KEBENARAN “FAKTA” DAN KEBENARAN “HOAX”
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman,
MA
Apakah
kebenaran itu ?, apakah kebenaran itu relatif atau absolut ?, adalah dua
pertanyaan diantara sekian banyak pertanyaan yang membelah, memecah bahkan
memusnakan sebagian manusia bagi manusia lain. Dulu, kebenaran selalu diwakili
oleh orang-orang suci dalam sejarah semua agama dan semua kepercayaan,
sedangkan ketidak benaran diwakili oleh para penguasa monarkhi zalim, para dewa
perusak dan pengganggu manusia yaitu setan, iblis, jin.
Sumber : Google |
Kebenaran
dalam sejarah kehadirannya selalu menjadi titik awal manusia berpijak, karena
lawan dari kebenaran adalah kesalahan (ketidak benaran). Adam yang diciptakan
Tuhan dan berada di Surga adalah sebuah kebenaran bagi manusia dan ketika adam
terusir dari surga adalah sebuah kesalahan bagi manusia. Namun bagi iblis, adam
terusir dari surga adalah sebuah kebenaran baginya. Lalu bagaimana dengan Tuhan
?, mengusir Adam dari surga adalah sebuah kebenaran mutlak. Kebenaran selalu identik
dengan kemutlakan. Ketika kebenaran adalah Tuhan dan Tuhan adalah kebenaran itu
sendiri, maka saat itu kebenaran adalah absolut, namun ketika manusia tidak
pernah bisa berjumpa dan mengenal Tuhan dengan sebenarnya, maka di saat itu
kebenaran segera menjadi sesuatu yang relatif, nisbi dan sangat subjektif
karena manusia tidak mungkin menjangkau yang mutlak karena Tuhan bagi sebagian
besar manusia adalah ghaib, sehingga apa yang terjadi ?, manusia saling klaim
kebenaran satu sama lain, padahal kebenaran yang di klaimnya adalah kebenaran
yang tidak pernah bisa di konfirmasi
kebenarannya, karena dia tidak pernah mengenal dan bertemu dengan yang
Tuhan Yang Maha benar.
Manusia
yang suka bicara kebenaran (apalagi diawali dari moralitas), sebenarnya tidak
mampu dan tidak punya kapasitas memikul dan mewakili kebenaran, dan untuk
menutupi ketidak mampuannya itu, maka manusia ini segera berperan seperti iblis
yang menggoda Adam tadi, yaitu berperan mengatas namakan Tuhan, yang penting
tujuannya tercapai yaitu diakui sebagai yang benar dan dikuti sebagai yang
benar sekalipun manusia saling sikut, saling merusak bahkan saling membunuh
diantara sesama, dalam frasa ini, maka kebenaran yang benar tadi, segera
menjadi kebenaran yang salah. lalu bertanyalah kita, kebanyakan manusia
mengikuti kebenaran yang benar atau kebenaran yang salah ?.
Manusia dan Kebenaran
Sejarah
awal manusia dan kebenaran adalah sejarah perang. Ketika kaum Muslim berperang
melawan kaum yang disebut kafir Quraisy, diantara sesama mereka juga masih ada
yang punya ikatan saudara, sehingga sejatinya ada yang enggan berperang. Tetapi,
narasi pada saat itu adalah perang antara kebaikan dan kejahatan, perang antara
kebenaran melawan kejahatan, bukan perang antar sesama manusia. Sehingga kalau
tidak melawan dan memenangkan peperangan, maka kejahatan akan menang dan
kejahatan akan berkuasa. Kejatahatan yang dimaksud disini pada saat itu adalah
kejahatan yang menindas manusia, mengeksploitasi manusia, tirani modal dan
monopoli ekonomi. Agama hadir dan dihadirkan kembali sebagai kerja pembebasan.
Dalam
epos Mahabarata, di sebuah padang bernama Kurusetra, Arjuna yang berada dipihak
pandawa, tidak mau berperang melawan para Kurawa, karena bagi Arjuna mereka
adalah saudara. “mereka adalah
saudaramu, tetapi hari ini, mereka berada di pihak yang salah dan itu adalah
kejahatan, sedangkan engkau berada dipihak yang benar, maka perangmu hari ini
adalah perang antara kebenaran melawan kejahatan, bukan perang antara saudara
dengan saudara.
“Ti Estin Aletheia?”, “apa itu
kebenaran?, adalah pertanyaan yang diajukan oleh Pontius Pilatus sang penguasa
Romawi kepada Yesus ketika Yesus dibawa kehadapannya. Yesus hanya diam dan tidak
menjawab pertanyaan itu . diam bukan karena tidak tahu, tetapi pertanyaan itu kalau
bukan untuk sok pamer kekuasaan, juga karena kekhawatiran akan kehilangan
kekuasaan karena pamor Yesus. Sebab, kekuasaan, apalagi di dapat dengan titah
“Machiavelian”, di mana pun adalah sesuatu yang sangat membutakan dan selalu
menyandera kebenaran bersama kekuasannya. Lagi pula, kekuasaan adalah sesuatu
yang susah untuk diraih sehingga karena itu, mereka yang berkuasa acap
menggunakan segala cara untuk mempertahankannya, termasuk dengan angkuhnya mewakili
kebenaran.
Saat ini, kita hidup di era paska kebenaran (post truth), manusia tidak tahu lagi yang
mana kebenaran, manusia tidak tahu lagi kebenaran dari kebenaran itu sendiri, manusia
hanya tahu kebenaran dari “hoax” dan ini adalah kebenaran yang benar saat ini. Betapa
menderitanya manusia karena selalu hidup dalam kepalsuan sepanjang usianya. Lalu bagaimanakah cara manusia terbebas dari
kebenaran “hoax” ini ?
Para Sufi, kebenaran “fakta” dan kebenaran
“hoax”
Bagi
para sufi, kebenaran fakta adalah
kebenaran yang didapat lansung dari Tuhan, melalui cahaya Nya yang bertajalli
kepada tubuh yang dipilihnya yaitu Mursyid. Kebenaran ini adalah kebahagiaan
sejati. Kebenaran bagi para Sufi adalah kebenaran yang di dapat dengan
kebenaran itu sendiri, kebenaran yang didapat dengan cinta, sehingga ketika
datang, tidak pernah pergi lagi. Di luar kebenaran yang berasal lansung dari
Tuhan, maka itu adalah kebenaran yang didapat dengan merekayasa kebenaran,
tidak ada unsur kemurnian, karena syarat utama telah gugur yaitu, tidak pernah
bertemu dengan sang pemilik kebenaran tersebut, sehingga kebenarannya adalah
kebenaran yang selamanya direkayasa, dibentuk, di doktrinkan dan disebarkan
sesuai dengan persepsi para agamawan. Kebenaran faktual ini bagi para sufi
adalah keseharian, bukan sesuatu yang berdarah-darah atau merasa suci dengan
kebenaran itu, tetapi rendah hati dengan kebenaran.
Kebenaran
itu lahir dari kejernihan dan ketenangan hati, bukan dari gemuruh, apalagi caci
maki. Dalam kepemimpinan, ketenangan adalah kemenangan, dan reaksioner yang
berlebihan adalah kekalahan. Dalam filsafat dikenal dengan “Clara et Distincta”, jernih (terpilah-pilah), jernih dan
terpilha-pilah ini bermaksud, bahwa manusia dengan segala potensi kejernihan adalah
sesuatu yang ilahiyah, tidak di intervensi. Kejernihan dan kemurnian ini
biasanya adalah sesuatu yang azali dan dari dirinya sendiri, Martin Heidegger
dalam “Sein Unzeit” (ada dan waktu) menyebut
kejernihan ini dengan Hermeneutika Faktisitas, dia berangkat dari fenomenologi
yang disebutnya dengan “ membiarkan
segala sesuatu menampakkan diri dari dirinya sendiri dengan cara dia
memperlihatkan diri dari dirinya sendiri”, memang agak membingungkan. Tetapi dalam
tasawuf, apa yang membingungkan ini menjadi sederhana. Bahwa yang dimaksudkan
Heidegger ini adalah sesuatu yang berasal lansung dari Tuhan dan tidak bisa di
intervensi oleh manusia, karena kalau bisa di intervensi manusia, maka dia
bukan lagi sesuatu yang murni (nafsani) dan itu bukanlah fenomenologi, tetapi sudah
di intrvensi dan di rekayasa.
Kaum
sufi, mengkongkritkan kebenaran sebagai sebuah keberanian, karena kebenaran
hanya bisa dipegang oleh orang-orang berani, para penakut, tidak pernah punya
kebenaran, karena dia tidak mau memegang kebenaran. Memegang kebenaran itu
seperti menggengam bara api, bagi orang berani, api itu akan digenggamnya
sampai bara api itu padam, bagi penakut, bara api itu digenggamnya sebentar,
kemudian dilepas lagi dan di genggam lagi, hasilnya, tangan terluka, api tidak
pernah padam”.
Kebenaran
fakta melawan kebenaran hoax itu seperti
nabi Musa melawan para penyihir ketika ada di hadapan Fir’aun. Para penyihir
mewakili kebenaran “hoax”, demi menyenangkan fir’un, para penyihir tidak bisa menghadirkan
ular fakta, tetapi hanya ular ilusi, tipuan imajinasi, sehingga tali itu nampak
seperti ular, itulah wakilah kebenaran “hoax”, kebenaran tipuan. Musa mewakili
kebenaran fakta, ketika dia melempar tongkatnya, maka tongkatnya benar-benar
menjadi ular sungguhan, tanpa tipuan sama sekali, sehingga memangsa ular-ular
tipuan itu. Kebenaran yang tidak factual pasti selalu diiringi dengan “hoax”
karena tidak punya kapasitas memegang kebenaran. Ada banyak sekali manusia
seperti ini di sekitar kita, mereka merasa mewakili Musa, padahal tidak sama
sekali. Mereka ini barangkali adalah para penyihir itu, cuma bedanya sedikit
saja, penyihir zaman nabi Musa kemudian
berimana kepada Musa setelah ditunjukkan kebenaran, sedangkan penyihir-penyihir
disekitar sekarang tidak pernah beriman sekalipun brkali-kali ditunjukan
kebenaran.
Tulisan
ini bukanlah sebuah kebenaran, tetapi hanya memfaktualkan kebenaran yang selalu
di jadikan “hoax”….
Sudah tak di ragukan lagi kekabsahan tulisannya,sekali2 singgah ke www.yusrannasir.blogspot.com ya bg, semoga bisa dapat saran dan pencerahannya :)