Tiro, Spiritualitas Nietzsche dan Aceh
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA
Hasan Tiro adalah pengutip Nietzsche yang brillian. Ini adalah
fakta tentang kelebihan dan kecerdasan Hasan Tiro dalam memilih pemikir
tertentu sebagai spirit intelektualitas dan spirit perlawananya. Dalam
setiap perjalanannya, naik turun lembah, mendaki dan menuruni gunung demi
gunung, melintasi berbagai negara dunia, spiritualitas Nietzsche selalu hadir
dalam pengembaraan seorang Hasan Tiro, semuanya tumpah dalam goresan Price
of Freedom : The Unfinished Diary, sebuah catatan harian selama
memimpin perlawanan di hutan-hutan Aceh, dokumen warisan dari perjuangan untuk
pembebasan.
Sumber : Google |
Friedrich Nietzsche adalah filosof pendobrak yang lantang
berkata : Ich bin kein Mensch,
ich bin Dynamit; Aku bukanlah manusia, aku adalah dinamit (Ecco
Homo, 1888). Nietzsche, seorang pemuda, yang dipersiapkan untuk menjadi pastor,
tetapi kemudian memilih filsafat sebagai jalan hidupnya, yang dia sadari
sepenuhnya sebagai sesuatu yang penting bagi manusia, dia berijtihad melahirkan
konsep nihilisme, ubersmench (manusia melampaui), Kehendak
untuk berkuasa dan kembalinya segala sesuatu. Di atas
itu semua, sampai saat ini dan di masa mendatang, Thus Spoke
Zarathustra (Sabda Zarathustra) adalah karya abadi Nietzsche, menjadi
bacaan penting bagi siapapun yang punya nalar perlawanan terhadap kemapanan
yang dianggap sudah selesai. Pemikir yang sering disalahpahami ini adalah
cahaya yang telah mempengaruhi pemikir-pemikir besar seperti Karl Jaspers,
Martin Heidegger, Michael Foucault, Jacques Derrida bahkan Muhammad Iqbal.
Pemikiran adalah spirit penting bagi peradaban, karena pemikiran
adalah pembentuk peradaban itu sendiri. Kami
tersilang, terpaut, sebagai sesama penikmat Nietzsche. Mendalami Nietzsche
adalah berenang di samudera raya, bebas, menggelora, lepas dari sungai-sungai
kecil yang sempit, dangkal, bahkan kadang kotor dan penuh sampah, persis
seperti ungkapan Nietzsche :
“Kita meninggalkan daratan dan sudah menuju
kapal ! kita sudah membakar jembatan dibelakang kita- dan lagi, kita sudah
menghapus daratan dibelakang kita! Dan kini, hati-hatilah kau kapal mungil!.
Samudera raya mengelilingimu : memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan
kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas dan mimpi yang indah.
Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas”
Dalam konteks Aceh kekinian, membaca dan mendalami Price
of Freedom, yang ditulis Hasan Tiro adalah juga sama penting dengan
membaca ubermensch dan Sabda Zarathustra Nietzsche,
semuannya untuk mengerti bahwa kebebasan adalah harga mahal untuk membangun
peradaban Aceh masa depan, yang tidak boleh di sia-siakan dan dibiarkan
berlarut-larut hanya karena nikmatnya kemewahan materi, sehingga melupakan
tujuan utama yaitu kesejahteraan bagi Aceh.
Karena jika tidak, kita akan terus tertinggal jauh, sementara dunia
terus berubah.
Pendidikan yang ditempuh Hasan Tiro di Barat, mengenalkannya
pada pemikiran-pemikiran Barat, dan salah satu pemikir Barat yang membuat Hasan
Tiro jatuh hati adalah Nietzsche. Ini adalah fase penting bagi pandangan dunia
Tiro dalam rancang bangun epistemologi perlawanan untuk konstruksi Aceh masa
depan. Hasan Tiro seringkali mengutip Nietzsche di dalam berbagai tulisan dan
pidato-pidatonya. Thus Spoke Zarathustra (Sabda Zarathustra) adalah
sisi spiritualitas Nietzsche yang di terjemahkan Wali bagi dirinya
sebagai a wanderer and a mountain climber, yang dengan segenap
kekuatan hati mengalahkan perasaan kesendiriannya.
Sumber : Google |
Sebagaimana imajinasi Nietzsche dalam Thus Spoke
Zarathustranya, Tiro juga mengartikulasikan setiap perjalanan menuju
puncak kemenangan dengan menggabungkan romantisme, historisitas dan sisi
spiritualitas Islam Aceh kedalam ramuan pemikiran dan kacamata Barat sebagai
representasi dunia. Kesendirian (loneliness)yang
dirasakan oleh pemuda Tanjong Bungoeng ini juga semakin meneguhkan spirit
perlawanannya, yang tentunya di samping terinspirasi dari kesyahidan Tiroisme,
spiritualias kesyahidan Husein di Karbala (Tiro, 1981 ; 208-211) juga berangkat
dari konsep ubermensch (manusia melampaui) yang direkonstruksi
oleh Nietzsche. Ubermensh adalah sebuah konsep tentang cara
manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri, otonom sebagai manusia tanpa
batas, tanpa berpaling dari dunia dan menengok keseberang dunia. Dalam terminology
Aceh, ini dapat diartikan dengan turi droe dan bagaimana kita
memperkenalkan diri kita kepada dunia dan posisi kita sebagai orang Aceh bagi
dunia, yang di narasikan Tiro.
Namun, ada satu kalimat NIetszche yang begitu menyihir Hasan
Tiro dalam spirit perlawanannya untuk pembebasan Aceh, kalimat itu adalah : “lebih
baik mati secara terhormat ketika tidak ada lagi alasan untuk hidup secara
bermartabat”. Manusia adalah
makhluk untuk hidup secara bermartabat di tempatnya sendiri, di tanahnya
sendiri, dirumahnya sendiri. Ketika martabat ini dirampas dan dilucuti maka
melawan adalah martabat itu sendiri, mati ketika melawan adalah mati secara
terhormat.
Nietzsche adalah sosok pemikir soliter, mendalam yang
memformulasikan pemikiran-pemikiranya berdasarkan renungan metafisis mendalam
atas realitas dan arti penting kemerdekaan manusia untuk lepas dari segala
ketertindasan. Tiro adalah juga sosok demikian (Nitzschean) yang dengan segala
kemendalaman berfikirnya telah mampu mencabut akar terdalam dari fondasi
konsep ureung Aceh, sebagai Bansa Teuleubeh (melampaui/ubermensch) sebagai
manusia dunia (ureung doenya), yang dalam aforisme-aforisme Nietzsche
disebut dengan samudera raya. Manusia-manusia Aceh yang diimpikan Hasan Tiro
adalah manusia-manusia melampaui, yang teguh pendirian, gigih berjuang dan
memposisikan diri sebagai pemaju peradaban dunia.
Masa Depan aceh
Masa depan Aceh, adalah diskursus penting dalam menentukan arah
peradaban Aceh kedepan. Aceh adalah negeri warisan darah dan air mata yang di
dambakan menjadi mata air tidak hanya bagi Aceh, tapi juga bagi dunia. Aceh
bukanlah sebuah negeri yang diwariskan agar rakyatnya terus menerus dalam ketidak pastian. Konstruski dan bangunan masa
depan Aceh adalah kekinian, bukan masa lalu. Kosmopolitanisme adalah spirit
warisan endatu untuk diteruskan menjadi lebih maju dan lebih modern, bukan
untuk dimundurkan. Spirit masa depan Aceh adalah spirit doenya (dunia),
bukan spirit lokalitas sempit tak berujung, yang jangankan untuk membangun
peradaban, pertikaian sesama sendiripun belum sanggup di tuntaskan.
Bicara masa depan Aceh, maka disini perlu kiranya kembali kita
kutip paragraph akhir proklamasi kemerdekaan yang disusun Hasan Tiro, untuk
memperjelas bagaimana narasi Aceh kosmopolit yang di bangunnya :
“Alasan kita adalah keadilan! Tanah air kita
diberkati Allah SWT dengan rahmat dan karunia. Kita tidak mendambakan wilayah
orang asing. Kita berhasrat menjadi penyumbang berharga bagi kesejahteraan
manusia diseluruh dunia. Kita mendambakan tangan-tangan persahabatan dari
seluruh komunitas bangsa-bangsa. Kita mengulurkan tangan persahabatan kepada
semua manusia dan semua pemerintahan dari empat penjuru dunia (Proklamasi kemerdekaan Acheh-Sumatera, Tiro, 1981 : 27)”.
Alinea ini adalah cita-cita, spirit dan fondasi Aceh masa depan,
yang harus mampu diwujudkan dalam damai Aceh hari ini. kita tidak mendapati
identitas yang sempit dari ulasan-ulasan Hasan Tiro, nasionalisme Aceh adalah
nasionalisme yang dilihat, direkonstruski dan direformulasi dalam
kacamatan doenya dan mengikuti perkembangan dunia. Untuk
konteks hari ini, kita dapat mengukur dan melihat sejauh mana sudah peradaban
Aceh dibangun, apakah mengikuti spirit dunia yang saling berangkulan tangan
untuk humanisme universal, menghargai hak-hak individu dan mensejahterakan ?.
Sejarah adalah perjuangan abadi bagi kebebasan. Kebebasan dan
kemerdekaan adalah cita-cita Tiro, orang merdeka adalah seorang pejuang,
kata Hasan Tiro (Tiro 1981: iv). Keluarnya Aceh dari segala kesempitan
pemahaman menuju mentalitas dunia adalah
kebebasan bagi Aceh, jika itu belum terwujud, maka generasi muda Aceh adalah
anak-anak bangsa yang harus berdiri di garda depan, untuk menciptakan
sejarahnya sendiri, berdasarkan spirit yang sudah ditinggalkan ini. Kita akan
membangun peradaban kita dengan pengetahuan, karena pengetahuan adalah
pembimbing penting bagi kemajuan peradaban. Dalam setiap kutipannya Hasan Tiro
juga sering kali menyebut kata renaissance dalam
mengartikulasikan nasionalisme Aceh, artinya bangunan nasionalisme Aceh,
bukanlah etno nasionalisme sempit, tetapi nasionalisme yang tumbuh, berkembang
dan maju berdasarkan semangat pengetahuan dan perkembangan dunia.
Masa depan Aceh ada ditangan generasi muda Aceh yang punya
spirit perlawanan dan kaya pengetahuan. Mari bangun dari tidur dogmatis dan
romantisme masa lalu. Spirit yang ditinggalkan harus dilanjutkan dalam konteks
kekinian. Rujuklah dunia yang maju dan menghargai manusia untuk membangun
peradaban Aceh, karena kita adalah bagian dunia dan kita adalah dunia itu
sendiri. Kita bangun Aceh dengan spirit pengetahuan dan
persahabatan. Damai yang ada adalah pijakan untuk melompat melewati masa
kesuraman, membangun dan membawa peradaban Aceh melesat meninggalkan dogma-dogma
sempit yang hanya mengukur dan menilai manusia dari helai pakaian dan
aturan-aturan moral. Peradaban kita tidak dibangun berdasarkan itu, peradaban
kita dibangun berdasarkan kosmopolitanisme dunia, karena dunia terus bergerak
kedepan, bukan ke belakang.
Tulisan ini dengan sedikit perubahannya sudah pernah dimuat di www.acehinstitute.org, 7 June 2015