Tasawuf Mendamaikan Dunia
Teuku Muhammad Jafar Sulaiman
Damai
adalah keniscayaan dan dambaan siapapun, apapun agama, keyakinan, suku, jenis
kelamin, latar belakang budaya dan status sosialnya. Damai adalah given
(pemberian) lansung Tuhan, yang melekat pada manusia seiring dengan melekatnya
martabat kemanusiaan pada manusia. Namun dalam perjalanannya, manusia yang
punya “kebebasan” sebagai nilai asasinya, atas kepentingan tertentu terkadang
mengabaikan anugerah ini, mengubah energi positif damai yang ada
padanya menjadi energi negatif kekerasan sehingga dunia berubah dari damai
menjadi kekerasan yang berlipat ganda. Dalam fenomena seperti ini, muncul satu
pertanyaan penting, harmoniskah dunia dengan kekerasan yang berlipat ganda
?.
Sumber : Google |
Emmanuel Levinas (Filsuf dan Fenomenolog Perancis) menyebut realitas diatas sebagai “enigma wajah orang lain”. Ketika melihat wajah orang lain, manusia terusik oleh wajah lain diluar dirinya tersebut, dan tidak melihat wajah lain tersebut sebagai wajah sesama manusia yang pasti punya nilai kesamaan yaitu cinta dan kasih. Enigma wajah orang lain ini muncul karena manusia mengidentifikasi wajah manusia diluar dirinya bukan berdasarkan kesamaan sebagai manusia, tetapi berdasarkan perbedaan agama tertentu, ideologi tertentu, kebudayaan tertentu dan sebagainya, bukan berdasarkan relasi kesetaraan , tetapi berdasarkan relasi kuasa mayoritas-minoritas sehingga ketika dia melihat manusia lain diluar dirinya, maka itu adalah orang lain yang tidak sama seperti dirinya, ketika tidak sama seperti dirinya, maka bisa direndahkan dan diperlakukan semena-mena. Ketika ini yang mengemuka, maka dimana-mana akan melahirkan kekerasan berdasarkan agama, berdasarkan identitas, sehingga bumi yang kita tempati semakin hari semakin jauh dari kesan damai, padahal damai adalah matahari bagi mawar kehidupan, selalu mekar membawa keharmonisan, sedangkan kekerasan memadamkan matahari kedamaian dan mematikan mawar-mawar kehidupan. Selama manusia didunia masih melihat manusia diluar dirinya berdasarkan “identifikasi negatif” perbedaan agama, suku, ras, etnis, jenis kelamin maka selama itu damai tetap menjadi sesuatu yang langka dan mahal untuk ditemukan. Ini dikarenakan tidak akan ada penghargaan terhadap manusia berdasarkan nilai kesamaan, karena yang dicari adalah pembeda-pembeda untuk sebuah ego superioritas yang bertujuan menundukkan yang lain dalam kuasa tanpa batas, seolah –olah hidup hanyalah untuk berkuasa, bukan untuk berbagi, merangkul dan bergandeng tangan.
Immanuel Levinas Sumber : Google |
Dalam banyak hal, kita dapat melihat secara kasat mata realitas dunia saat ini, dimana eksistensi manusia dan kehidupan manusia menjadi sesuatu yang kurang dihargai. Damai seperti menjadi sesuatu yang langka dan harus di perjuangkan secara sangat melelahkan. Padahal Mahatma Gandhi dengan jelas berkata, “Nasionalisme saya adalah kemanusiaan”. Artinya kelansungan hidup manusia, harus benar-benar dijaga dengan nilai apapun. Berpijak dari kondisi ini, maka dunia membutuhkan sebuah puncak akal budi yang mampu mengalirkan mata air keteladanan dan mata air kedamaian, yang alirannya sangat deras, meruntuhkan tembok sekat-sekat manusia, kemudian merajut manusia kepada penyatuan dalam damai.
