MAHASISWA ADA UNTUK MELAWAN "POLITIK JAHAT"
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA
Mahasiswa
adalah matahari terakhir, yang terbit untuk melawan, ketika yang lain padam.
Mahasiswa adalah benteng terakhir yang bertahan, bertahan dalam tendangan,
bertahan dalam pukulan, bertahan dan tidak menyerah persis ketika yang lain
runtuh dan menjadi debu. Hari-hari ini kita terus menyaksikan aksi heroik
anak-anak negeri ini, mereka mengepal tangan kiri, mereka bernyanyi, mereka melompat
dan menunjuk tinjunya kemuka politisi yang jahat. Mahasiswa adalah anak sejarah yang lahir untuk
memperbaiki keadaan,ketika negeri kita porak poranda oleh ketidak baikan yang
bernama politik jahat. Mahasiswa adalah kebaikan dan DPR yang mendeligitimasi
manusia dengan berbagai rancangan peraturan yang “aneh” adalah kejahatan, pada
dua jalan ini masa depan dipertaruhkan, maka berdirilah bersama para mahasiswa.
Sumber : rencongpos.com |
Mahasiswa
ada untuk melawan “politik jahat” ini, karena mereka adalah kemewahan terakhir sebuah
idealisme. Mengosongkan kampus dan kuliah di jalanan untuk melawan adalah
narasi perlawanan paling keren abad ini, karena tagline ini mewakili “bunuh diri kelas” dari kemapanan
intelektual kepada kematangan
perlawanan. Aksi mereka yang kadang kocak dalam segala kewaspadaan adalah
bentuk lain dari kerja filsafat politik yang hadir sebagai sebuah kekuatan baru
yang membaca tanda zaman dengan pesan bahwa kita sudah sangat bosan dengan
kejahatan yang menegangkan dan merindukan kebaikan yang ramah dan apa adanya.
Dimana “politik jahat” itu ?
Memakai
skema Giorgio Agamben (Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life, 1998),yang menafsirkan manusia dan kedaulatannya
melampaui Foucault, politik telah merebut manusia dari kealamiahan hidupnya
kepada ketidak alamiahan hidupnya melalui analisa suara
(phone) dan bahasa (logos)
dan antara zoe dan bios, politik telah membelah manusia melalui ini. Manusia, sejak
lahir adalah sebuah kedaulatan bagi hidupnya sendiri. Manusia itu jelas
hidupnya bagi dirinya sendiri. Lalu kemudian politik yang jahat selalu datang
membuat manusia menjadi tanda Tanya dan makhluk yang tidak jelas. Politik jahat
itu bekerja dan menafsirkan manusia kepada “hidup
yang layak untuk hidup” dan “hidup
yang tidak layak untuk hidup”.
sumber : Criticaltheri.com |
Melalui
pandangan Foucault dan pembacaan Agamben, terma “hidup yang layak untuk hidup” adalah hidup yang telah didisplinkan dan “hidup yang tidak layak untuk hidup” adalah
hidup yang melawan pendisiplinan ini. Konsekuensi
dari pembagian ini adalah adanya manusia yang disertakan (inclusion) dan
manusia yang diasingkan (ekslusion). Dalam skema ini, kita dapat melihat kerja
dari berbagai rancangan undang-undang yang bermasalah itu seperti RKUHP
misalnya, yang mencerabut manusia dari kehidupan alamiahnya kepada kehidupan
yang tidak alamiah. Peraturan yang dibuat oleh para legislator senayan berada
pada arena ini bentuknya adalah pengasingan manusia dari tubuhnya sendiri, dari
tubuh dan kehidupan yang berdaulat (souvereign) kepada tubuh dan kehidupan penurut,
Foucault menyebutnya dengan “docile body”.
Politik jahat adalah praktek yang mempolitisasi kehidupan manusia dan
politk yang memproblematisasi kehidupan manusia yang sebenarnya bisa dipermudah.
Manusia lahir dengan kapasitas serta kemampuan untuk hidup, namun secara
kodrati manusia ada bukan sekedar untuk hidup tetapi untuk hidup yang baik. Secara
asasinya, kelahiran manusai adalah juga penyertaan segala kebaikan, (yang
disini dibaca sebagi kemakmuran, kedaulatan dan kebebasan). Politik jahat bekerja
untuk menarik manusia dari penyertaan segala kebaikan dalam manusia kepada
pengasingan manusia dari kedaulatan, kemakmuran dan kebebasannya. Hidup dalam
segala kebaikan adalah hidup yang sebenarnya alami bagi manusia, lagi-lagi,
politik jahat menarik manusia dari hidup alaminya (bare life) kedalam hidup
yang di politisir (political life). Artinya, hidup alami manusia itu ada untuk
ditiadakan dalam politik jahat.
Perlawanan adalah “hidup alami”
Manusia ketika diasingkan dari kebaikan hidupnya oleh berbagai
kekuatan yang dikendalikan kejahatan adalah hidup yang alami. Ketika mahasiswa
melawan maka itu adalah hidup alami, hidup yang apa adanya, tanpa rekaan, tanpa
titipan segala kepentingan, karena perlawanan adalah kerja untuk mengembalikan
manusia kepada kebaikan hidupnya yang telah diasingkan oleh politik jahat.
Perlawanan yang dilakukan mahasiswa adalah kerja kebaikan untuk selalu
menyertakan manusia (inclusion) kedalam kedaulatan hidupnya. Ketika politik
yang jahat bekerja untuk mengasingkan manusia agar patuh pada kepentingan
kejahatan, maka mahasiswa merebutnya kembali dan mengembalikan kepada tempatnya
melalui parlemen jalanan.
Teriakan mahasiswa mewakili segala dentuman besar perubahan, karena mahasiswa
ada untuk melawan politik jahat.
Melawanlah setegak – tegaknya dan sehormat- hormatnya.
Hidup mahasiswa !!!