Kekuasaan, Kebebasan dan Hak-hak Rakyat dalam Islam



Oleh : Teuku Muhammad Jafar sulaiman

Pada suatu malam, ‘Umar ibn Khattab melakukan ronda malam bersama ‘Abdullah ibn Mas’ud. Pada suatu tempat yang terpencil mereka melihat kerlipan cahaya di sebuah rumah. Dari rumah tersebut sayup-sayup terdengar suara orang yang tersembunyi. Keduanya menuju ke rumah tersebut. Diam-diam Khalifah Umar menyelinap masuk. Khalifah melihat seorang tua yang sedang duduk santai, di depannya ada cawan minuman dan seorang perempuan yang sedang bernyanyi. Khalifah ‘Umar kemudian menampakkan diri dan menghardik, “belum pernah aku melihat pemandangan seburuk yang kulihat malam ini. Seorang tua yang menanti ajalnya. Hai musuh Allah, apakah kamu mengira Allah akan menutup aibmu padahal kamu berbuat maksiat?”.

Diluar dugaan, orang tua tersebut menjawab: “Janganlah tergesa-gesa ya Amirul Mukminin. Saya hanya berbuat maksiat satu kali. Anda menantang Allah sampai tiga kali. Tuhan berfirman, “Jangan mengintip keburukan orang lain” (Q.S. al-Hujurat: 12), anda telah mengintip. Tuhan berfirman “masuklah ke rumah-rumah dari pintunya (Q.S. al-Baqarah: 189), anda telah menyelinap masuk, dan anda masuk ke sini tanpa izin, padahal Allah berfirman: “janganlah kamu masuk ke rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya (Q.S. An- Nur: 27).
Sumber : Google
Kemudian Khalifah berkata: “kamu benar orang tua”. Ia keluar dan menggigit pakaiannya sambil menangis, “celaka kau Umar, jika Allah tidak mengampunimu. Ada orang yang bersembunyi dari keluarganya. Sekarang ia akan berkata, “Umar mengetahuiku, kemudian keluarganya menguntitnya”.
Paska kejadian tersebut, selama beberapa waktu, orang tua (yang ternyata adalah jamaah majlis Umar Bin Khattab) itu tidak pernah menghadiri majlis ‘Umar. Tiba-tiba pada suatu hari ia datang dan duduk di barisan paling belakang, seakan dia bersembunyi dari pandangan Khalifah Umar. Tetapi Umar melihatnya dan memangilnya. Orang tua itu berdiri dengan penuh kekhawatiran bahwa khalifah akan mempermalukannya di depan umum dengan apa yang pernah dilhatnya. Umar menyuruhnya mendekat, Khalifah kemudian berkata, “dekatkanlah telingamu padaku”. Lalu Umar berbisik, “demi Yang mengutus Muhammad dengan haq sebagai Rasul! Seorangpun takkan kuberitahu apa yang kusaksikan pada dirimu. Begitu pula Ibn Mas’ud yang berada bersamaku ketika itu”.
“Ya Amirul Mukminin, dekatkan pula telingamu”, kata orang tua itu. giliran dia berbisik, ”Begitu pula saya. demi Yang mengutus Muhammad dengan haq sebagai Rasul, saya tak pernah kembali pada perbuatan itu sampai aku datang ke Majelis ini.” Mendengar itu, Umar mengucapkan takbir dengan suara keras. Orang-orang yang hadir tidak tahu kenapa dia bertakbir.
Peristiwa ini, sangat makruf di kalangan umat Islam. ini menunjukkan bahwa bagaiamana pada masa awal Islam, rakyat dan penguasa menyadari betul hak-hak mereka. Sang orang tua dengan berani menegur Umar, sang penguasa yang menganggap Umar telah melanggar apa yang disebut sekarang sebagai hak-hak rakyat. Tidak canggung-canggung ia menyebut pelanggaran yang dilakukan itu sebagai maksiat.
Umar dianggapnya telah melanggar tiga hak rakyat: hak akan kebebasan, hak akan kehormatan, dan hak milik. Lebih menarik lagi adalah penyesalan Umar. Sebagai penguasa, ia menyadari betul bahwa perhatiannya pada keamanan dan ketertiban begitu berlebihan sehingga melanggar hak-hak rakyat tidak pada tempatnya. Pemimpin seperti ini, saat ini sulit sekali kita temui, bukan berarti tidak ada, karena sejarah pasti akan menyediakan anak-anak terbaiknya sebagai pemimpin yang sadar bahwa kekuasaan ada batasnya dan rakyat punya kebebasannya sendiri yang pada level tertentu tidak boleh di ganggu gugat oleh kekuasaan.
Terkait dengan peristiwa ini, kita kemudian juga dapat melihat dokumen yang di tulis oleh Khalifah Ali ibn Abi Thalib, yang ditujukan kepada para pemimpin. Ali menulis:
“biasakanlah hati-mu menyayangi rakyatmu. Janganlah berdiri diatas mereka seperti binatang rakus yang ingin menerkam mereka. Ada dua jenis rakyat-mu : satu saudaramu dalam agama dan satu saudaramu sesama makhluk. Sewaktu-waktu mereka dapat berbuat salah, baik sengaja maupun tidak sengaja. Janganlah berkata : r“saya telah diberi kekuasaan, karena itu saya harus dipatuhi ketiak saya memerintah, karena hal itu menimbulkan kebingungan dalam hati, melemahkan rasa beragama, dan membawa orang kepada kehancuran. Berbuatlah adil karena Allah, dengan berbuat adil kepada rakyatmu. Walaupun itu bertentangan dengan kepentinganmu, kepentingan orang-orang yang dekat denganmu, atau kepentingan orang-orang yang kamu sukai. Jika kamu tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Bila kamu menindas makhluk Allah, bukan saja makhluk-Nya, tapi Allaj pun akan menjadi Musuhmu” (George Jordac, Ali wa hawt al-‘Adilaj al-Insaniyat, Bayna Ali wa al-Tsawrat al-Faransiyah, Beirut ; dar al Maktab al-Hayat, 1970).
Realitas Aceh: Kekuasaan, Perlawanan dan Hak Rakyat.
Pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan merupakan narasi sejarah yang menjadi penanda paling primordial dalam sejarah manusia. Kekuasaan dalam banyak hal tidaklah otonom dan berdiri sendiri tetapi merupakan proses negosiasi antara berbagai kebaikan bahkan juga dengan kejahatan, yang dalam banyak sejarah sering di menangkan oleh yang jahat. Dalam narasi besar ini, kekuasaan selalu mendapatkan padanan kata “perlawanan”, jika kekuasaan berlebihan di gunakan. Di sisi lain, kebebasan tidak kalah heroisnya dengan cerita-cerita penaklukan dan imperialisme kekuasaan. Mulai dari sejarah para Nabi yang membumikan keadilan Ilahi berupa pembebasan yang sejarahnya sampai kedalam rumah dan kamar kita sampai kepada konteks hari ini baik perlawanan secara tersembunyi maupun perlawanan terbuka dan terorganisir di ruang-ruang publik.
Sedemikian agungnya kebebasan dalam arti kedaulatan hak rakyat dalam Islam, yang tidak boleh sembarangan di ambil oleh penguasa dengan kekuasaanya. Kekuasaan yang berlebihan akan melahirkan perlawanan, kekuasaan yang mampu dibatasi justru akan menghadirkan kecintaan rakyat pada pemimpin dan melahirkan kasih sayang pemimpin kepada rakyat.
Perlawanan tetap akan hadir ketika kekuasaan di maknakan sebagai sebuah “milik”. Ketika kekuasaan sebagai di praktekkan sebagai “milik”, maka perlawanan akan menguliti bagaimana kekuasaan bekerja (operasionalisasi kekuasaan). Kebebasan tidak hanya berarti ketunggalan dalam otonomi kebebasan individu rakyat, juga tidak hanya keleluasaan untuk merayakan kebudayaan-kebudayaan rakyat, tetapi dalam maknanya yang paling dalam dan hakiki, “perlawanan terhadap kekuasaan yang merampas hak rakyat secara berlebihan adalah “kebebasan”.
Dalam kisah Khalifah Umar dan orang tua di atas, kita mendapat pelajaran penting, bahwa pentingnya pengetahuan dan pentingnya kedaulatan pengetahuan. Penguasa yang punya pengetahuan tahu hak-haknya dan tahu hak rakyat, demikian juga dengan rakyat tahu mana batasan penguasa dan tahu sampai dimana kebebasannya. Di ruang publik kita saat ini, maka bicara kebebasan bukanlah bicara “kebebasan kehendak” tetapi bicara tentang hak untuk bebas yang juga di miliki oleh rakyat. Kebebasan bukanlah pemberian penguasa, sehingga tidak boleh diambil oleh penguasa, apalagi dengan pemaksaan. Kebebasan adalah “natural right” rakyat. Kebebasan individu manusia adalah kebebasan yang justru harus dilindungi oleh penguasa.
Semoga penguasa di Nanggroe syariat tahu dimana batasan kekuasaannya dan tahu sampai dimana hak-hak rakyat yang tidak boleh dilanggar
Tulisan ini sudah pernah dimuat di www.acehkita.com, 28 Agustus 2017 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :