Generasi Muda Aceh, Menulislah !
“Untuk mengenal dunia, maka
membacalah, untuk dikenal dunia, maka menulislah”. Ini bukanlah sebuah kalimat
hiburan, tetapi kalimat yang punya spirit mendalam bagi kejayaan peradaban
manusia. Ketika dengan mata kita punya segala keterbatasan untuk “melihat
dunia”, maka kita melampaui segala keterbatasan ketika dengan mata
kita “membaca
dunia”.
Benar kata Said Qutub, “Ketika satu
peluru hanya bisa menembus satu kepala, maka satu tulisan dapat menembus jutaan
kepala”. Inilah kemenangan “kuasa pengetahuan” atas segala
kuasa “fasisme” dalam
segala bentuk wajahnya di kekinian. Umat yang tidak menjadikan spiritualitas
membaca dan menulis dan kemudian menjadikan pengetahuan sebagai pemandu jalan
peradabannya, namun menyerahkan pemandu jalan peradabannya semata pada “politik
kekuasaan”, maka tidak ada yang terang dalam hidup, semua
hanya kegelapan dalam gua-gua gelap sepanjang masa.
Membaca dan menulis adalah
sebuah jihad besar manusia, karena kedunya merupakan “perlawanan” terhadap segala
kebenaran yang dikondisikan, kepada kebenaran berdasarkan pencarian dan
refleksi mendalam.Membaca dan menulis merupakan ikhtiar dan mujahahadah besar
melawan segala ego dalam diri maupun realitas di luar diri manusia untuk tidak
menerima begitu saja sebuah kebenaran tanpa mencari dan mendapatkannya dengan
membaca, menganalisa dan menulis.
“Jika engkau haus akan kedamaian jiwa
dan kebahagiaan, maka percayalah. Jika engkau ingin murid kebenaran, maka
carilah”, demikian
nubuat Karl Friedrich Nietzche, sang filosof yang keseluruhan hidupnya
diabadikan untuk mengasingkan diri dalam tulisan-tulisan.
Menulis memang pekerjaan
keabadian. Menulis mewariskan kemewahan, kemewahan pengetahuan. Menulis juga
mewariskan kekuasaan, kekuasaan pengetahuan yang memandu manusia untuk selalu
mengingat dan terus merawat dunia dengan kuasa pengetahuan.
“Semua penulis akan fana, hanya karyanyalah yang akan abadi sepanjang masa,
maka tulislah yang akan membahagiakanmu di akhirat nanti”, adalah nasihat abadi sang Khalifah
Ali bin abi Thallib. Atas dasar inilah, Sayyidina Ali kemudian berkata, “Ikatlah ilmu
dengan menulisnya”.
Dalam segala hikmah abadi
ini, sang Khalifah ingin berpesan bahwa menulis adalah melawan segala keliaran
dan ketidakberadaban yang merusak. Jinakkanlah segala keliaran dan segala
ketidakberadaban itu dengan menulis. Menulis dan membaca adalah angin dan api,
yang saling memperbesar dan membakar. Membaca adalah lautan tanpa batas dan
menulis adalah kapal yang berlayar menuju samudera luas tempat segala peradaban
bertemu.
Bayangkan jika dunia tanpa
sang penulis dan dunia tanpa tulisan! Karena itu wahai generasi muda Aceh,
selalu hidupkan dunia dan hiasi dunia dengan tulisan. “Nulla dies
sine linea, tiada hari tanpa baris-baris tulisan”, tulis Pline,
Pengarang Yunani, berabad-abad lalu.
Pilihlah jalan yang kadang
kala sepi dan tanpa teman ini, karena inilah yang dicari manusia dalam apapun
kebudayaannya. Bagi sang pemilih dan penempuh jalan ini, maka hari-hari tanpa
lembar tulisan adalah hari tanpa kehidupan. Menulis adalah kekuasaan
sesungguhnya dari segala kekuasaan yang ada didunia ini.
Lihatlah Napoleon
Bonaparte, sang pemberontak yang menumbangkan kekuasaan raja tiran Perancis,
ketika menjadi penguasa, diapun begitu takutnya dengan tulisan, “Aku lebih
takut dengan seseorang yang memegang pena (penulis) dari pada seribu prajurit
yang bersenjatakan lengkap”, karena begitu berkuasanya sebuah
tulisan.
Menulis adalah nuklir paling berbahaya dari segala senjata pemusnah paling
mematikan. Isaiah Berlin, filosof, ahli sejarah pemikiran Latvia yang kemudian
bermukim di Inggris telah meninggalkan pesan ini dalam “Four Essay on
Liberty”nya. “Jangan main-main dengan tulisan yang ditulis oleh
para pemikir”.
Tulisan yang ditulis dalam
kesendirian, dalam segala pelik beban hidup, dalam ketidakpeduliannya pada diri
sendiri, akan dapat mendirikan dan meruntuhkan sebuah negara, dapat membangun
sebuah peradaban dan dapat menghancurkan sebuah peradaban, dapat menghentikan
sebuah perlawanan dan dapat menggerakkan sebuah perlawanan. Isaiah tentu telah
membaca dan merefleksikan secara mendalam betapa berbahayanya perlawanan di
seluruh dunia yang digerakkan oleh tulisan seorang Karl Marx, karena itu Isaiah
kemudian juga menulis, “Karl Marx : His Life and Environtment (1983)”.
Sebuah tulisan adalah
inspirasi bagi dunia, ilham bagi seluruh peradaban. Ketika menyaksikan gurunya,
Aristoteles, dihukum meminum racun cemara karena mempertahankan sebuah
kebenaran pengetahuan, Plato (sang murid), menulis “Dialogue”, untuk mendokumentasikan
semua ketidakadilan kekuasaan terhadap gurunya. “Dialogue” yang ditulis Plato ini,
kemudian hari menginspirasi dunia dan cikal bakal bagi penulisan novel, cerpen,
naskah drama, naskah teater. Begitulah inspirasi dan ilham sebuah karya tulisan
bagi manusia.
Ketika di Aceh, kita hidup
dalam era “otoritarianisme moral”, ”pemenjaraan tubuh dan pikiran”, ”penertiban
tubuh dan pikiran”, serta “penundukan tubuh dan pikiran”, maka
menulis dan membaca secara kritis dan tanpa batas adalah perlawanan terhadap itu
semua.
Di saat badan dan tubuh sebagai Aceh coba dikurung dan dipenjara, maka “lucutilah” pikiran
tidak sebagai Aceh, tetapi sebagai ”donya” (dunia) dengan membaca dan
menulis tanpa batas. Jangan pernah izinkan pikiran dipenjara, karena membiarkan
pikiran dipenjara adalah penghinaan terhadap kemuliaan sejati manusia.
Sekalipun tubuh di penjara, maka pikiran takkan pernah bisa dipenjara.
Antonio Gramsci, adalah
pemikir yang secara empirik telah membuktikan bahwa pikiran takkan pernah bisa
dipenjara. Bahkan Gramsci bisa menulis ”Prison Notebooks” dari semua
dialektika pemenjaraan tubuh yang di hadapinya. Akan teramat panjang jika kita
mengurai segala kuasa tulisan dalam sekian panjang sejarah manusia.
Hakikatnya menulis adalah
kemewahan dari segala kemewahan yang ada dalam sejarah manusia. Menulis adalah
pekerjaan keabadian. Menulis adalah masa depan. Menulis adalah kemewahan paling
abadi.Kita tidak tahu berapa lama kita akan hidup. Karena itu, gunakanlah
setiap ruang dan waktu yang masih tersedia untuk terus menulis dan membaca. Ini
adalah “lubang
besar” yang akan menyedot dan menarik apapun di dunia.
Tanpa menulis, bagaimana kita
mewariskan keabadian? Tanpa menulis, bagaimana kita meninggalkan
pertanggungjawaban pengetahuan kita? Karena itu, wahai generasi muda Aceh,
menulislah![]
Tulisan ini sudah pernah dimuat
di www.acehkita.com, 7 April 2017