Puncak
akal budi yang dimaksud tidak lain merupakan hadirnya suatu gagasan rasional
tentang keniscayaan hubungan antara diri yang melakukan sesuatu dengan sumber
penggerak yang menyebabkan kita melakukan tindakan tertentu. Asumsi ini muncul
dari pemahaman bahwa setiap tindakan manusia pasti dilandasi oleh
pemahamannya terhadap suatu realitas atau kondisi yang menyebabkan ia melakukan
suatu kebaikan atau keburukan, sementara pemahaman sendiri identik
dengan daya rasio dalam menganalisa suatu kondisi yang melekat pada ruh
manusia. Karenanya, faktor netralitas ruh dari kecenderungan pada keburukan
menjadi penentu kehadiran tindakan luhur bagi kemanusiaan dan semesta secara
keseluruhan. Manusia jelas tidak mampu mengkreasi ruh, karena manusia berikut
segala tindakannya adalah akibat dari kehadiran ruh, dengan demikian mustahil
akibat memproduksi sebab. Pada dimensi yang lain, faktor keberadaan sesuatu
(dalam posisinya sebagai akibat) didahului oleh keberadaan faktor lainnya yang
lebih tinggi, sehingga dalam konteks ruh dan tindakan manusia, kualitas nilai
akal budi dan tindakan manusia ditentukan sesuai keterkaitannya dengan
tingkatan ruh yang menjadi sandaran rasionya. Jika bersandar pada formula ini,
maka semakin tinggi dimensi ruh yang menjadi sandaran rasio manusia maka
semakin sempurna kualitas perilaku manusia tersebut. Ruh tertinggi adalah yang
menguasai semesta raya ini, dimana seluruh keragaman makhluk eksis secara
berdampingan karena semesta lahir sebagi citra dari nilai keteraturan dan
keharmonisan ruh tertinggi tersebut.
Dari
sini, kita akan menyadari bahwa dunia membutuhkan
sebuah nilai kehidupan yang bisa menjadikan damai sebagai “ruh
semesta”, yang akan menjadikan jiwa-jiwa manusia di seluruh semesta menjadi
jiwa yang selalu diliputi cahaya kedamaian sehingga dunia selalu terang dengan
kedamaian. Seperti kata Martin Luther King Jr : “Gelap tidak bisa mengusir
gelap, hanya terang yang bisa, kebencian tidak bisa melawan kebencian, hanya
cinta yang bisa”.
Nilai
ini adalah nilai yang punya ruh dan dimensi yang bisa mengintegrasikan manusia
kepada dimensi Ilahiyah transenden. Nilai yang bisa melangitkan manusia menjadi
insan paripurna yang menyatu dengan ruh semesta, dan dari penyatuan ini,
manusia akan mendapat nilai murni kedamaian, sehingga dengan nilai murni
kedamaian yang didapat ini, manusia akan menjadi pembawa damai abadi dibumi.
Diantara berbagai nilai yang ada, tasawuf adalah salah satu jalan untuk
mendapatkan nilai-nilai kedamaian itu, karena nilai abadi kedamaian hanya bisa
didapat dari kedalaman jantung mistisime, tidak bisa didapat dari formalitas
agama. Karena mistisisme adalah jantung agama, hakikat disebalik hakikat.
Formalisme agama hanya melihat dari kuliat luar, yang tentu segera melahirkan
perbedaan negatif kasat mata, sedangkan mistisime, sudah secara jauh melihat
kedalam penyatuan perbedaan kedalam satu nilai bersama yang disebut keimanan
universal. Praktek para sufi dengan ajaran cinta dan kasihnya
adalah salah satu alternatif dunia saat ini yang sangat layak
menjadi nilai universal yang bisa menyatukan manusia dalam damai, karena nilai
ini adalah nilai yang berasal dari jantung “causa perennia”,
keabadian utama, yaitu cinta kasih Tuhan, bukan cinta kasih berdasarkan agama
dan dan berdasarkan kepercayaan.
Tasawuf,
Keimanan Universal dan Kedamaian
Dalam
pengantar bukunya, “The Great Transformation ; awal sejarah Tuhan”,
Karen Armstrong menulis
“Selama abad kedua puluh, kita menyaksikan ledakan kekerasan dalam
skala yang belum pernah tertandingi sebelumnya, yang memiriskan kita adalah
kemampuan kita untuk saling menyakiti dan merusak ikut meningkat seiring
kemajuan ekonomi dan kemajuan ilmiah kita yang luar biasa. Kita sepertinya
tidak memiliki kearifan untuk menahan laju agresi kita dan menjaganya dalam
batas-batas yang aman dan pantas. Peledakan bom atom pertama diatas Hiroshima
dan Nagasaki telah menelanjangi perusakan diri yang nihilistik di tengah-tengah
pencapaian gemilang budaya modern kita. Kita berani mengambil risiko kerusakan
lingkungan, karena kita menganggap bumi bukan sesuatu yang kudus, melainkan
menganggapnya sekadar sebagai “sumber daya”. Kalau tidak ada sejenis revolusi
spiritual yang bisa menyandingi genius teknologi kita, sepertinya kita tidak
akan bisa menyelamatkan planet ini. Pendidikan yang murni rasional tidak akan
mencukupi, ketika kepekaan terhadap kesucian setiap manusia lain telah musnah”.
