Hujan dan Cinta yang Tidak pernah Selesai


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Hujan, turun bukan karena manusia meminta, bukan karena tumbuhan dan binatang-bintang meminta, tetapi karena sebab terakhir, yaitu karena bumi menginginkannya, demikian sabda Socrates tentang kenapa hujan turun . Bagi Sokrates, hujan turun bukan karena proses fisika, tetapi karena cinta. Bumi menanggung manusia, menanggung tumbuh-tumbuhan, menanggung binatang dan menanggung segala yang hidup diatasnya, lalu ketika kegersangan hadir, bumi bertanggung jawab atas apa yang ditanggungnya, sehingga dia meminta hujan untuk turun. Bagi sokrates, bumi adalah surga ketika segala yang hidup didalamnya, hidup dengan bijaksana. Socrates sudah lama sekali meninggalkan kita, tetapi hujan terus dimaknakan, diberi penanda atau dipakai sebagai metafor bagi manusia.

Sir Charles Spencer “Charlie” Chaplin (Charlie Chaplin), komposer, pembuat film dan aktor komedi Inggris, memaknakan hujan sebagai konversi bagi pelepasan penderitaannya,  “ I always like walking in the rain, so no one can see me crying” , “Aku suka berjalan dibawah hujan, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa melihatku menangis”, Chaplin sangat senang ketika hujan turun karena saat itu dia punya kesempatan berherga untuk menangisi segala deritanya, hujan menyapu air matanya dan meluruhkan segala deruta di pikiran dan ditubuhnya. Ya,  Charlie Chaplin adalah seorang anak manusia yang hidupnya didampingi penderitaan yang tidak pernah diundangnya, sehingga dalam hidupnya dia selalu ingin membuat orang tertawa, hidupnya di abadikan untuk membuat orang tertawa agar manusia lupa penderitaan mereka. Tertawa adalah iman baginya, “ sebuah hari tanpa tertawa, adalah ahri yang tidak berguna “, kata Chaplin. Kehidupan tertawa saat kau bersedih. Kehidupan tersenyum saat kau senang. Tapi kehidupan akan salut padamu jika kau membuat orang lain tertawa”. Hujan memang membuat Chaplin tidak pernah selesai mencintai manusia dengan tawa.

Berbeda dengan cinta yang selalu menginginkan, manusia menginginkan hujan  sekaligus juga tidak menginginkannya. Manusia menyenangi hujan, sekaligus menakutinya. Hujan meng halau asap, sangat di senangi manusia, tetapi ketika dia turun 3 hari berturut-turut tanpa berhenti misalnya, maka manusia takut, air sungai meluap, tanaman akan rusak, banjir melanda, bahkan banjir bandang menyapa, semua karena keserakahan manusia sendiri. Bagi manusia yang berada di dalam kapal ditengah lautan , sekalipun mendung pekat menutupi matahari, maka manusia tidak pernah menginginkan hujan. Akan tetapi ketika kekeringan dan kegersangan hadir, maka dalam terik yang tiada tara pun manusia menginginkan hujan. Begitulah manusia dia selalu unik dan terus menjadi tanda tanya.

Hujan tidak pernah tunduk dan patuh pada manusia, hujan hanya tunduk dan patuh pada Wali Allah. Seorang Wali Allah, dapat memerintahkan hujan untuk turun dan berhenti bahkan ketika dia turun sederas-derasnya. Suatu ketika asap dari Riau sampai ke Aceh, seorang Wali Allah berkata “sampai juga engkau kemari rupanya asap ya, tunggu ya…”, sedetik kemudian, hujan turun sederas-derasnya sehingga asappun pergi tanpa sempat permisi. Tidak perlu terlalu pusing dengan ini, karena pusing itu tidak memberi pencerahan, ini kerja spiritual , dimana rumus-rumus fisika tunduk padanya. Dalilnya adalah : “dimensi yang tinggi, mengontrol dimensi yang rendah”.

Hujan adalah juga ingatan dan kenangan. Ingatan bahwa kita pernah menjadi anak-anak, ingatan betapa bahagianya masa kanak-kanak kita dan kenangan tentang betapa merdekanya masa kanak-kanak kita. Sebagai anak-anak, ingatlah kapan pertama sekali kita menyentuh hujan, sebelum berlarian merdeka dibawahnya dan itu tidak pernah kita ulangi lagi ketika dewasa.

Ketika dewasa, mungkin hujan adalah ucapan cinta pertama anda, dan hujan adalah sebab pertama anda jatuh cinta. Malah bisa sebaliknya, hujan adalah sebab pertama anda putus cinta. Ketika hujan turun, maka sewaktu-waktu ketika anda menyibak sedikit gorden jendela dan anda memandang hujan, maka ketika itu hujan melemparkan anda pada banyak kenangan, mengingatkan anda pada teman, pada kampung halaman, pada orang-orang yang anda cintai. Hujan yang kita pandangi dari teras atau beranda rumah, kadang melemparkan kita pada kenangan ingatan kecil, kenangan ketika disajikannya sepiring pisang goreng yang dimasak oleh ibu, semangkok indomie yang dimasak dengan penuh sayang oleh ibu kita atau semangkuk kolak panas yang disajikan kepada kita ditengah hujan deras saat itu. Ketika kita memegang payung, maka ingatkah kita ketika tangan kita dipegang oleh ayah atau ibu kita, ketika menjemput anaknya ketika di TK atau SD kelas 1. Hujan tidak menghapuskan kenangan, tetapi merawat kenangan, apapun itu, itupun kalau kita mau mengingatnya, atau diapun datang sendiri tanpa kita mengingatnya.

Hujan adalah juga ingatan tentang perang dan damai. Orang Aceh membuat metafor untuk keinginannya mengakhiri perang yang terjadi dengan hujan. “pat ujeun yang han pirang, pat prang yang tan reuda”, “hujan pasti akan berhenti, dan perang pasti akan berakhir”. Sederas-derasnya hujan, pasti akan reda dan sebesar-besarnya perang, pasti akan berakhir. Disini, hujan sebagai perang diinginkan berhenti, agar manusia bisa berbicara dalam damai. Hujan adalah juga metafor patriotisme, dia dihadirkan untuk menghipnotis persembahan jiwa dan raga bagi bangsa, “lebih baik hujan batu dinegeri sendiri, dari pada hujan emas dinegeri orang”, bagi anak muda kelahiran 70 dan 80, metafor ini melekat pada seorang Habibi yang dengan kecemerlangannya di Jerman dia bisa mendapat segala fasilitas dan kemewahan, tetapi dia memilih kembali ke Indonesia, sehingga metafor ini begitu terkenal pada saat itu.

Hujan sering membuat manusia malas beranjak dan malas bergerak, karena itu mahasiswa tidak pernah menginginkan hujan ketika mereka bergerak serentak menurunkan Suharto, barangkali Suharto tidak akan turun kalau saat itu hujan turun sederas-derasnya, lebih baik Suharto yang turun, dari pada hujan yang turun.

Jadilah manusia untuk mengenang hujan, karena dengan begitu, kita akan tahu sejauh mana sudah kita hidup dan kenangan apa yang sudah kita buat dalam hujan yang kesekian kalinya yang tidak pernah kita hitung, mungkin saat sekarang adalah hujan yang ke 1700 kali dalam hidup kita.

Ada banyak kenangan, ada banyak cinta ketika hujan turun, tetapi itu tidak akan pernah selesai, karena kerja manusia bukan mengingat kenangan, tetapi mengabadikan kenangan, karena kenangan tidak mungkin diulang, dan itu tidak akan pernah selesai….

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :