Politik, Spiritualitas dan Keselamatan Manusia
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA
“Hakikat Manusia tidak lain adalah kehendak untuk Berkuasa”,
demikian sebaris kalimat dari Friedrich Nietzsche, sang filosof aforis yang
menyibak hakikat keberadaan manusia di kedalamannya yang tak terbendung.
Pemikir yang selalu “meresahkan” ini membongkar sisi tertajam “kehewanian”
manusia dari ranah yang tanpa sadar di imani manusia, yaitu kehendak untuk
berkuasa. Kita bisa saja membenci Nietzsche, hatta karena dia dicap atheis.
Namun, itulah kita, kita membenci sekaligus mempraktekkan apa yang di urainya.
Sumber : Rumah Filsafat |
Dalam setiap helat politik, kita bisa membaca, bahwa pertarungan
mendapatkan kekuasaan adalah perkara hidup dan mati, perkara kehormatan dan
marwah yang wajib di dapatkan, bahwa pekerjaan untuk merebut kekuasaan harus
dilakukan dengan menghalalkan segala cara “ala machiavelian” untuk
mendisiplinkan, membuat patuh dan menundukkan manusia, sehingga apabila
keinginan ini tidak tercapai, maka manusia akan melukai, akan menganiaya, akan
mengancam dengan berbagai kalimat hegemonik bahkan membunuh manusia lainnya
untuk sebuah kekuasaan.
Dari segala kesadaran kita untuk bisa hidup nyaman, maka kita
wajar bertanya: “Bisakah setiap perhelatan demokrasi tanpa mengorbankan
manusia ?. Bisakah setiap perhelatan demokrasi kita tanpa menumbalkan manusia
sebagai persembahan bagi sebuah kekuasaan ?”. Ini bukanlah pertanyaan
cengeng, tetapi pertanyaan pemberontakan atas kondisi yang selalu saja berulang
dimana manusia selalu jadi sasaran yang dikorbankan untuk menciptakan ketakutan
agar manusia tunduk dan patuh pada kerja kekuasaan yang ingin direbut.
Melakukan kekerasan, mengancam manusia, menumbalkan manusia
untuk mencapai tujuan kekuasaan dan mengorbankan manusia sebagai objek untuk
menakuti yang lain adalah sebuah peradaban kuno barbarian yang sudah sangat
layak ditinggalkan. Siapapun dan dimanapun keberadaan orang yang tetap
melakukan ini, maka ini adalah tindakan paling pengecut dan paling tidak
berperadaban dalam sejarah panjang hidup manusia.
Manusia oleh kelompok yang selalu membuat kekacuan ini tidak
pernah dibaca sebagai tubuh yang harus
di hargai hidupnya, karena seandainya manusia dihargai hidupnya, maka kalimat
yang muncul adalah : “Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, maka tubuh
ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan
tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri berhak untuk tumbuh, berkembang, dan
menjadi tubuh yang diakui dan dihormati keberadaaannya, karena tubuh ini
adalah tubuh yang penting bagi kebaikan manusia ”. Dari sekian lama
cita-cita bangunan peradaban kita, maka perilaku sebagian kelompok ini adalah
aib peradaban kita.
Maka sangat berbahaya bagi kemanusiaan dan peradaban kita ketika
terus membiarkan segelintir manusia ini mempraktekkan politik “Machiavelian”,
yang terjadi persis didepan jantung kesadaran kita, karena ketika kelompok
seperti ini berkuasa maka kekuasaan ini akan menjadi klaim kebenaran sebagai
kekuasaan yang dianggap mewakili rasionalitas persetujuan seluruh manusia.
Makna Keselamatan Manusia
Dalam agama manapun, menjaga keselamatan manusia adalah
kemutlakan. Islam adalah agama yang menghargai kehidupan. Membunuh satu jiwa
dalam Islam sama dengan membunuh seluruh manusia dibumi. Ruh dan spirit Islam
adalah rahmat bagi semesta, melakukan kerusakan, kekacauan, teror bukanlah
spirit rahmatan lil’alamin, itu adalah semangat barbarian dan machiavelian.
Salah satu tujuan Islam sebagai agama adalah menjaga jiwa (menjaga keselamatan
jiwa manusia). Karena itu setiap ikhtiar dalam kondisi apapun untuk menjaga
keselamatan jiwa manusia adalah jihad besar, karena dengan menjaga keselamatan
satu jiwa sama dengan menjaga keselamatan seluruh jiwa lainnya.
Mengapa kita tidak melakukan kebalikannya saja, bahwa kekuasaan
adalah sebuah kompetisi untuk saling menyelamatkan manusia dan bukan saling
melukai dan membunuh manusia . Manusia harus dikenali sebagai manusia, memahami
manusia oleh manusia adalah kesibukan tertua dalam sejarah manusia, tujuannya
adalah supaya kita belajar dan tidak mengulangi. Kekerasan, pembunuhan,
teror terjadi karena manusia dikenali tidak oleh manusia, tetapi oleh hasrat
kebinatangan yang saling berkompetisi sebagai predator agar eksis dan berkuasa.
Karena itu, manusia ] dengan segala ikhtiar dan mujahadahnya, harus menjadi
manusia yang mengenal dirinya sendiri agar mengenal manusia lain dengan cara
manusia.
Berabad-abad lalu, Sokrates telah mengingatkan manusia, bahwa
mustahil manusia mencapai pengetahuan tentang berbagai fakta dan kondisi
objektif (peradaban, kebudayaan,kebahagiaan) kalau belum memahami hakikat
manusia itu sendiri dan mustahil kita mengenal manusia sebelum kita mengenal
diri kita sendiri sebagai manusia. Sokrates adalah peletak dasar bagi
esensialitas manusia agar mengenal dirinya sendiri, melalui ungkapannya yang
sangat terkenal yaitu : “Gnothi Seauton” (Kenalilah dirimu),
bahwa setiap kerja membangun peradaban kita, membangun demokrasi kita,
membangun budaya kita maka harus selalu diawali dengan petanyaan : “kenalilah
dirimu, agar engkau mengenal manusia lainnya dilaur dirimu dengan cara
manusia”, agar peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang kita bangun adalah
peradaban, kebudayaan dan kehidupan yang memanusiakan manusia.
Spiritualitas Politik
Versus Machiavelian
Atas nama apapun, praktek mengancam manusia, membunuh dan
melukai manusia, adalah pengingat kita untuk tidak lupa bahwa betapa merusak
dan berbahayanya gerakan politik ala Machiavellian. Fondasinya adalah nasehat
Machiaveli kepada sang pengeran (penguasa), yang mengadu kepada Machiavelli,
tentang bagaimana membuat rakyatnya takut, tunduk dan patuh. Lalu terzahirlah
satu kalimat yang kelak menjadi fondasi teror didunia yaitu : “Bagi
seorang Pangeran (Penguasa), ketakutan lebih penting daripada dicintai”. Sehingga
untuk melaksanakan nasehat Machiaveli, penguasa harus meneror dan membunuh
banyak orang.
Penanda dari betapa tidak manusiawinya ala Machiavellian ini
adalah karena gerak politik yang dipakai untuk merebut kekuasaan ini terjadi
secara liar dalam kendali manusia irrasional baik pelaku maupun pendesain tanpa
ada satu sosok yang disebut sebagai subyek agung dibelakangnya. Semua ini
adalah gerak liar yang berjalan secara mekanis sebagai mesin perusak, tanpa
bayangan Tuhan dan tanpa arah. Karena, kalau ada sosok Pencipta (Tuhan) dan
sosok agung yang holisitik dan transenden dibelakang gerak politik ini, maka
tidak akan ada teror, kekerasan dan pembunuhan.
Gerakan politik ala Machiavelian ini harus
sesegera mungkin dihentikan dalam konteks masa depan peradaban Aceh, karena
kalau tidak, keberadaannya akan semakin memperpanjang rantai kekerasan dan
teror berulang yang sangat mengganggu setiap usaha memajukan peradaban.
Menghilangkan ini, kita tidak bisa berharap banyak dari apapun selain kepada spiritualitas
politik. Berharap pada politik yang bukan spiritualitas politik adalah “nihilisme
belaka”. Hanya kekecewaan dan keberulangan yang akan kita dapatkan.
Spiritualitas politik disini adalah gerakan politik sebagai
sebuah gagasan dan narasi besar pembebasan manusia. Ketika sebagian manusia
melalui kekuasaannya merebut kuasa untuk memenjara manusia, menciptakan
ketakutan, pendisiplinan dan penciptaan kepatuhan menggunakan agama, maka
spiritualitas politik berdiri digarda depan mengembalikan agama yang dibajak
untuk kepentingan kekuasaan tersebut kepada ruh agama sebagai spirit
pembebasan, karena di belakang gerakan spiritualitas politik ada satu sosok
agung transenden (Guru/Mursyid) yang bisa menciptakan kepatuhan suci, yaitu
kepatuhan dan kebersamaan pembebasan manusia.
Gerakan spiritualitas politik ini, dalam sejarah dunia banyak
dipraktekkan oleh gerakan spiritualitas kaum Sufi, karena kaum Sufi tidak lagi
bermain diwilayah simbolik kulit luar, tetapi sudah bermain diwilayah hakikat
terdalam yaitu makrifat politik yang bekerja menurunkan keadilan Ilahiyah
kepada manusia di bumi melalui kerja-kerja narasi dan aksi untuk menyelamatkan
manusia dari setiap upaya upaya mematikan manusia oleh manusia.
Salah satu diskursus dari narasi spiritualitas politik
adalah “Kepemimpinan yang melayani”, yaitu membebaskan kekuasaan
dari paradigma yang elitis dan menakutkan sehingga kekuasaan tersebut harus
dilayani kepada kekuasaan sebagai pelayan, yang melayani rakyat seperti
sahabat. Gerakan politk ini penting untuk memberikan pelajaran bagi perlawanan
terhadap “industrialisasi-komersialisasi politik” dan “politik
Machiavellian” yang kering dari kesejatian pembebasan manusia.
Sejatinya, gerakan spiritualitas politik kaum Sufi dalam era kekinian adalah
gerakan yang menyongsong segala tantangan dan permasalahan untuk
menyelesaikannya sampai tuntas dan berjangka panjang, tidak temporal dan tidak
berdasarkan kepentingan kelompok tetapi berdasarkan kepentingan umat.
Politik Machiavellian tidak pernah menginginkan
adanya persatuan manusia, tetapi lebih memilih mengelola ego hegemoniknya demi
kepentingannya sendiri. Sedang spiritualitas politik selaku bekerja pada upaya
menyatukan manusia tanpa sekat apapun, karena spiritnya adalah pengabdian dan
pengabdian itu adalah penghambaan transenden dari tujuan diciptakannya manusia
yaitu untuk saling membahagiakan sesama manusia. Spiritualitas politik ini
adalah narasi jangka panjang bagi Indoensia dan akan terus mengisi ruang-ruang
perlawanan dan pendidikan karena ini merupakan jihad untuk menghilangkan
politik Machiavellian .