Dunia memerlukan revolusi spiritual, yang bisa menyelamatkan
planet bumi kita. Rasio bukanlah sesuatu yang tidak penting, sangat penting,
tetapi ketika rasio tidak bisa lagi menjelaskan dalam batas-batas fisikal
mengapa anak-anak, perempuan dan para orang tua yang tak bersalah disebagian
dunia harus eksodus dari tanah yang melahirkan dan membesarkan mereka, ketika
rasion tidak bisa menjelaskan mengapa orang-orang tercinta harus direnggut dari
tangan mereka. Dalam konteks ini, ketika agama yang dipercayai juga menjadi
bagian yang dipakai untuk menyumbang amunisi kekerasan, maka jawabannya adalah
satukan semuanya dalam sebuah “keimanan semesta”, keimanan universal”, siapa
saja, agama apa saja, kepercayaan apa saja disatukan dibawah keimanan universal
ini.
Keimanan Universal adalah sebuah wadah yang saat ini sangat
dibutuhkan dunia dalam menjaga eksistensi keharmonisa dunia dengan damai.
Berbagai gejala dunia yang terjadi saat ini adalah dikarenakan parsialitasnya
keimanan di masing-masing agama tanpa pernah mau menuju kepada satu titik temu
universal. Fundamentalisme agama yang begitu kuat menggejala saat ini adalah
salah satu indikator dari praktek parsialitas keimanan tersebut. bagaimana
dengan keimanan para sufi ?. apakah juga bermain pada wilayah parsialitas
keimanan ?.
Sejarah telah membuktikan, bahwa kaum sufi tidak pernah
mempraktekkan parsialitas keimanan. Keimanan universal adalah keimanan yang
senantiasa dipraktekkan oleh para sufi dari masa ke masa. Para Sufi zaman dulu
telah merumuskan sebuah visi yang besar pada terciptanya kedamaian dunia.
Keimanan universal adalah keimanan inklusif, keimanan yang terbuka, keimanan
yang berada pada sisi hati terdalam bahwa ada banyak keimanan lain, diluar
keimanan kita. Namun, kita semua bisa bersatu dibawah awan “keimanan
universal”. Agama, dengan nama tertentu, hanyalah unsur yang melekat saja,
tetapi intinya adalah pada Tuhan yang satu, tetapi disebut dengan nama yang berbeda-beda.
Para
Sufi dan keimanan universal, adalah matahari dan inti matahari, tidak terpisah,
satu kesatuan. Pertanyaan berikutnya bagaimana korelasi Tasawuf dan kedamaian
dunia, bahwa tasawuf mendamaikan dunia. Ibarat sebuah bangunan, maka tasawuf tidak
lagi berada diluar bangunan, sehingga berdebat apa isi peralatan didalam rumah,
tetapi sudah berada didalam bangunan, yang mengetahui apa hakikat bangunan
tersebut. Dalam konteks mendamaikan dunia, maka nilai yang ada pada
ajaran tasawuf adalah nilai yang sudah sangat pasti bisa menjaga damai dunia,
karena damai universal pasti lahir dari damai-damai individu yang punya ruh
damai, dan mendamaikan ruh adalah wilayah abadi tasawuf, wilayah
“perennial” yang terus senantiasa di praktekkan para sufi. Individu
yang dimaksud dalam epistemologi tasawuf, adalah individu tanpa batas, tanpa
batas agama, suku, ras, jenis kelamin dan sebagainya. Tasawuf tidak
lagi berbicara dimensi luar manusia, tetapi dimensi batin, ruh spiritual
manusia, tasawuf tidak bicara mendamaikan manusia di fisiknya, tetapi
mendamaikan manusia di ruhnya yang terdalam, karena ruh adalah dimensi yang
harus senantiasa dibebaskan dari keterkungkungan badan, ketika ruh menjadi
damai, maka fisik akan mengikuti ruhnya sebagai pemandu damai dan menerbitkan
kedamaian bagi dunia dari dimensi rahmatan
lil’alamin.
Tasawuf
tidak lagi mengidentifikasi manusia berdasarkan agama-agama, tetapi berdasarkan
nilai-nilai semesta yaitu Cinta. Cinta adalah nilai yang bisa mempersatukan
dunia dan cinta adalah damai bagi dunia. Dalam ajaran tasawuf, para
sufi tidak lagi menjadikan diri mereka hanya untuk golongan tertentu saja, atau
untuk golongan sufi saja, atau Islam saja, tidak. Tetapi mereka
mengibaratkan diri mereka seperti awan “menaungi siapa saja yang
dibawahnya, apakah dia beriman atau tidak, baik atau buruk, bertuhan atau
tidak”. Ini adalah nilai universal dan logika universal yang bisa
menjaga dunia tetap damai.
Nilai
Sufistik lainnya yang senantiasa dipraktekkan para sufi dari ajaran tasawuf
yang merepresentasikan kedamaian universal adalah : “ Kita hidup
dibawah matahari yang sama, dibawah bulan yang sama, minum air yang sama,
bernafas dari udara yang sama “, lantas apa yang membedakaan kita ?.
Sufi tidak mengenal lagi pembedaan itu, karena yang disatukan adalah hati, yang
mampu melangitkan manusia dan membumikan damai, manusia yang melangit adalah
manusia yang paham makna kasih sayang Tuhan dan paham bahwa makna hakiki ajaran
agama adalah cinta dan kasih sayang. Manusia yang melangit adalah manusia yang
tidak melihat lagi segala keburukan, tetapi yang terlihat adalah selalu
kedamaian.
Dedikasi
para sufi sebagai “awan yang menaungi siapa saja”, ini adalah
nilai yang memposisikan diri mereka sebagai lambang pembawa damai bagi semesta.
Awan adalah simbol kesejukan dan keteduhan, bukan untuk satu ras saja atau satu
agama saja, tetapi untuk semua manusia. Awan tidak pernah memilih akan
menanungi siapa, tetapi selama itu adalah manusia dan segala yang hidup di
bumi, di naungi oleh awan, begitulah eksistensi para Sufi dalam menjaga dunia
dalam damai. Banyak sekali para sufi yang beraneka ragam ajarannya, tetapi
semuanya bermuara pada satu dasar, yaitu cinta. Dunia diciptakan karena cinta
dan akan terjaga dengan cinta.
Cinta
menjaga Dunia
Pernah
kita bayangkan jika cinta tidak ada lagi dibumi, tidak ada lagi dihati setiap
insan ?. jika cinta terkikis dari hati dan berganti menjadi kebencian, maka
dunia akan diliputi segala kekacauan dan garis indah pelangi akan ternoda
dengan ketidak harmonisan. Karena itu, secara sederhana, cinta perlu dijaga
untuk tetap bersemayam disanubari setiap insan. Kekerasan yang terjadi
disebabkan tidak lain adalah karena hilang cinta dalam hati setiap insan, untuk
konteks dunia saat ini, cinta adalah obat paling mujarab bagi dunia. Dunia yang
harmonis hanya dapat diwujudkan jika relasi dan interaksi antar manusia adalah
berdasarkan cinta dan kasih sayang.
Rumi
menggambarkan melalui syairnya tentang pentingnya cinta bagi harmonisasi dunia
dan pentingnya peran tasawuf dalam mendamaikan dunia.
“Mari,
datanglah dan bergabunglah dengan kami, karena kami adalah pecinta ! ayo
datanglah melalui pintu cinta. Bergabunglah dan duduk bersama kami. Ayo, mari
kita berbicara satu sama lain melalui hati kita. Mari kita berbicara diam-diam,
tanpa telinga dan mata. Mari kita tertawa bersama tanpa bibir atau suara,
marilah kita tertawa seperti mawar. Mari kita memanggil satu sama lain dari
hati kita”.
Damai
yang ada dalam ajaran tasawuf, bukanlah damai biasa, bukan damai yang tergali,
tetapi damai yang bersumber dari keabadian kasih dan sayang Tuhan. Sehingga
kemanapun dibawa, akan tetap bersinar dan tetap membawa nilai-nilai harmonis
bagi dunia. Salah satu nilai keabadian tersebut ada pada “wahdatul wujud”.
Dalam ajaran para Sufi “wahdatul wujud” adalah spirit pemersatu dunia dalam
damai dan kemanusiaan, karena manusia adalah satu, menuju kepada satu dan
dengan itu tasawuf selalu mendamaikan dunia .