber Islam “Sandiwara”


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman

Kita tentu sering melihat sebuah karnaval, karnaval adalah arak-arakan dengan memakai berbagai jenis pakaian yang unik dan menarik. Misal, karnaval 17 Agustusan yang sebentar lagi akan dihelat, semua memakai berbagai macam busana yang tidak biasa dipakai, mulai dari pakaian adat berbagai daerah, berbagai pakaian seragam, pakaian olah raga, pakaian kebesaran dan sebagainya. Namun kegiatan ini hanya seharian saja, setelah berpawai, berkeliling, setelah di tonton banyak orang, pakaian tersebut dilepas lagi dan mereka berpakaian lagi dengan pakaian mereka yang asli. Artinya, pakaian yang dipakai dalam karnaval itu hanyalah untuk dipamerkan, dipertontonkan saja, maka setelah itu dilepas dan dikembalikan, karena kebanyakan pakaian itu hanya disewa.


Betapa banyak ketika berislam hanya memakai pakaian sementara saja, bukan pakaian yang sebenarnya, pakaian supaya dikagumi, pakaian supaya di hormati, bahkan pakaian untuk menakut-nakuti umat, namun kapasitas mereka tidak sesuai dengan pakaian yang dipakai, orang Aceh mengatakan “khen pakaian droe dank hen seuneuduek droe”.

Sumber Foto : Google

Kemudian lihatlah sebuah panggung sandiwara, semua bisa berperan menjadi apa saja, seorang tukang sapu misalnya, dalam sebuah panggung sandiwara, asal dia berani, peunya kemampuan berbicara, apalagi memperdaya, maka dia dapat berperan menjadi raja, ketika menjadi raja, menjadi orang terhormat, dia begitu diagung-agungkan, dia di sorak sorai oleh para penonton, namum apa yang terjadi setelah itu, pakaian itu harus dilepas kembali, dia kembali menjalani profesi aslinya sebagai seorang tukang sapu. Dalam kehidupan kita, ada banyak sekali orang-orang yang seperti ini, kita segera terperdaya dengan pakaiannya, dengan ilmunya, padahal dia hanya bersandiwara, aslinya bukan seperti itu. Betapa banyak kita dapati dikehidupan kita, orang-orang yang berani mengatas namakan Tuhan dalam bicara aqidah, dalam bicara akhlak, padahal dia hanya sedang bersandiwara, memainkan peran sementara saja, setelah layar panggung di tutup, dia kembali ke aktifitas dia sebenarnya, apakah itu tukang sapu, tukang ngepel lantai atau tukang bawa proposal

Ulama syariat itu ada banyak sekali, kita selalu berkelimpahan bahkan berlebihan ahli-ahli syariat dan ahli-ahli kitab, namun kita selalu kekurangan bahkan langka sekali bisa menemuka ulama hakikat “ahli makrifat” yang benar-benar pelaku dan sudah mencapai tingkatan makrifat. Lalu dengan apa ahli syariat memaknai “aqidah itu”, hanya dengan ucapan, perkataan atau lansung dengan cahaya “Allah” seperti yang dipraktekkan oleh ahli makrifat

Islam karnaval adalah Islam yang di peragakan, Islam yang ditampilkan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak punya otoritas atau kapasitas baik secara ilmu, akhlak maupun otoritas spiritual, tetapi dikemas, dikondisikan, di create bahwa dia punya otoritas spiritual dengan menampilkan tampilan-tampilan luar . padahal sosok yang punya otoritas spiritual adalah sosok yang memahami manusia seperti melihat cermin dan bisa melihat kekotoran hati manusia sedangkan yang tidak punya otoritas spiritual, hanya memahami manusia bukannya membersihkan hati manusia, tetapi malah semakin membuatnya kotor dan semakin berpanyakit, yaitu penyakit hati, mereka hanya punya kemampuan menakut-nakuti manusia dengan pakaian karnaval dan dengan peran sandiwaranya.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :