ACEH YANG MENYATUKAN
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA
ACEH telah
ada sebelum kita ada. Aceh ada bukan untuk melahirkan penguasa yang menguasai
Aceh sebagai milik, karena Aceh adalah negeri yang ditinggalkan kepada kita
tanpa surat wasiat. Aceh dititipkan dengan air mata, penderitaan, ketangguhan
bahkan narasi-narasi besar donya (visi dunia), sebuah mimpi besar peradaban
yang membanggakan sekaligus menantang. Aceh adalah totalitas pengabdian seumur
hidup. Pengabdian untuk menyatukan semua yang “ada” di Aceh, bukan temporalitas
kekuasaan periodik, yang dalam perjalanannya terjebak dan menjerumuskan diri
pada kekuasaan yang memilah-milah dan memecah-belah.
Pascadamai,
telah 14 tahun perjalanan Aceh. Kita semua, yang dalam aliran darah kita adalah
Aceh, tentu tidak akan lagi menjadi manusia-manusia polos, manusia naif tanpa
merasa berdosa melihat Aceh hari ini, yang semakin hari semakin berjalan
kebelakang dan seakan lupa pada jalan masa depan. Kita tidak akan jadi manusia
yang akan terus pasrah dan terpesona pada hikayat-hikayat imajiner
kesejahteraan, yang hanya ada di alam mental, tanpa pernah mewujud dan dapat
dinikmati secara fisik oleh rakyat Aceh.
Perubahan
revolusioner apa yang sudah terjadi di Aceh? Dengan kehendak berkuasa yang
lebih besar dari pada kehendak memperbaiki, maka segala energi, segala potensi,
bekerja sebagai mesin politik untuk kekuasaan. Bukan bekerja
untuk kesejahteraan, pembangunan peradaban kosmopolit dan produksi pengetahuan
yang membebaskan. Ini adalah tantangan kita bersama, setiap anak Aceh pasti
merindukan sebuah kondisi ideal yang makmur sejahtera, nyaman, damai, memenuhi
maksimum kebahagiaan rakyat dan memenuhi segala keinginan rakyat pada kebebasan
yang baik bagi rakyat.
Dengan
menutup mata saja, kita bisa melihat bagaimana perputaran ekonomi menjadi
stagnan, distribusi kesejahteraan timpang, terhenti pada titik nadir,
kesenjangan kesejahteraan bagaikan jarak langit dan bumi. Tidak ada yang tidak
bisa dirubah di dunia ini, konon lagi merubah Aceh.
Menyatukan Aceh
Satu
pertanyaan sederhana saja, ada tidak pemimpin yang mau mengubah Aceh,
menyatukan Aceh menjadi Aceh yang sejahtera dan maju? Sosok pemimpin ini adalah
pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya dan segala kepentingannya sendiri,
pemimpin yang meletakkan Aceh di kepalanya dan menempatkan kepentingan pribadi
serta kolega-koleganya di bawah telapak kakinya. Aceh menanti pemimpin seperti
ini.
Saat ini
kita terlalu larut pada hal yang tidak perlu, ketika berbagai pihak dengan
berbagai kepentingan ideologis dan ekonomisnya merawat segala keretakan Aceh,
kita juga saling memoles keretakan itu dengan saling bertikai, saling mencaci.
Ketika banyak yang belum kita selesaikan, kita terus menambah duri-duri di
jalan yang kita lewati sendiri, sehingga langkah peradaban dan pengetahuan kita
tertatih-tatih, terus sakit. Kasihanilah rakyat, yang berangkat pagi dan pulang
pagi, tapi tidak ada yang dibawa, karena semua sudah tersentral pada menara
gading mewah tata kelola kekuasaan. Oleh karena itu Aceh butuh kekuasaan yang
bisa menyingkirkan segala duri, menyatukan segala keretakan Aceh menjadi
bangunan yang kokoh yang menerbitkan kesejahteraan dan kemakmuran.Untuk
melakukan semua ini, Aceh butuh pemimpin yang memakai kekuasaannya untuk
menyatukan Aceh.
Aceh sudah
sangat lelah dalam keretakan, ketegangan dan konflik antarsesama. Aceh adalah sebuah
negeri yang harus berubah, di mana untuk menjadi negeri yang baik, sejatinya
ditopang oleh empat kekuatan besar yaitu spiritualitas (ajaran agama otentik),
intelektualitas (pengetahuan), kedaulatan ekonomi (kesejahteraan), dan
kebebasan sipil dan persatuan sipil (martabat manusia).
Ketika
kekuasaan bisa menyatukan keempat ‘arasy besar kekuataan itu dengan segala
komponennya, maka akan menerbitkan matahari baru yang menyinari segala
kegelapan Aceh selama ini. Kekuasaan di sini bermaksud sebuah sistem besar,
sebuah lingkaran besar kepentingan yang semuanya harus diarahkan kepada
penyatuan. Ketika semua bisa disatukan, maka keharmonisan akan menjadi ruh yang
mengalirkan spirit kekuatan. Sehingga demi Aceh yang makmur, demi rakyat yang
sejahtera, kita akan bisa melakukan apapun secara bersama-sama dengan kompak
dan khidmat.
Kekuatan
spiritualitas bermakna spirit otentisitas agama sebagai rahmatan lil’alamin,
yang harus mampu ditangkap dan disatukan oleh pemimpin. Pemimpin harus
mendekati, menghampiri dan mencantolkan kekuasaannya pada titik spiritualitas
otentik ini, sehingga pemimpin terhindar dari segala tafsir agama yang selalu
melihat dan merujuk kebelakang yang selalu terjebak pada agama sebagai
organisasi sedangkan syarat untuk maju adalah menjadikan agama sebagai
spiritualitas.
Spirit keagamaan
Secara
lebih dalam, spiritulitas otentik ini adalah spirit keagamaan yang menyatukan
manusia dalam kedamaian. Tidak menyekat manusia ke dalam frasa “sesat” atau
“kafir”, yang semakin mengalienasi manusia dari persaudaraan. Di kekuasaan
manapun, di negara manapun, spiritualitas menjadi fondasinya. Maka kekuasaan Aceh
harus berfondasi pada spiritualitas otentik yang tidak pernah memerintahkan
menyekat manusia, tetapi menyatukan manusia dalam cinta dan kasih sayang.
Kekuatan
intelektualitas (pengetahuan) harus menjadi kerangka kebijakan dan orientasi
masa depan peradaban yang wajib dibangun. Kebijakan dan pembangunan tanpa
pengetahuan, maka itu adalah klenik dan kesesatan pembangunan. Kekuasaan harus
menghimpun dan menyatukan seluruh sumber daya intelektualitas Aceh dalam
berbagai bidang keahlian untuk membangun Aceh. Kekuasaan harus menjadi arena
tempat bersatunya intelektual dalam produksi pengetahun, narasi pengetahuan dan
pengelolaan pengetahuan demi kemajuan bersama.
Kedaulatan ekonomi, bermakna, menyatukan seluruh kekuatan sumber daya ekonomi
dan pelaku-pelaku ekonomi Aceh. Menyerahkan gerak, ritme yang membangkitkan
kedaulatan ekonomi Aceh kepada para pakarnya, baik teoritis maupun praktis.
Menyatukan semua kekuatan ini dengan semangat menyejahterakan Aceh. Menciptakan
iklim usaha dan investasi yang nyaman. Kekuasaan harus menyatukan semua
kekuatan ijtihad ekonomi dengan memfasilitasi segala kebijakan dan anggaran
untuk melepaskan Aceh dari segala ketergantungan ekonomi, menjadi Aceh yang
berdaulat secara ekonomi.
Kebebasan
sipil adalah determinisme sejarah, tidak bisa ditolak. Kekuasaan yang baik
adalah kekuasaan yang menjamin kebebasan sipil dan memberikan maksimum
kebebasan. Tanpa kebebasan sipil, maka pembangunan adalah sesuatu yang kaku,
tidak kreatif dan menghambat pembangunan kebudayaan. Jangan sampai kekuasaan
menjadi penghalang tertinggi kebebasan manusia.
Kekuasaan
harus mampu menyatukan masyarakat sipil dalam persaudaraan sejati dengan segala
perbedaaan dan keberagaman agama, suku, keyakinan, bahasa dan ras. Kekuasaan
harus bertanggung jawab menyatukan rakyat sipil Aceh dibawah awan pemerintahan
yang mengayomi, tidak membagi sipil dalam frasa “kawan-lawan”, sekalipun paska
segala kontestai politik.
Akhirnya,
kekuasaan sebagai sebuah sistem besar harus dikelola dengan perspektif
“mekanisme” (dikelola bersama), bukan dengan perspektif “milik” (totaritarian).
Perspektif mekanisme akan melahirkan penyatuan, menerbitkan kemakmuran yang
rasional. Sedangkan dengan perspektif milik, melahirkan kekuasaan oligarkhis,
kesejahteraan yang terwujud bukanlah kesejahteraan keseluruhan, tetapi
kesejahteraan kelompok, kesejahteraan kolega yang segala pengelolaannya memakai
perspektif “Aceh ata geutanyoe, kiban galak-galak geutanyoe”.
Aceh
harus terbebas dari perspektif negatif tersebut. Kekuasaan Aceh harus menjadi
kekuasaan yang menyatukan. Inilah mimpi anak negeri. Semoga menjadi kenyataan!
Amin.
Tulisan ini sudah pernah di muat di serambi Indonesia, 12
Januari 2017