Sufi ; Masa Depan Spiritualitas


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman 

Agama yang cocok untuk dunia modern adalah model keberagamaan kaum sufi. Demikian catatan Arnold dalam bukunya “The Corrupted Science, Challenging the Myths of Modern Science”. Menurutnya, keberagamaan kaum sufi dinilai sangat humanis, inklusif, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip antropis dan hukum alam. Sepintas, pernyataan tersebut sangat menarik dan menantang, karena selama ini pemahaman yang berkembang di kalangan umat Islam secara umum dan kaum pembaharu khususnya, bahwa kaum sufi adalah penyebab kemunduran Islam. Apa yang dikemukakan Arnold ini Kemudian memunculkan berbagai macam pertanyaan, benarkah pernyataan tersebut? Apa bukti-bukti pendukungnya? dan bagaimana hal itu bisa terjadi?. Terlepas dari pergumulan di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang jelas dan perlu disikapi bahwa ada gejala dan fenomena baru yaitu posisi kaum sufi di dunia modern semakin penting.

Sumber : Google
                  
Dimana pun dan kapanpun manusia hidup, mereka akan senantiasa berhadapan  dengan tiga masalah yang tak terelakkan, bagaimana memperoleh makanan dan tempat tinggal dari lingkungan sekitarnya (masalah alamiah), bagaimana hidup bersama dengan orang lain (masalah sosial), dan bagaimana berhubungan dengan kerangka keseluruhan hidup (masalah religius/spiritualitas). Ketiga masalah itu sudah sangat jelas, tetapi ketiganya menjadi menarik kalau kita menyejajarkannya dengan tiga periode  besar dalam sejarah umat manusia yaitu periode tradisional (sejak awal mula manusia sampai bangkitnya sains modern), periode modern (sejak titik sains dan terus sampai paruh pertama abad ke – 20), dan postmodernisme (yang sudah diramalkan Nietzsche, yang baru menjadi nyata pada paruh kedua abad ke – 20).

Selanjutnya Pada era globalisasi masa kini, umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yaitu pluralisme agama, konflik intern atau antar agama dan universalisme spiritualitas. Dimasa lampau, kehidupan keagamaan relatif lebih tenteram karena umat-umat beragama bagaikan kamp-kamp yang terisolasi dari tantangan-tantangan dunia luar. Sebaliknya, masa kini tidak sedikit pertanyaan kritis yang muncul yang harus ditanggapi oleh umat beragama yang dapat dikalsifikasikan rancu dan merisaukan sebagai akibat dari globalisasi.
Sebagai konsekuensinya, munculnya banyak model agama baru, lahir pula serangkaian pertanyaan, antara lain, apabila tuhan itu esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja ?. apabila pluralism agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana diantara agama-agama ini yang benar, atau semuanya sesat. cara dan pendekatan apa yang harus saya tempuh, konfrontatif atau persuasifkah ?. pada akhirnya serangkaian pertanyaan ini ditutup dengan suatu renungan besar                                                  yang merisaukan : mengapa aku memeluk suatu agama dan tidak ikut agama lain ?.
Ternyata sejak dulu sampai sekarang umat manusia memerlukan pemecahan terhadap persoalan-persoalan diatas, yang hari ini pasti semakin kompleks. Selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalih demi mencapai ridha tuhan dan demi menyebar luaskan kabar gembira yang bersumber dari yang maha kuasa. Fenomena ini bahkan terus berlanjut sampai hari ini.
Globalisasi telah menyebabkan perubahan yang begitu besar dan pesat di dunia ini. Perubahan itu tidak hanya terjadi dalam bidang teknologi atau perlengkapan modern saja, akan tetapi globalisasi juga telah menyebabkan perubahan dalam bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan keagamaan. Perubahan-perubahan tersebut mengalami transformasi yang pengaruhnya bisa menimpa ke semua aspek kehidupan, entah itu pengaruh baik atau buruk. Banyak sekali orang yang dipaksa masuk dalam tatanan global walaupun kebanyakan dari mereka tidak memahaminya, tapi dampaknya bisa mereka rasakan.

Namun, dengan segala keterbukaan dan kemutakhirannya, era globalisasi dan era modernisme ini telah mengalienasi manusia dari dunia otentik dan suci sebagai titik awal bergerak, yang juga merupakan naluriahnya manusia sebagai makhluk agamis. Sehingga lahirlah gerakan postmodernisme, akibat rasa cemas terhadap janji-janji  gerakan modern yang dianggap gombal. Pada prinsipnya postmodernisme menggugat gerakan modern yang dinilai telah gagal mencapai sasarannya, bahkan telah menimbulkan frustasi dan kebingungan dimuka bumi.

Posmodernisme menyanggah superioritas masa kini atas masa lampau (modern atas pra-modern). Karena itulah gerakan ini menghidupkan kembali relevansi nilai-nilai tradisional suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh modernitas dan dinilai tidak berguna. Semangat baru kembali ditiupkan kepada nilai-nilai tradisional keagamaan. Mitos keunggulan rasionalitas digoyahkan untuk kembali kealam yang lebih suci dan otentik. Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irrasionalitas. Dengan penekanan terhadap keunggulan rasio atau emosi, akal atas hati, modernitas telah menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu modern telah berhasil meruntuhkan otoritas agama dan mengkalim monopoli kebenaran.

Sebaliknya, kaum postmodern yang tidak sabar dengan kegagalan sains modern mengaktualisasikan janjinya, menuding kaum modern justru melestarikan pemusnahan manusia dan lingkungannya. Pandangan hidup sains modern telah gagal menuntun manusia kearah yang lebih cerah, ini disebabkan karena dimensi metafisika (keagamaan) dalam eksistensi manusia telah dilupakan, sebagaimana halnya aspek etika normatif tidak mendapat tempat dalam dunia modern.
Ada keidentikan nilai-nilai yang dicanangkan oleh gerakan post modern dengan nilai-nilai agama. Asumsi gerakan modern yang menempatkan pemikiran atau akal diatas wahyu, atau bahkan mengesampingkan wahyu sama sekali, merupakan salah satu gugatan yang mempertemukan kelompok agamawan dan penganut gerakan posmodernisme. Penolakan kaum agamawan dan para posmodernis akan kemampuan akal untuk mencapai kebenaran menempatkan iman atau tradisi keposisinya semula.

Para arsitek postmodern Eropa dan Amerika menggunakan motto Presence of the past (kehadiran nilai masa lalu), maka kehadiran nilai masa lalu itu tidak lain adalah sense of numinous (rasa keagamaan) atau fitrah dalam peristilahan Al-Qur’an, yang mengarah kepada konsep kepercayaan kepada monoteisme, yang dikenal dalam Islam sebagai konsep fitrah keimanan manusia kepada Allah, sebagaimana terekspresi dalam perjanjian primordial antara Tuhan dan manusia (QS 7 : 172).

Gerakan intelektual ini telah membawa perubahan dalam kehidupan sebagai manusia modern. Tidak puas dengan capaian yang diraih, mereka kembali berpaling kepada agama dan nilai-nilai transendental untuk mengisi kekosongan jiwa mereka. Sehingga gerakan postmodern ini secara tidak lansung menghidupkan kembali pamor agama, sehingga berkembanglah secara pesat New Age Religion (Agama Masa Kini) didunia barat sebagai indikasi dari pengaruh kegagalan dunia modern sekular disatu sisi dan bangkitnya gerakan tandingan postmodern disisi lain.

Zaman Baru
Banyak orang yang menyebut zaman tersebut adalah zaman baru, atau New Age, yaitu suatu zaman yang ditandai dengan pesatnya perhatian terhadap dunia mistik-spiritualitas. Semboyan yang ditulis oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000 yang menyebut slogan New Age dengan Spirituality Yes!; Organized Religion, No!, memang menandakan besarnya perhatian pada kecendrungan tersebut, khususnya pada manusia Barat yang tiba-tiba saja begitu haus dengan spiritualitas Timur.

Berkaitan dengan agama, jelas bahwa tantangan paling besar dalam kehidupan keberagamaan di era New Age ini adalah bagaimana seorang beragama bisa mendefinisikan dirinya ditengah agama-agama lain, yang juga eksis dan punya keabsahan. Padahal teologi selama ini telah di set-up dan kemudian sejarah mengekstremkan hal tersebut dalam suatu kondisi non-pluralis bahwa hanya agama sayalah yang benar, yang lain salah atau telah menyimpang.

Terjadinya konflik antar agama pada tataran idealnya terjadi akibat adanya double standar (standar ganda), klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan (truth salvation). Seperti yang terjadi dalam hubungan Islam-kristen yang sering menimbulkan suasana saling manjadi ancaman antara keduanya. Maksudnya, baik Islam maupun Kristen, selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, sedangkan penilaian terhadap agama lain, memakai standar lain, yang lebih realistis dan historis. Melalui standar ganda inilah, muncul prasangka-prasangka sosiologis dan teologis, yang pada tahap selanjutnya memperkeruh hubungan antar umat beragama. Dalam masalah teologi misalnya, standar yang menimbulkan kebingungan itu adalah standar bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain adalah hasil konstruksi manusia, atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tetapi telah dirusak oleh konstruksi manusia. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam derajat keabsahan teologis di bawah agama kita. Sehingga lewat standar ganda inilah sering muncul perang klaim kebenaran (claim of truth), klaim dan perang klaim keselamatan (claim of salvation).
Fenomena mutakhir yang menarik dewasa ini , khususnya berkenaan dengan kesadaran baru New Age itu , makin disadari bahwa hanya dengan melepas perang klaim kebenaran dan penyelamatan yang berlebihan dan mengoreksi diri tentang standar ganda yang sering dipakai oleh seorang penganut agama terhadap agama orang lain dan selanjutnya memperluas pandangan inklusif agamanya itu, maka agama-agama akan mempunyai peran penting di masa depan, dalam membangun dasar spiritualitas dari peradaban masyarakat. Jadi yang paling menarik dari fenomena agama di masa New Age ini adalah perhatian yang besar sekali dari kalangan agamawan terhadap mistisime-spiritualitas.

Fenomena ini, jelas akan memberi implikasi besar terhadap pertemuan agama-agama pada tingkat teologis, bahkan mistis sebagai fenomena global saat ini. Kesatuan transenden agama-agama pada level esoterik adalah kemutlakan global saat ini, dimana kita hidup tidak lagi sebagai manusia-manusia individual yang terbatas pada golongan, suku, etnis, ras dan agama tertentu, tapi adalah sekumpulan masyarakat global, masyarakat dunia yang punya satu tujuan bersama yaitu terciptanya kebaikan dan kemaslahatan di bumi ini. Disini juga letak menariknya bahwa garis-garis besar filsafat perennial sama persis dengan pesan agama-agama dalam konteks New Age yaitu bahwa agama sebenarnya tidak membawa sesuatu yang baru. Setiap agama membawa yang asli, yang telah dilupakan, tetapi kini perlu diingat kembali. 
Berbicara pada tingkatan ini, berarti kita juga berbicara pada tingkatan agama-agama yang tidak terorganisir, karena agama-agama yang terorganisir telah merusak dan menghancurkan satuan-satuan masyarakat dan kemanusiaan secara menyeluruh, karena nilai transenden yang bisa mempertemukan banyak agama terutama pada tingkatan mistis, telah melampaui agama-agama yang terorganisir, sehingga akan mengilhami suatu spiritualitas yang lebih merangkul semua orang, semua manusia.
Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali kepada dunia spiritual ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama dan kerohanian. Munculnya fenomena ini cukup menarik dicermati karena polanya jauh berbeda dengan agama-agama mainstream (agama formal), kalau tidak dikatakan malah bertentangan. Sehingga seperti dikatakan oleh Naisbitt dan Aburdene adalah semata-mata persoalan "spiritualitas" bukan "organized religion" (agama yang terorganisir). Corak keberagamaannya cenderung bersifat pencarian pribadi, lepas dari agama-agama di sana, seperti Kristen, Budha, dan lainnya.
Sufi dan Masa Depan Spiritualitas Agama

Lalu bagaimana dengan eksistensi dan posisi tasawuf pada saat ini dalam kaitannya dengan model gerakan spiritulitas masyarakat zaman baru (New Age) ?. Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan perkembangan spiritualitas global saat ini, perkembangan memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama (Hinduisme, Buddhisme, Taoisme, mistik Kristen, new age, spiritualitas dari kearifan lokal dan seterusnya), yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru. Inilah yang disebut Marilyn Ferguson sebagai The Aquarian Conspiracy (konspirasi Aquarius) yang menjadi pertanda dari kebangkitan tasawuf di era milenium.

Ketertarikan terhadap tasawuf pada tahun-tahun terakhir ini meningkat tidak hanya dikalangan orang-orang awam, tetapi juga dikalangan orang-orang terpelajar dan mapan secara ekonomis. Diantara alasan-alasan yang mendorong perhatian pada tasawuf adalah keberantakan sistem nilai dunia modern yang lebih kurang homogen, rasa tidak aman menghadapi masa depan, ketidak pahaman tentang pesan agama (Islam) yang kandungan ajaran-ajaran batiniahnya semakin tidak dapat dicapai, dan kerinduan pada sebuah visi dunia spiritual dalam suatu lingkungan yang semakin merosot kualitasnya. Kegandrungan terhadap tasawuf ini sekaligus mencerminkan kegagalan formalism agama-agama mapan.
Dalam konteks dunia hari ini, penting memahami keimanan dengan kedamaian dan perdamaian. Dalam hal ini, tasawuf coba menanggalkan klaim kebenaran. Bahkan, tasawuf bermaksud melampaui “perangkap” perdebatan tentang Tuhan, beralih dari upaya memahami, keupaya mencintai Tuhan.
Tasawuf memang mempunyai filsafat yang begitu mendalam mengenai spiritualitas dan segi-segi religiusitas keberagamaan, sehingga kepuasan spiritual bisa diperoleh dari tasawuf positif ini, di tengah ancaman keberagamaan yang sakit yang muncul karena otoritarianisme dalam beragama. Tasawuf menjanjikan penyelamatan. Apalagi di tengah berbagai krisis kehidupan yang serba materialis, hedonis, sekular, plus kehidupan yang kian sulit secara ekonomis maupun psikologis, Tasawuf memberikan obat penawar ruhani yang memberi daya tahan. Dalam wacana kontemporer, sering dibahas tasawuf sebagai obat mengatasi krisis keruhanian manusia modern yang telah lepas dari pusat dirinya, sehingga ia tidak mengenal lagi siapa dirinya, arti dan tujuan dari kehidupan di dunia ini. Ketidakcjelasan atas makna dan tujuan hidup ini memang sangat tidak mengenakkan dan membuat kegelisahan dan penderitaan batin. Maka mata air tasawuf yang sejuk memberikan penyegaran dan penyelamatan pada manusia-manusia yang terasing itu. Ajaran spiritualitas Islam atau sufisme mempunyai signifikansi yang kuat bagi masyarakat milenial - kontemporer, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dan kini upaya pemenuhannya kian mendesak. Mereka mencari-cari, apa yang cocok bagi mereka dan itu adalah model keberagamaan kaum sufi.  


Next Post Previous Post
1 Comments
  • Unknown
    Unknown 31 Agustus 2019 pukul 15.30

    Mantap bg

Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :