Beragama Dengan Kesadaran; Dari Akal ke Spiritual



Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman dan Zuhri Sabri

Pada umumnya setiap orang yang beriman kepada agama (Tuhan) mengakui akan pentingnya makna beragama dengan kesadaran sebagai konsekuensi dari keimanan yang dimilikinya. Namun bukan berarti seluruhnya juga memiliki kandungan pemaknaan yang sama tentang hal ini. Sebagian dari konsep iman itu memperkenalkan keimanan strukturalis, yang mensyaratkan adanya kebutuhan mutlak terhadap suatu struktur institusi tertentu yang dapat mengorganisir penganut agama agar taat dan patuh pada perintah dan larangan agama. Dengan kata lain makna beragama dengan kesadaran menurut konsep ini diwujudkan melalui institusi hukum sebagai sarana paling otoritatif yang menghubungkan antara manusia dan khaliknya.

Setiap orang pasti memiliki kesadaran terhadap realitas yang terkait dengan kehidupannya. Salah satu kesadaran yang paling mendasar bagi manusia adalah kesadaran bahwa dirinya hidup dan oleh karenanya berkeinginan untuk mempertahankan kehidupannya. Kesadaran dasar ini pada tahapan berikutnya akan menstimulasi sejumlah aktifitas, tindakan dan pemikiran yang bertujuan untuk melindungi, memberikan kenyamanan dan sekaligus keinginan untuk memajukan kualitas kehidupannya secara lebih sempurna.
Dalam mewujudkan keinginan-keinginan dasar kemanusiaan itu, agama muncul sebagai salah satu pilar yang diyakini banyak ummat manusia sebagai institusi yang mampu menjamin terpenuhinya keinginan dasar tersebut, karena agama mengandung nilai-nilai dasar yang bersumber dari yang Maha Benar, sehingga dengan mengikuti seluruh pesan agama pasti dapat mengarahkan hidup manusia kearah yang benar. Atas dasar ini semestinya kesadaran kemanusiaan menjadi makna esensial dari makna “beragama dengan kesadaran”.

Sumber : Google
Salah satu nilai khas cara kerja hukum yang membedakannya dengan norma sosial lainnya yakni adanya daya paksa, kemampuan mengidentifikasi kesalahan/kejahatan secara kongkrit (positif) dan memiliki hukuman sebagai konsekuensi dari pelannggaran norma hukum tersebut. Elemen identifikasi terhadap sesuatu yang kongkrit dalam hukum meniscayakan adanya sesuatu yang dapat diukur, memiliki sistem dan mekanisme validasi yang mapan.

Beragama dengan Kesadaran
Namun apakah Iman juga dapat masuk dalam kategori yang demikian?. Jika merujuk pada ketentuan yang demikian maka kita juga harus memiliki alat ukur yang namanya Iman, alat ukur ketaqwaan, dosa serta elemen-elemen keagamaan lainnya, tapi apakah hukum juga mampu merambah pada pengukuran yang demikian?. Pandangan umum yang lazim diyakini menurut konsep ini adalah terjadinya kepatuhan massal terhadap hukum-hukum agama yang diorganisir oleh Negara melalui daya paksa Hukum  telah mencerminkan keimanan dan ketaqwaan ummat beragama. Analogi yang sering diperkenalkan adalah jika seseorang ingin menjadi anggota kepolisian maka ia harus tunduk dan patuh pada sistem latihan calon anggota polisi yang diterapkan oleh instruktur atau pelatih, sehingga kelak akan menjadi polisi yang professional dalam memperagakan keahlian dibidang kepolisian. Namun apakah kemampuan seorang polisi dalam memperagakan keahlian dalam bidang kepolisian tersebut secara otomatis mencerminkan bahwa ia telah menjadi seorang abdi Negara yang ideal? Tentu saja belum bisa dipastikan demikian, buktinya hingga saat ini dimanapun juga, tetap saja ada oknum kepolisian yang justru memboncengi kejahatan dan bahkan pelaku kejahatan itu sendiri. Artinya keahlian seorang polisi dalam ilmu kepolisian tidak bisa menjadikan sandaran absolut bahwa ia adalah seorang yang baik, dan tulus mengabdi pada Negara.

Demikian juga dalam hubungan hukum dan keimanan dalam agama, hukum tidak memiliki kapasitas untuk menilai baik buruknya keimanan seseorang, bahwa seseorang taat secara hukum agama belum memastikan ia seorang beriman, hal ini bisa disaksikan dari masih banyak orang tersakiti atas nama agama, banyak tragedi kemanusiaan di berbagai belahan dunia yang mengatasnamakan ingin menerapkan hukum agama, serta banyak lahir kata umpatan dari mulut para pelantun kalam ilahi yang suci.

Jika hukum secara ambisius mengklaim bahwa ia dapat mengidentifikasi keimanan, maka semestinya tidak perlu dipaksakan pada semua orang, karena orang beriman tentu tidak memerlukan daya paksa hukum untuk taat. Namun, kini sebaliknya hukum justru hendak memaksa semua orang untuk tunduk pada regulasi yang bersifat massif tersebut. Karena itu, pada dasarnya keputusan untuk memaksa seluruh orang tanpa pandang bulu adalah tanda yang jelas bahwa hukum tidak pernah mampu mengidenfikasi keimanan personal.
Ambiguisitas lainnya yang bisa diketahui dari corak penalaran ini, adalah kekeliruan penerapan logika pengandaian kemutlakan/kewajiban keberadaan sesuatu. Logika ini bisa dilihat dari contoh misalnya 2 +…= 2 maka secara logis tanpa harus melihat angka berapa pada bagian yang belum terisi tersebut, akal sehat manusia pasti mengandaikan keberadaan angka nol sebagai syarat mutlak bagi keberadaan angka dua sebagai hasil. Logika kemestian ini terlihat tidak bisa berlaku pada hubungan hukum dan keimanan, sebab keberadaan hukum tidak memestikan menghasilkan keimanan, dengan demikian sesuai dengan logika tadi, hukum bukanlah syarat mutlak bagi keimanan.

Berdasarkan penalaran diatas, maka makna “kesadaran beragama” tidak memiliki similaritas makna dengan penerapan hukum sebagai sarana yang memiliki daya paksa pada semua orang untuk tunduk pada hukum-hukum agama, karena penerapan agama dalam hukum pada tahapan tertentu justru menimbulkan ketimpangan sosial antar ummat agama, bahkan dalam internal penganut agama itu sendiri, hal mana yang bertentangan dengan tujuan asasi ummat manusia beragama.

Untuk itu kita mesti menemukan makna lain dari frasa “beragama dengan kesadaran” yang menempatkan iman sebagai sarana yang mampu memberikan kedamaian sebagai prasyarat utama yang melindungi kehidupan dan harkat hidup manusia itu sendiri. Karena sesuai dengan ucapan para ulama, bahwa “agama diturunkan karena cinta dan kasih Tuhan kepada manusia, karena itu ia (agama) harus disampaikan dengan cinta”. Cinta tentu saja bukanlah paksaan, melainkan dorongan nurani yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang disenangi kekasih-Nya. Pada tahapan ini seseorang yang melakukan larangan agama tidak dijadikan sebagai sasaran penghukuman, sehingga seseorang disebut beriman hanya karena telah menghukum seseorang yang melanggar, melainkan sebagai seseorang yang sedang haus kasih sayang namun tidak menemukan kekasihNya. Karena  bagi orang yang mengimani bahwa Tuhan adalah sumber penghidupannya, pemberi wujudnya, maka sejatinya ia juga memiliki kesadaran hidup, bahwa manusia dan semesta selain dirinya juga sebagai suatu komunitas kehidupan yang meminjam hidup dari Yang Maha Hidup, karenanya ia juga mencintai kehidupan lainnya.

Dari Akal ke Spiritual

Iman sebagai elemen penting dari agama harus memiliki landasan yang kokoh, setidaknya pada tahapan akali manusia. Meskipun pembuktian akali hanya berkedudukan sebagai pengantar (mukaddimah) bagi kebenaran yang tertinggi yakni Tuhan (Al-Haqq). Pada bagian sebelumnya kita juga telah mengetahui bahwa hukum hanya dapat mengatur dan mengorganisir perilaku, namun tidak dapat mengorganisir jiwa. Maka tahapan primer pembuktian makna Beriman dengan Kesadaran yang benar harus terlebih dahulu dimulai dengan menjawab pertanyaan “apa unsur eksternal yang mampu mempengaruhi daya gerak jiwa manusia ke arah yang benar?” 

Hukum logika universal telah memperkenalkan suatu konsepsi kebenaran umum bahwa setiap keberadan segala sesuatu yang didahului oleh ketiadaan, maka keberadaan aktualnya tersebut adalah sebagai akibat. Akibat tidak mungkin memiliki wujud mandiri, karena dalam alam ketiadaannya mustahil bagi segala sesuatu mengusahakan dirinya agar memiliki wujud. Demikian juga manusia beserta semesta disekitarnya diidentifikasi sebagai akibat, karena keberadaannya setelah didahului oleh ketiadaan. Beberapa pandangan telah menolak konsep ini dengan alasan tidak ada bukti bahwa alam didahului ketiadaan, seluruh realitas semesta telah ada dengan sendirinya. ketiadaan bukti bahwa semesta “diciptakan” telah menempatkan gagasan diatas sebagai konsep yang bersifat khayali dan tidak beradasar.

Namun dengan pengamatan yang lebih spesifik terhadap kejadian semesta, kita segera mengetahui bahwa setiap entitas dalam semesta membutuhkan satu sama lain untuk bisa eksis dan mewujud. Dari berbagai teori kejadian semesta yang berhasil dihimpun oleh ilmuwan-ilmuwan besar dunia menunjukkan bahwa tidak ada satupun teori kejadian semesta yang menggambarkan bahwa dari masing masing benda dunia mewujud dengan sendirinya tanpa membutuhkan dzat lain untuk dapat eksis. Ilmuwan dunia seperti Enstein, Hoyle, Kant, Laplace, F.R. Moulton dan lainnya tidak satupun diantara mereka yang memiliki konsep sains mengenai semesta bahwa masing masing benda memiliki wujud mandiri. Semuanya terbentuk melalui proses proses alamiah sehingga membentuk aneka ragam benda dan tumbuhan. Namun diantara berbagai teori sains tersebut, terdapat satu titik yang menjadi muara pertemuan diantara teori sains mereka, bahwa seluruh proses perwujudan semesta membutuhkan daya bagi gerak setiap proses perwujudan benda benda tersebut. Dengan demikian, semesta jelas tidak memiliki wujud mandiri, karena geraknya membutuhkan sebab, yakni adanya daya (energi) dan setiap sesuatu yang membutukan pada sebab adalah akibat.

Setelah pembuktian filosofis diatas, kita mengetahui bahwa manusia juga membutuhkan sebab bagi seluruh tindakan dan perilakunya tersebut.  Adapun sebab yang ada pada manusia tersebut adalah daya jiwa dan akalnya. Semesta memiliki keteraturan kosmologis disebabkan adanya hubungan intrinsik antara dirinya dengan Sumber daya utama yakni Tuhan, sedangkan manusia semestinya juga berjalan demikian, bahwa Tuhan senantiasa berhubungan dengan manusia melalui Jiwa pemberiannya. Namun hubungan manusia dan Tuhan tidak serta merta berlangsung sebagaimana hubungan instingtif yang dimiliki alam, dimana gerak dan kehendak Tuhan sekaligus bermakna gerak dan kehendaknya alam juga. Dalam peri-kehidupan manusia, Tuhan memberikan dua kebebasan sekaligus yakni kehendak untuk patuh dan juga sebaliknya, sehingga keduanya berada dalam alam probabiltas. Dengan demikian kebebasan manusia dalam menggunakan daya akal dan jiwanya adalah sifat kodrati yang diberikan Tuhan kepada manusia dan oleh karenanya hubungan antara manusia dan Tuhan juga harus melalui kebebasan dua elemen tersebut.
Pada Tahapan ini kita telah memiliki tiga alur gagasan utama dari proses pemaknaan ”Beragama dengan Kesadaran”, yakni : Pertama, Manusia Membutuhkan sebab lain bagi gerak dirinya. Kedua, Keterhubungan manusia dengan sumber penggerak utamanya berlangsung melalui jiwa dan akalnya, dan Ketiga, Hubungan tersebut harus berlangsung melalui kebebasan jiwa dan akal manusia, karena kebebasan adalah sifat kodrati yang diberikan Tuhan sehingga mustahil Tuhan berhubungan dengan Makhluk diluar kodrat pemberiannya. Dari ketiga alur gagasan tersebut, meski manusia memiliki akal dan jiwa sebagai modal utama dalam menyerap informasi serta merancang peradaban, namun kualitas kognisi (akal) belum mampu memastikan terwujudnya dunia yang damai serta menempatkan kemanusiaan pada poros utama peradaban.  Akal tidak bisa menyisihkan sifat ego, keserakahan dan keinginan untuk mengeksplorasi atau mendominasi tanpa batas bukan hanya terhadap alam namun juga antar sesama manusia. Sedangkan disisi lain, kualitas peradaban yang benar tidak hanya ditentukan seberapa banyak kognisi manusia mampu memproduksi sejumlah pengetahuan untuk meneguhkan eksistensi sekelompok orang, namun bagaimana mengkreasi suatu peradaban yang mampu menghargai kemamanusiaan secara universal. Rangkaian sejarah kemajuan teknologi dunia tidak memiliki makna apapun jika dunia dipenuhi oleh kekacauan, peperangan dan diskriminasi hak kemanusiaan, karena Pengetahuan tidak mampu melindungi manusia sebagai produsen pengetahuan itu sendiri.

Karenanya meskipun akal adalah salah satu potensi yang sangat penting dalam diri manusia namun ia bukanlah unsur superior dalam diri manusia. Kebenaran ini dapat ditelusuri dengan mengetahui  objek daripada akal yang sesungguhnya. Dalam prinsip-prinsip dasar nalar sains, akal memainkan sejumlah peran terutama dalam menentapkan rangkaian hukum-hukum sains seperti halnya hukum kausalitas, kaidah-kaidah logika matematis, serta berbagai postulat-postulat ilmiah lainnya. Namun penyandaran seluruh hukum hukum tersebut sesungguhnya tidak pernah ditemukan diluar dunia idea. Misalnya tentang prinsip kausalitas, konsep satuan, himpunan, deretan angka numerik, satuan panjang, satuan luas, ketinggian, kedalaman dan lainnya. Seluruh hukum-hukum dan satuan tersebut pada dasarnya tidak ada secara real dalam dunia materi, ia hanya lahir dari pengorganisian idea secara sistematis sehingga dapat diterapkan pada dunia materi. Kita tidak dapat menunjukkan yang mana yang disebut “Meter” dalam sepotong kayu, atau mana yang disebut “Tinggi “ pada sebuah gunung. Satuan dan Hukum tersebut hanya bisa diterapkan pada materi namun tidak ada wujud materialnya, disebabkan satuan dan hukum tersebut hanya ada dalam dunia idea namun disimbolkan dan dilekatkan pada materi agar bisa dipahami. Dengan demikian objek utama daripada akal bukanlah materi atau akal itu sendiri, melainkan Jiwa tempat melekatnya akal. Akal hanyalah karakter dari pada Jiwa, yakni jiwa yang berpikir.

Karena Jiwa adalah tempat melekatnya akal, maka Jiwa menduduki posisi primer dalam diri manusia. Kualitas jiwa menentukan intensitas akal, meskipun tidak selamanya intensitas ini berwujud pengetahuan ilmiah, namun manifestasinya melalui adanya dorongan yang kuat pada diri setiap insani untuk memelihara keteraturan kosmologis  antar sesama manusia dan semesta secara keseluruhan. Karena manusia pada hakikatnya adalah bagian dari kesatuan kosmologis dengan alam, namun dengan esensi yang terpisah satu sama lainnya. Pada tahapan inilah kualitas akal dan jiwa harus mendapat penjelasan yang proporsional mengenai bagaimana hubungan saling mempengaruhi diantara keduanya dan faktor apa saja yang mempengaruhi perbaikan kualitas jiwa seorang insan.

Jiwa internal manusia jelas tidak mampu mempengaruhi dirinya sendiri agar menjadi baik, karena jika masing masing mereka dinilai memiliki kemampuan menjadikan diri baik dan sempurna, maka tidak ada satupun yang dapat diidentifikasi sebagai kebaikan murni karena seluruhnya berada dalam keadaan relatif. Karenanya jiwa internal manusia harus memiliki keterhubungan dengan jiwa asasinya yakni Daya Penggerak Utama (‘illatul-ilal) yang menjadi jiwa dasar bagi seluruh gerak kosmik semesta (Tuhan). Tuhan dalam berbagai varian sebutannya juga sering dikenal dengan  kata “Rabb” atau “Rabbul ‘Alamin” artinya Pengatur, raja atau pemilik semesta raya. Manifestasi dari keterhubungan jiwa insan dan Rabb-nya akan melahirkan pengalaman dan konsepsi mengenai ketunggalan asal pencipta pada diri manusia dan secara langsung berimbas pada perwujudan keharmonisan manusia dengan Tuhan dan unsure semesta lainnya.

Merujuk pada paparan diatas, maka “beragama dengan kesadaran” berlangsung pada kesadaran  bahwa kita manusia tidak memiliki kapasitas untuk memperbaiki diri dan oleh karenanya membutuhkan sebab lain yang lebih tinggi sebagai sumber pendidik (rabbaniyah).  Atas dasar itu juga, fungsi agama harus mampu mengantarkan manusia pada keterhubungan jiwa insaniyahnya dengan daya penggerak utama (Tuhan) dan sekaligus sebab bagi segala akibat gerak kosmik. Namun pencapaian konsepsi “beragama dengan kesadaran” seperti ini tidak  bisa tercapai tanpa adanya kebebasan manusia dalam mencapai realitas eksternal yang menjadi penggerak jiwa kesadaran manusia tersebut.





















Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :