Belajar Pluralisme dari Sang Fundamentalis


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Pluralisme tidak  dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negative (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Plralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci (Q.S Al-Baqarah : 251) disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia (Nurcholis Madjid : Republika 1999)

Sumber : Google
Pluralisme adalah sebuah keniscayaan, keharusan yang tidak dapat ditolak dan tidak dapat dibendung dengan dalih dan cara apapun, apalagi pengharaman. karena pluralisme adalah  khazanah ketinggian, keluruhan dan keindahan ajaran Islam, dia mengandung kebaikan universal yang dapat menyatukan seluruh umat manusia dalam keharmonisan hubungan antar iman, antar golongan – dalam Islam sekalipun - apapun identitas yang melekat pada dirinya selaku manusia di bumi. Pluralisme bukanlah sebuah agama baru atau mencoba mendirikan agama baru dan mencari agama lain diluar Islam.  Pluralisme adalah wewangian terharum didunia, sehingga apapun usaha yang dilakukan untuk menghalangi agar wewangian ini tidak bertebaran kemana-mana adalah usaha sia-sia, karena dia akan semakin harum tercium, sehingga semakin membuat orang tertarik untuk mengusap seluruh tubuhnya, pakaiannya dengan wewangian ini, itulah pluralisme.

Tetapi keindahan diatas, juga sering kali ternodai oleh ulah oknum yang menisbatkan diri sebagai tentara Tuhan di bumi, sehingga dengan pengharaman dan pelarangan pluralisme seakan-akan mereka telah membela Islam, menyelamatkan Islam dan memurnikan Islam. Semua ini tidak disebabkan oleh kedangkalan pemahaman keagamaan mereka, tetapi disebabkan karena ego mayoritas yang melahirkan ego monopoli tafsir dan ego penguasa aqidah yang benar. Pro dan kontra yang terjadi ketika ada wacana pluralisme, dalam konteks kekinian (baca modern) adalah konsekuensi logis yang wajar terjadi dan masuk akal untuk terjadi. Namun yang sungguh disayangkan adalah, karena ketiga ego diatas, pro dan kontra yang terjadi, selalu tidak akan disertai dengan adanya ruang diskusi yang terbuka, kebebasan untuk bersilang pendapat baik aqli maupun naqli, tidak adanya saling menghargai pendapat, tetapi yang terjadi justru langsung vonis sesat, merusak aqidah, sangat membahayakan Islam dan menguntungkan barat, sebuah ketakutan yang berlebihan.

Semakin kita terbuka terhadap keyakinan golongan Islam lain selain kita, semakin kita terbuka pada keimanan agama lain, maka hikmah itu akan semakin terbuka, keimanan Islam kita akan semakin kuat dan ketika ke Islaman kita semakin kuat maka normalnya kita akan semakin pluralis karena ini adalah jantung Islam yang sebenarnya. Seperti dikatakan oleh Seyyed Hussein Nasr (2003) : “ Jantung atau inti islam tidak lain adalah penyaksian keesaan realitas tuhan, universalitas kebenaran, kemutlakan untuk tunduk kepada kehendak Tuhan, pemenuhan akan segala tanggung jawab manusia, dan penghargaan kepada hak-hak seluruh makhluk hidup.  Jantung atau inti Islam mengisyaratkan kepada kita untk bangun dari mimpi yang melalaikan, ingat tentang siapa diri kita dan mengapa kita ada disini, dan untuk mengenal dan menghargai agama-agama lain”.

Berkaitan dengan kecendrungan menggunakan paradigma fiqih klasik dalam membaca pluralisme, Nasir Hamid Abu Zaid (2004) mengatakan bahwa :
pertama , kitab-kitab klasik baik ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu fiqih ditulis dalam sebuah zaman ketika umat Islam sedang menghadapi perang salib, sehingga diperlukan upaya strategis untuk mempertahankan identitas dan mengembalikan epistimologi dalam kerangka teks.
Kedua, fiqih ditulis dalam situasi internal umat Islam yang tidak solid, sehingga sangat dimungkinkan para penguasa menggunakan fiqih sebagai salah satu alat untuk mengambil hati masyarakat, sehingga para ulamanya dapat mendesain fiqih yang seolah-olah memberikan perhatian kepada umat Islam dan menolak kehadiran non muslim. Hal ini disebabakan umat Islam cukup lama berada dalam cengkeraman hegemonik dan kolonialistik non muslim sehingga membentuk psikologis historis yang lemah dan kalah, sehingga kampanye untuk menomorduakan komunitas non muslim seringkali mewarnai khazanah keagamaan klasik.
Ketiga, adanya simbol-simbol keagamaan yang secara implisit menganjurkan sikap keras terhadap agama lain. Sebagai contoh Q. S al – Baqarah ayat 120 diatas yang kalau dipahami secara harfiah maka sampai kapanpun akan selalu menimbulkan kesan buruk terhadap agama-agama lain, khususnya Yahudi dan Kristen karena seolah-olah agama ini datang untuk memaksa umat Islam agar memeluk agama tersebut. Padahal ayat ini turun  dalam hal perubahan kiblat dari masjidil Aqsa di Yerusalem ke Masjidil Haram, Makkah. Agama Yahudi dan Nasrani memilih untuk mempertahankan tempat suci mereka dan tidak mau merubah kiblat mereka.

Seandainya mereka yang anti pluralisme mau lebih terbuka, masih banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang memang sangat Pluralis dan menganjurkan pluralisme, dikarenakan al-Qur’an itu dengan sendirinya memang sangat pluralis, mengapa mereka sellau menutupi ni dan mengedepankan ayat-ayat di atas ?, yang lebih penting lagi,  seandainya mereka belajar dari tokoh-tokoh Islam yang sebelumnya sangat Fundamentalis tetapi berubaah haluan menjadi seorang yang sangat pluralis, maka sudah pasti akan semakin indah ruang dialog kita.

Belajar dari Sang Fundamentalis.

Pluralisme pasti akan selalu memberikan kita pencerahan dan semakin menguatkan keimanan kita, bukan malah sebaliknya bisa merusak aqidah dan memenangkan Barat. Ketakutan seperti ini justru akan semakin melemahkan Islam sebagai agama yang tidak toleran, tertutup dan kaku sehingga semakin jauh dari universalitasnya sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, seolah-olah Islam sangat takut dan terancam dengan pluralisme. Apakah rahmatan lil ‘alamin ini hanya untuk umat Islam saja ?. banyak tokoh-tokoh pemikir maupun aktifis gerakan Islam yang sebelumnya fundamentalis berubah haluan menjadi pluralis setelah mereka mendapatkan pencerahan yang justru mereka dapatkan dari keluruhan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri, dan dari ini mereka ini penulis rasa kita patut belajar banyak.

Salah satu tokoh penting tersebut adalah Gamal al – Banna Aktifis Ikhwanul Muslimin, adik kandung Hasan al – Banna tokoh kunci Ikhwanul Muslimin mesir. Gamal adalah seorang aktifis muslim yang bisa kita sebut anti Barat, sangat fundamentalis. Dia berjuang bersama kakaknya untuk mewujudkan negara tauhid, negara yang berdasarkan kalimat “ La ilaha Illlallah ”. Perjalanan hidupnya, riwayat perjuangannya dan kisah-kisah kegagalannya mengantarkan Gamal kepada sebuah refleksi yang sangat mendalam ia mengunjungi kembali pemikiran Islamnya ia melihat dunia dengan cara yang baru dan mendaaptkan pencerahan (Jalaluddin Rahmat : 2006).
Gamal Al-Banna
Sumber : Google
Mari kita ikuti renungan seorang Gamal al Banna sebagaimana yang dia tulis dalam bukunya Doktrin Pluralisme dalam Al-Qur’an (2006)    
Dinegara-negara yang tidak memeluk Islam, masyarakatnya bekerja dengan gigih dan ikhlas. Mereka memiliki kejujuran dalam berkata, profesionalisme, menepati janji dan akhlak-akhlak baik lainnya. Mereka juga menganggap kebohongan pejabat dalam memberikan keterangan  dalam suatu perkara didepan pengadilan atau institusi negara merupakan kejahatan besar yang tidak bisa diampuni kecuali dengan pemecatan, contohnya adalah kasus Nixon yang menuduh musuh politiknya melakukan tindakan mata-mata. Begitu juga dengan Clinton yang memilki hubungan khusus dengan salah seorang pagawai gedung putih. Mereka menerima celaan, cacian dan denda yang tidak sedikit. Sedangkan sebagian besar pemimpin dinegara-negara muslim selalu melakukan kebohongan public dan penyelewengan. Kerja mereka hanya menindas dan mengekang. Atas dasar alasan ini, maka masyarakat eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allah dan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengaku sebagai pemeluk Islam.

Saya ingat ketika saya berada dalam tahanan tursina bersama orang-orang Ikhwan al-Muslimun pada tahun 1984. ketika itu tempat tahanan berada ditengah padang pasir yang dimalam hari terang dengana berbagai cahaya lampu yang dipasang untuk mempermudah penjagaan. Pemasangan lampu itu dilakukan oleh para tahanan yang memiliki keahlian dalam kelistrikan. Mereka juga mengggunakan listrik untuk memanaskan air, mandi dan memasak. Saya berkata kepada mereka bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk surga karena telah menemukan lampu yang kemudian digunakan oleh manusia sebagai penerang. Mendengar ucapan saya, mereka menolak dengan keras, “ tidak, karena dia tidak beriman kepada Allah dan Rasulnya ”. mereka seolah menganggap bahwa Islam telah dikenal di Amerika dan Rasulullah telah mengajak Edison kepada Islam. Oleh karena itu mereka menolak pendapat saya. saya membalas penolakan mereka dengan mengutip firman Allah Q. S al –Isra : 100  : “katakanlah seandainya kalian menguasai gudang-gudang Rahmat Tuhanku, kalian pasti akan menahannya karena takut untuk berderma. Sesungguhnya manusia sangat kikir”
Sudah saatnya bagi para da’i Islam  untuk mengetahui bahwa mereka tidak dituntut untuk mengislamkan orang-orang yang beragama selain Islam. Mereka tidak berhak mengklaim bahwa selain orang Islam akan masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukan ditangan mereka. Sikap seperti itu merupakan pelanggaran keras terhadap wewenang Allah. Yang dituntut dari para da”I, setelah al-Qur’an mengatakan : “wahai orang –orang yang beriman, diri kalian adalah tanggung jawab kalian, orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendaapt petunjuk  (Q.S. al-Maidah : 105).

Dari perenungannya diatas, Gamal al-Banna berubah, dari sebelumnya seorang yang sangat fundamentalis dan eksklusif menjadi seorang pluralis. Dalam bahasa sederhana menurut Gamal al-Banna, kaum eksklusiv (baca fundamentalis) berpendapat bahwa agama mereka saja yang selamat dan masuk surga, diluar mereka semua masuk neraka karena mereka merasa menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan dan menahannya hanya untuk kelompok mereka saja. Padahal rahmat Tuhan itu memenuhi langit dan bumi, tetapi kasih sayang kaum ekslusif hanya terbatas pada rumah mereka saja.

Kebalikan dari kaum eksklusif adalah kaum pluralis, yang berkeyakinan bahwa semua pemeluk agama mempunyai kans yang sama untuk memperoleh keselamatan dan masuk surga. Semua agama adalah benar berdasarkan kriteria masing-masing. Gamal heran mengapa masih ada manusia yang berani membatasi kasih sayang Tuhan, mengapa ada orang yang mengambil alih wewenang Tuhan. Sehingga al –Banna bertanya “ keberania yang luar biasa dalam merampas wewenang Allah! Apakah mereka yang memegang kunci-kunci neraka ?. Apakah mereka yang menenggelamkan manusia kedalam neraka ?. Bagaimana kesadaran mereka atas rahmat Allah yang tidak terbatas yang akan membalas satu kebaikan dengan tujuh ratus lipat kebaikan ?. kasih sayang seorang Ibu hanyalah satu dari seratus kasih sayang-Nya. Dia tidak menenggelamkan manusia kedalam neraka, kecuali manusia-manusia pembangkang yang berbuat kerusakan dan kezaliman di muka bumi ini (Gamal : 2006).

Lahirnya buku Buku Gamal al-Banna, "Doktrin Pluralisme dalam Al-Qur’an", adalah sebagai salah satu gugatan terhadap otoritas-teologis fatwa ulama yang mengharamkan pluralisme. Kesahihan fatwa yang mengharamkan pluralisme agama di sini dipertanyakan oleh al Banna. Dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap Alquran, Hadist, dan sejarah umat Islam, Gamal telah menemukan fakta-fakta historis dan dogmatik untuk menggugat fatwa, dan memberikan dukungan terhadap pengembangan paham pluralisme.
          
Kita patut belajar banyak dari seorang tokoh ini dan mari kita telusuri sedikit pemikirannya dalam buku ini. Menurut Gamal, Islam secara dogmatik dipenuhi dengan nilai pluralisme. Konsep tauhid dalam Islam merupakan hal paling fundamental bagi landasan pluralisme. Dalam konsep tauhid, hanya Allah yang esa. Konsep ini menegasikan adanya keesaan di luar diri-Nya. Ini berarti bahwa tidak ada ketunggalan di alam dan masyarakat, yang ada hanya kemajemukan atau pluralitas. Di samping itu, lanjut penulis, Alquran merupakan sumber rujukan autentik pluralisme dalam Islam. Alquran tidak pernah menghendaki manusia menjadi umat yang satu yang diatur oleh satu konvensi atau satu gagasan. Manusia berbeda, dan akan terus berbeda baik dalam ras, bahasa, keyakinan, dan lainnya. Kata ikhtilaf (berbeda) dengan berbagai derivasinya sangat banyak terdapat dalam Alquran dan ini menunjukkan adanya ruang luas bagi perbedaan yang berarti pluralisme. Bahkan, menurut Gamal, gaya bahasa Alquran sendiri memiliki semangat pluralisme. Setiap kata atau ayat dalam Alquran memiliki kemungkinan makna dan penafsiran yang beragam sesuai dengan semangat zaman. Lahirnya kitab-kitab tafsir yang beragam merupakan bukti adanya pluralitas pemahaman terhadap teks Alquran.

Di samping redaksi Alquran yang pluralis, kandungan ayat Alquran dengan sendirinya mengisyaratkan nilai-nilai pluralisme tersebut, bahkan Alquran telah menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi pluralisme agama, di antaranya:

Pertama, kebebasan beragama. Setiap manusia oleh Islam diberikan kebebasan untuk menentukan agama apa yang dianut. Di samping memberikan kebebasan, Islam juga melarang adanya pemaksaan dalam agama. Prinsip ini merupakan dalil paling jelas bagi pluralisme agama. Dan dalam banyak ayat Alquran menjelaskan prinsip ini dengan tegas (QS Al-Baqarah:256, QS Yunus:108, QS Al-Isra’:15, QS Al-Kahfi:29).

Kedua, Alquran menegaskan sikap penerimaannya terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Yahudi, Kristen, dan agama-agama lain diakui eksistensinya oleh Alquran (QS Al-Baqarah: 62).,Penerimaan Alquran terhadap pluralitas agama ini masih menurut Gamal adalah  didasarkan pada dua alasan, yakni alasan historis dan objektif. Secara historis tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya tiga agama besar; Islam, Kristen, dan Yahudi berasal dari satu bapak, yakni Ibrahim AS. Sedangkan alasan objektifnya lebih didasarkan pada cara pandang Islam sendiri terhadap konsep ‘Tuhan sebagai pencipta dan pengatur pergerakan alam raya’, termasuk mengatur sistem pergerakan sejarah manusia. Dialah yang menurunkan semua agama, sejak dari Adam AS hingga Muhammad SAW, sehingga masing-masing agama tidak perlu dipertentangkan. Melihat fakta bahwa Alquran penuh dengan nilai-nilai pluralisme agama, maka sudah sepantasnya umat Islam mengembangkannya sebagai landasan berpikir dan bersikap. Pluralisme mengandaikan sikap pemeluk agama yang tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan dalam rangka mencapai kerukunan dalam kebinekaan. Dan dari sini dapat dikembangkan suatu kerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan demi mengangkat derajat kemanusiaan universal.

Sisi paling penting dari pluralisme ini sebenarnya juga mengandung prinsip nilai-nilai humanisme universal yang sangat tinggi dan ini sangat diperlukan dalam kehidupan modern saat ini yaitu kerjasama kemanusiaan – tidak hanya sesama Islam - , antar sesama pemeluk agama sebagai sama-sama warga dunia, sebagaimaan yang dinyatakan oleh Nurcholis Madjid (edisi revisi ; 2008) bahwa kerjasama kemanusiaan pada gilirannya  menghendaki kebebasan suatu kelompok dari klaim akan kebenaran mutlak. Setiap komunitas senantiasa mempunyai potensi untuk untuk memiliki suatu jenis kebenaran, karena “tidak satupun komunitas manusia telah lewat dalam sejarah, kecuali pasti pernah datang kepadanya pengajar kebenaran”. Jadi, tidak ada hak istimewa yang ekslusif dari suatu komunitas untuk memiliki secara sendirian kebenaran itu. Tuhan adalah tunggal, kebenaranpun tunggal dan kemnusiaan juga tunggal adanya. Itu semua secara tak terhindarkan mengharuskan adanya kerjasama antar manusia atas dasar kebaikan dan tanggung jawab Kepada Tuhan, dan bukan atas dasar dosa dan rasa permusuhan. Itulah inti pandangan hidup yang terbuka bagi masa depan, salah satu yang diperlukan manusia dalam menghadapi tantangan abad modern.

Pluralisme adalah jantung Islam yang membuat Islam tetap berdetak kencang dan tidak sakit. Jadi jika ingin mewujudkan Islam yang kaffah, tebarkanlah pluralisme ini dimanapun anda berada. 





Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :