Merdekalah Agama Lokal Indonesia


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Kemerdekaan selalu diperingati, tetapi juga selalu dikhianati. Sejatinya, kita merdeka ketika kita setara sebagai warga negara, tetapi ketika kita membiarkan diskriminasi sehingga membeda-bedakan warga negara, maka kita telah mengkhianati hakikat merdeka. Kemerdekaan Indonesia adalah air mata, darah dan nyawa dari seluruh agama-agama dan kepercayaan yang ada dalam rahim ibu pertiwi, semua bergerak karena semua ingin merdeka dari segala penindasan. Lantas, apakah kita merdeka ketika ada penindasan baru terhadap beragam agama dan kepercayaan di tanahnya sendiri?


Sumber : ASCOM 

Merdeka adalah milik mutlak setiap manusia, setiap individu, bukan mekanisme yang harus diatur oleh kekuasaan yang tunduk pada suara “kaum banyak”. Karena kekuasaan adalah mekanisme, dia akan sah disebut sebagai kekuasan ketika dia bisa memperlakukan manusia secara terhormat, tetapi ketika tidak bisa memperlakukan manusia secara terhormat, maka itu adalah penindasan.

Sudah 74 tahun kita merdeka, namun anak-anak jemaat Ahmadiyah Transito di NTB, masih mengelus dengan bangga bendera merah putih di penampungan, tidak dirumahnya sendiri. Mereka bangga sebagai anak Bangsa, sekaligus mereka sangat sedih bahwa ada orang-orang dewasa yang mengusir mereka dari rumahnya sendiri di saat mereka bisa menggenggam matahari untuk bermain dengan tenang dan leluasa. Demikian halnya umat Syiah di Sampang Madura.

Apakah ada penghormatan terhadap manusia ketika jemaat Ahmadiyah tidak mendapatkan KTP ?. Apakah ada perlakuan yang memanusiakan manusia ketika masih ada penganut agama lokal yang kehilangan hak konstitusionalnya hanya karena persoalan kolom agama di KTP ?. Bicara kemerdekaan, maka kita harus banyak bertanya, karena kita harus selalu menyadarkan tubuh-tubuh tanpa kepala yang ada di segala lingkar kekuasaan agar mereka mengerti apa hakikat dan makna hadirnya negara sebagai sebuah tubuh utuh yang nyawanya adalah keberagaman.

Memang benar kata Albert Camus : “Tidak ada kemerdekaan yang diberikan percuma oleh kekuasaan atau pemimpin, tetapi kemerdekaan adalah perjuangan yang harus dilakukan setiap hari oleh setiap orang, dengan cara sendiri dan dengan usaha bersama”, atas dasar perjuangan panjang bersama dan tanpa kenal lelah, mulai tanggal 7 Agustus 2017 lalu, warga jemaat Ahmadiyah (JAI) Manislor, Jawa Barat sudahmendapatkan KTP. Demikian halnya penghayat kepercayaan, yang sudah boleh mencantum aliran kepercayaan dalam kolom KTP nya.

Keputusan Mahkamah Konstitusi Ini sebuah fakta yang menggembirkan diantara masih banyaknya ragam penindasan yang terus terjadi pada penganut agama-agama lokal dan maupun berbagai kepercayaan dan keimanan lainnya.

Merdekalah agama lokal

Mau tidak mau, suka tidak suka, merdeka itu memang seremonial, karena hanya keadilanlah yang tanpa seremonial. Kemerdekaan tetap harus di syukuri sebagai penghargaan atas perjuangan panjang pembebaskan manusia dari penindasan. Namun, hari ini, tanpa sadar, kita terus merayakan nikmat kemerdekaan ditengah segala ketidak merdekaan anak-anak bangsa lainnya. Tidakkah ini meresahkan kita ?.

Realita di depan mata kita, populasi penganut agama lokal terus tergerus, mereka semakin sedikit, karena besarnya penindasan dan pemaksaan migrasi yang dilakukan secara struktural oleh perselingkuhan agama dan kekuasaan serta ketidak warasan. Kebangsaan kita hari ini gagal membangun peradaban ketika kita tidak bisa memahami agama lokal sehingga tidak tahu bagaimana cara memperlakukan agama-agama lokal secara terhormat. Padahal memahami agama lokal sebagai tuan rumah Indonesia adalah tanggung jawab besar kebangsaan kita karena terkait juga dengan memahami manusia Indonesia dan cara memperlakukan manusia Indonesia.

Simaklah kalimat berikut :
kami ini, jangankan hidup, matipun kami susah, kami tidak boleh dikubur ditanah kami sendiri, karena kami sesat”,
ungkap seorang penganut Sapta Darma. Secara perlahan dan tenang, resapilah bahwa kalimat seperti ini lahir dari mulut seorang anak manusia yang dikandung rahim Indonesia, negeri kita sendiri. Detik itu juga akal sehat kita terus menciut dan mengecil, kemanusiaan kita terus defisit, ketika kita membiarkan ini tanpa rasa bersalah sedikitpun…”

Bersabarlah ketika masih percaya bahwa akal sehat masih akan menang melawan segala ketidak warasan. Bersemangatlah, karena agama lokal adalah tuan rumah di tanahnya sendiri yang terbuka dan bersaudara dengan agama lainnya selama tidak menindas sang tuan rumah. Tetapi ketika sudah menindas, maka lawanlah karena kadangkala kekuasaan harus di ajarkan bagaimana harus memperlakukan manusia, seperti kata Pram : “didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan”. Sehingga diakhir setiap perlawanan dengan kepala tegak kita berkata “kita telah melawan setegak-tegaknya, sehormat-hormatnya”.

Kemerdekaan kita belum menjadi sebuah kemerdekaan yang benar-benar penuh, kemerdekaan yang masih parsial. Kemerdekaan yang selalu kita rakayakan adalah kemerdekaan yang masih berhutang. Berhutang pada anak-anak bangsa yang masih terdiskriminasi, berhutang pada anak-anak dan perempuan yang masih tinggal pengungsian. Kemerdekaan bangsa Indonesia masih berhutang pada jemaat Ahmadiyah transito, masih berhutang pada warga Syiah sampang, masih berhutang pada setiap rumah ibadah Sapta Darma yang di rusak, masih berhutang pada setipa rumah ibadah agama lokal lainnya yang di rusak, masih berhutang pada penganut agama lokal yang sampai saat ini belum mendapatkan KTP dan hak lainnya.

Semua hutang itu harus dibayar oleh negara, jika ingin negara ini tetap besar. Ketika negara ingin punya peradaban yang baik, maka negara harus membayar semua hutang tersebut dengan mengembalikan jemaat Ahmadiyah Transito ke rumahhnya sendiri, mengembalikan warga Syiah Sampang ke rumahnya sendiri, berikan KTP kepada semua yang belum mendapatkan KTP, sehingga kita mendapatkan kemerdekaan sejati yaitu ketika tidak ada lagi rumah ibadah-rumah ibadah yang di segel dan di rusak, tidak ada lagi penganut agama lokal, warga Ahmadiyah dan Syiah yang di diskriminasi dan di teror dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun.


Ketika peradaban adalah kumpulan suatu identitas terluas dari seluruh hasil budaya manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan sebagai suatu bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah, serta juga maju, maka kita belum berperadaban ketika belum memperlakukan secara terhormat semua agama-agama lokal yang ada di Indonesia. karena bicara peradaban adalah bicara bagaimana memahami manusia, memahami manusia akan melahirkan rasa kemanusiaan sehingga tahu bagaimana memperlakukan manusia. Mempertahankan agama lokal dan berbagai keimanan lainnya di Indonesia sama dengan mempertahankan Indonesia sebagai sebuah bangsa, karena ini adalah akarnya, mencabut akar maka dengan sengaja telah membiarkan pohon besar Indoensia mati secara pelan-pelan. Karena itu, semua agama lokal harus merdeka.

Merdekalah Agama Lokal ! Merdekalah semua yang  terdiskriminasi di negeri sendiri!


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :