Parlemen baru Aceh : sebuah harapan ?



Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Segala riuh hajatan pemilihan legislatif (pileg) Aceh 2019 telah selesai. Dulu, mereka bertarung untuk mendapatkan kursi politiknya, sekarang dari kursi politiknya, mereka di tantang untuk  bekerja mempertanggung jawabkan semua cita-cita  dan janji mereka kepada konstituennya. Bekerja disini, tentu bukanlah bekerja dalam arti biasa, yaitu hanya mengulang-ulang apa yang telah dilakukan oleh anggota-anggota parlemen sebelumnya, tetapi bekerja dengan pemikiran dan aksi yang revolusioner, yang melompati segala realitas, menerjang segala penghambat pembangunan kesejahteraan rakyat Aceh serta menyatu dengan eksistensi rakyat adalah syarat mutlak bagi anggota legislatif baru 2019 – 2024. 


 Setiap sebuah pergantian baru, tentu melahirkan harapan-harapan baru. Tetapi dari harapan baru ini, melairkan juga petanyaan penting,  tindakan revolusioner bagaimana yang bisa membuat anggota anggota legislatif baru ini benar-benar berbeda dengan performa anggota legislatif sebelumnya  periode 2014-2019?. Karena, jika tidak ada yang berbeda, berarti sama saja, tidak ada yang bisa diharapkan rakyat. Tentu sebagai Aceh, kita optimis bahwa ini adalah kesempatan berharga bagi para anggota parlemen untuk melakukan sebuah pekerjaan yang akan dikenang oleh bergenerasi-generasi rakyat Aceh.
Sumber : Google

Parlemen Baru : Politik harapan  ?

Politik harapan dalam makna hakikatnya adalah sebuah visi politik yang ditopang oleh keyakinan yang kuat bahwa masa depan dapat lebih baik dan karenanya sebagai individu maupun komunitas, kita mempunyai sebuah kekuatan untuk mengubah sesuatu dan melakukan atau membuat perubahan revolusioner itu sekarang. Politik harapan pada dasarnya adalah juga  sebuah kekuatan yang bisa menjadi mesin penggerak bagi terwujudnya perubahan-perubahan sosial. Politik harapan memampukan individu dan kelompok untuk memulai upaya mencapai sebuah tujuan yang barangkali tingkat keberhasilannya masih jauh dari kepastian. Setidaknya, ia memberikan kita keteguhan hati dalam menghadapi pesimisme atau kemunduran yang bisa membuat kita kehilangan semangat kepada sebuah semangat baru yang bisa dibawa oleh sosok-sosok baru.

Tantangan kita saat ini adalah semua realitas itu berada dititik nadir. Jika melihat semua tingkah polah para elit politik dari segala penjuru negeri, aktifitas politik para politisi  kembali menjadi sesuatu yang paling sulit dipercaya, terutama pada harapan untuk bisa membawa perubahan-perubahan revolusioner, terutama bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ini harus dibaca sebagai sebuah pekerjaan rumah besar bagi anggota legislatif baru “ban sigom” Aceh bahwa keberadaan anggota legislatif baru Aceh ini harus merubah kekecewaan dan apatisme tersebut menjadi sebuah harapan baru, bahwa dengan eksistensi anda diparlemen anda bisa bersuara dengan lantang dan penuh tanggung jawab bahwa, dalam periode lima tahun kedepan kami akan membuat  “politik bisa menjadi harapan”, untuk menyelesaikan segala sengkarut penghambat kesejahteraan rakyat.

Politik yang ditampilkan oleh para politisi kita selama ini, terutama anggota legislatif rupanya lebih merupakan kerja atau aktivitas rutin saja dan bukan tindakan. Karena itu dalam eksistensi anggota legislatif  baru Aceh ini,  maka yang harus dilakukan bukanlah kerja-kerja rutinitas seperti biasa atau kerja-kerja seperti yang dilakukan pada periode sebelumnya,  tetapi sebuah tindakan-tindakan yang benar-benar revolusioner.  Narasi ini adalah seperti digambarkan oleh Hannah Arendt, seorang pemikir perempuan yang berbicara banyak tentang “politik harapan”. Merujuk pada gagasan Arendt (seperti diuraikan James M Campbell, Hannah Arendt [1906-1975]: Prophet for Our Time, 1970), politik dimaknai sebagai tindakan, bukan sebagai kerja ataupun karya. Kerja adalah aktivitas yang sesuai dengan alam, semata-mata mempertahankan kehidupan, sedangkan karya adalah aktivitas manusia di dunia untuk menghasilkan benda-benda dan perubahan yang bisa berwujud pada kesejahteraan.

Tentu aktifitas ini adalah tindakan berbeda dari rutinitas . Tindakan dijalankan dengan kata-kata dan perbuatan, karena bentuk nyata dari kerja politik adalah realisasi kata-kata kesejahteraan kepada wujud kesejahteraan yang lansung bisa di nikmati rakyat. Selalu memainkan narasi keberpihakan pada rakyat untuk sebuah keuntungan politik golongan dan kelompok adalah dosa besar yang tidak bisa dimaafkan dan para politisi yang seperti ini akan lansung terhukum dan tidak akan terpilih lagi pada periode-periode berikutnya. Di point terkahir inilah eksistensi anggota parlemen Aceh yang baru bisa mempraktekkan politik sebagai sebuah harapan.

Parlemen baru dan Etika Kepedulian

Etika kepedulian (ethics of care) dicetuskan oleh Carol Giiligan, yang mengkritik etika Immanuel Kant dan pasca Kant. Feminis ini mengkritik konsep keadilan semu. Keadilan semu yang ia maksud adalah konsep keadilan yang bias, yang hanya menggunakan standar moral laki-laki sebagai tolok ukurnya. Dalam konsep ini dipahami bahwa tahap kedewasaan moral tertinggi hanya dimiliki laki-laki, sedangkan perempuan dianggap masih tidak dewasa secara moral. Ini tentu sangat dibuthkan dan perlu menjadi pekerjaan rumah besar bagi parlemen baru Aceh, dengan bekerja tidak hanya berpedoman pada standar moral laki-laki saja yang selalu bias, sehingga selalu hanya melahirkan kebijakan-kebijakan yang misoginis yang membenci perempuan dan seluruh sejarah perempuan, sehingga perempuan selalu hanya menjadi objek kebijakan. Berubahlah dari paradigm misoginis kepada paradigm transformative yang melihat semua berdasarkan keadilan dan kesejahteraan yang benar-benar setara dan bermartabat , sehingga melahirkan tindakan mewujdukan semua kebaikan kepada siapapun.

Etika kepedulian ini adalah sesuatu yang sangat mendesak bagi Aceh, dan anggota legislatif yang baru adalah elemen yang sangat cocok untuk mempraktekkan etika kepedulian ini. Etika kepedulian merupakan moral tertinggi bagi seorang anggota legislatif baru Aceh. Etika ini penting untuk dijadikan indikator menilai tindakan anggota legislatif baru Aceh.

Pertanyaan penting dalam etika adalah, apa yang memotivasi seseorang untuk bertindak ?. dalam kaitannya dengan anggota legislatif baru, maka pertanyaan yang dapat kita tanyakan adalah apa yang memotivasi anggota legislatif baru bertindak ?. Jika yang memotivasi mereka adalah untuk kepentingan diri sendiri, maka ini adalah etika anak kecil (bayi) bahwa bagi bayi yang baik adalah yang member nikmat, yang tidak baik  adalah yang tidak memberi nikmat, mereka hanya bertindak berdasarkan apa yang bisa menyenangkan mereka saja dan tidak mau bertindak jika tidak menguntungkan mereka.  

Tahapan berikutnya adalah tahapan yang mulai melihat kepentingan sendiri yang berhadapan dengan kepentingan orang lain, bahwa ada kepentingan orang lain dibalik tindakan saya. Artinya, anggota legislatif baru akan mencari nikmat dan keuntungan dengan cara yang tidak merugikan orang lain, sama-sama beruntung (win-win solution), tetapi tahapan ini belum disebut etika (moral,  tapi hanya pertimbangan kepentingan saja.

Tahap berikutnya adalah yang baik tidak lagi yang memberi nikmat, tetapi apabila supaya ingin dipuji orang, bertindak hanya jika dipuji, artinya anggota legislatif baru akan bertindak apabila diminta (tanpa inisiatif bertindak dari anggota parlemen sendiri).
Tahapan paling tinggi dan paling penting bagi seorang anggota legislatif baru adalah bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etis, yang menjadi asas utama disini adalah keadilan. Anggota legislatif baru akan melakukan segala sesuatu tindakan berdasarkan prinsip keadilan, melakukan apa yang benar, bukan apa yang menguntungkan atau pada apa yang menyenangkan dan bukan berdasarkan untuk dipuji, bukan lagi sesuai dengan kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok. Dalam etika seperti inilah anggota parlemen baru Aceh dibutuhkan.  Tindakan ini akan bisa dilakukan oleh anggota legsilatif baru apabila membuka mata untuk melihat realitas secara adil  dan positif. Inilah tahapan etika yang disebut etika kepedulian, peduli pada realitas dan melakukan tindakan revolusioner berdasarkan prinsip kebaikan, kebaikan disini adalah sesuatu yang berdampak luas, seperti kesejahteraan dan kemakmuran. Dalam kerja anggota parlemen Aceh baru, kita akan dapat melihat tindakan mereka berdasarkan tingkatan etika diatas, ini sangat penting sebagai sebuah “alat kontrol”, karena selama ini anggota parlemen banyak menguras energi untuk mengurus persoalan moral, dari pada kesejahteraan.

Selamat bekerja kepada para anggota parlemen baru Aceh,   “amanah rakyat adalah tanggung jawab moral, yang harus diwujudkan dengan wujud kesejahteraan, bukan basa basi
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :