“Islam Kata-kata”


Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Kebanyakan manusia hanya hidup dari perkataan dan  perbuatan saja , sebagian lainnya hanya hidup dengan mengunyah doktrin dari sosok yang tidak punya kapasitas spiritual, sedikit sekali yang  tahu hakikat dari perbuatan dan perkataannya itu dan sangat sedikit sekali yang tahu apa hakikat dia hidup. Demikian halnya ketika manusia beragama. Kebanyakan manusia beragama hanya untuk melaksanakan rutinitas dan kewajiban saja, tidak lebih dan tidak kurang, pilihannya hanya tiga : takut pada neraka, mendapat pahala dan mengharapkan surga. Sebagian berani berkata “ bahwa mereka melakukannya dengan cinta”, tetapi ketika ditanya bagaimana bentuknya, maka mereka lansung kebingungan karena ketika merasa penuh cintanya, maka cinta itu tidak tahu mau dihantarkan kemana, tidak tahu mau dipersembahkan kemana, karena cintanya hanya cinta logika dan cinta dari perkataan, kami cinta”, “kami melakukan karna cinta”, sekali lagi, hanya perkataan saja.


Sumber : Google
Perkataan sepeti ini, sebenarnya sangat sama dengan berkata “ saya cinta Islam”,  tetapi hanya perkataan saja, tidak punya ruh, tidak punya batin, sehingga yang lahir bukan rahmatan lil’alamin tetapi tindakan fasis, artinya tidak sinkron antara perkataan dan ruhnya. Maka dalam konteks ini, kita sering melihat sebagaian manusia yang berteriak menyebut nama Tuhan, tetapi melakukan kekerasan, mainannya hanya mainan fisik saja, sedangkan spiritualitas, jiwa, ruhnya kosong, yang mampu di andalkannya hanyalah permainan fisik semata.

Islam yang berkembang disekitaran kita saat ini kebanyakan adalah Islam zahir saja, belum Islam zahir dan batin. Untuk berislam zahir dan batin, maka tidak cukup hanya dengan syariat saja, sekalipun dia mengerjakan seluruh praktek syariat, maka itu masih hanya perkataan saja, belum sebuah perbuatan.

Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :
 “Syariah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keberadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku, (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).
Syariat masih hanya sebuah perkataan, belum kepada perbuatan, aktifitasnya adalah tarekat, keberadaanya adalah hakikat dan tanpa makrifat maka tidak ada sesuatu yang berharga. Manusia yang hanya menghabiskan seumur hidupnya pada syariat, maka dia berada pada keberadaan yang tidak pasti, ibarat kata pepatah, tidak dilangit dan tidak dibumi, mengawang-ngawang dan melayang-layang tanpa jelas dimana keberadaannya, hidup seperti ini adalah hidup yang sangat spekulatif sekali, hidup hanya berdasarkan asumsi-asumsi tanpa pernah ada bukti.

Dalam sebuah syair disebutkan:
“Syariat bagaikan kapal, tarekat bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal”, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 9)
Syariat hanyalah sebuah kapal, dia tidak akan pernah bisa berlayar, mengarungi dunia jika tidak beranjak menuju kelautan. Jika dia tetap sombong dan mempertahakan ego yang tinggi sebagai sesuatu yang berharga, maka seumur hidup kapal tersebut akan teronggok dipinggir lautan, sampai rusak, binasa, kemudian sama sekali tidak berguna lagi. Perahu tersebut akan berguna ketika dia mengharungi lautan yang maha luas dan lautan itu adalah tarekat. Berislam hanya bersandar pada syariat saja, maka itu adalah hidup yang sangat miskin, tidak punya harta, tidak punya yang berharga, tidak akan pernah bisa kaya, karena tidak pernah bisa memiliki intan yang mahal. Lantas, sampai kapan umat Islam terus hidup dalam kemiskinan ?.

Ingat, boleh jadi sebuah kapal, segeralah menuju kelautan, agar kapal itu berguna. Atau tidak perlu sama sekali menjadi kapal, tetapi jadilan manusia saja, yang melepaskan semua pakaianya kemudian mencebutkan diri dan berenang kedalam lautan yang maha luas dan menyelam mengambil mutiara yang paling berharga di dasar lautan.
Dari jaman dulu, manusia selalu hidup dengan berbagai iming-iming, mengerjakan ini dapat pahala sekian, mengerjakan itu, dapat pahala sekian, lagi-lagi mereka berkata, mereka tidak pernah tahu bahwa kenikmatan tertinggi dan surga itu adalah “berada disisi Tuhan”, berada di sisi Tuhan, memandang wajah Tuhan saja kita sudah tidak tahu mau meminta dan melakukan apa lagi, karena begitu terpananya kita konon lagi kalau diajak bercakap-cakap, dalam kenikmatan seperti ini, maka untuk apa pahala  dan surga itu lagi ?.

Dulu, Syaithan dan Iblis merayu nabi Adam untuk keluar dari surga, sekarang di jaman kita hidup yang serba seperti ini, jadilan manusia-manusia yang merayu setan untuk masuk surge yaitu untuk  berada di sisi Tuhan kembali.









Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :