Islam ; Spiritualitas Murni dan Spiritualitas Rekaan
Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA
Dunia saat
ini adalah dunia yang dilipat, yaitu dunia yang berpindah dari alam raya, alam
realitas ke dalam dunia maya (virtual) yang semakin hari semakin membawa
manusia menjadi makhluk virtual daripada makhluk spiritual. Dalam konteks dunia
yang seperti ini, manusia menjadi makhluk terasing diantara sesama manusia,
karena yang real bukan lagi dunia faktual, tetapi dunia virtual. Lantas bagaimana
dengan agama di era digital ini ?, jika beragama adalah mencari makna, maka
makna itu ada pada spiritualitas, tidak pada rutinitas. Ibadah rutinitas, tanpa
ada keterhubungan dengan yang transenden, maka itu adalah kehampaan, sehingga tidak
ada yang didapat. agama yang dijalankan seperti ini tidak akan mampu menjawab segala
persoalan untuk menjadi manusia di era seperti sekarang ini, dimana manusia
semakin menjadi mesin daripada menjadi manusia.
Makna yang dimaksudkan disini adalah makna hakikat, bukan rekaan, yaitu makna yang di dapat dengan dilihat, dirasa dan menetap dihati sehingga tidak berpindah lagi. Makna hakiki dalam Islam adalah menuju Allah, melihat Allah dan bersama Allah, bukan yang lainnya. Menuju Allah, adalah berjalan menuju Allah, tetapi melalui jalan yang mana ?, jalan spiritualitas atau jalan rutinitas?, jalan spiritualitas murni atau jalan spiritualitas rekaan. Bagaimana manusia mendapatkan makna jika berislam rutinitas ?, jika manusia menjalankan rutinitas ibadah dengan pengetahuan yang ada padanya, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa karena masih ada satu pertanyaan penting yaitu , kemana semua itu dipersembahkan, apakah dipersembahkan kepada sesuatu yang tidak terlihat dan tanpa bentuk ?, bagaimana manusia yakin bahwa segala ibadah yang dipersembahkan itu sampai kepada yang dipersembahkan dan diterima kepada yang dipersembahkan ?.
Makna yang dimaksudkan disini adalah makna hakikat, bukan rekaan, yaitu makna yang di dapat dengan dilihat, dirasa dan menetap dihati sehingga tidak berpindah lagi. Makna hakiki dalam Islam adalah menuju Allah, melihat Allah dan bersama Allah, bukan yang lainnya. Menuju Allah, adalah berjalan menuju Allah, tetapi melalui jalan yang mana ?, jalan spiritualitas atau jalan rutinitas?, jalan spiritualitas murni atau jalan spiritualitas rekaan. Bagaimana manusia mendapatkan makna jika berislam rutinitas ?, jika manusia menjalankan rutinitas ibadah dengan pengetahuan yang ada padanya, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa karena masih ada satu pertanyaan penting yaitu , kemana semua itu dipersembahkan, apakah dipersembahkan kepada sesuatu yang tidak terlihat dan tanpa bentuk ?, bagaimana manusia yakin bahwa segala ibadah yang dipersembahkan itu sampai kepada yang dipersembahkan dan diterima kepada yang dipersembahkan ?.
Sumber : Google |
Ketika
manusia tidak mendapatkan makna, maka dia terpenjara dalam kesia-siaan. Terkurung
dalam kekosongan tak berujung, ibarat berjalan dilorong gelap tanpa cahaya dan
tanpa tahu kapan dia akan sampai ketujuan. Penting diingat, bahwa ketika
manusia berangkat meninggalkan dunia, maka itu adalah perjalanan one way, bukan
perjalanan pulang pergi (pp), sekali pergi, maka tidak akan pernah bisa
kembali, sehingga jangan menyesal nantinya, karena itu semua tidak akan bisa
diulang. Dalam agama, ada kepastian dan ada juga ketidak pastian, tetapi kedua
ini bisa dipilih, kenapa tidak memilih yang pasti saja, mengapa manusia tidak memastikan
semuanya itu didunia saja ?, apakah diterima atau tidak ibadahnya, mendapatkan
surga atau tidak?, itu semua dipastikan didunia, setelah semua pasti, baru
manusia berangkat. Mendapatkan surga disini adalah surga dalam relasi antara
manusia dengan Tuhannya melalui hubungan mesra, karena surga sejati adalah
selalu berada disisi Tuhan, ini adalah surga murni. Bukan surga yang didapat
dengan jihad membunuh manusia dan mengebom manusia, surga yang seperti itu
tidak pernah ada, itu hanyalah surga rekaan, bagaimana Tuhan memberikan surga
yang dilakukan dengan kekerasan dan menyakiti manusia ?
Berislam,
menjadi Islam bukanlah berarti sesuatu yang sudah final dan selesai dalam hidup
dan kepercayaan, tetapi hanya baru permulaan, bahkan baru sebuah pencarian sebuah
makna jika masih mau mencari, jika tidak mencari lagi berarti hanya menerima
dari apa yang diwarisi dan itu tidak lebih hanyalah rutinitas ibadah, karena
diwarisi dari keluarga, dari orang tua, bukan yang diwarisi dari jalur silsilah
melalui Allah, melalui Rasulullah sampai kepada para ahli silsilah, jalur dari
sesuatu yang murni tanpa intervensi, jalur spiritualitas yang bisa dibuktikan dan
bisa dipertanggung jawabkan.
Spiritualitas Murni dan Spiritualitas Rekaan
Pada puncak perjalanan manusia, pada puncak pemgetahuan manusia, maka hanya bertumpu pada dua hal saja yaitu kemurnian dan ketidak murnian. Dua frasa ini, “murni” dan “tidak murni” bukanlah “klaim” tetapi bisa di uji dan dibuktikan. Perumpamaan antara yang murni dan tidak murni ini adalah ibarat cahaya dan kegelapan yang sama-sama ingin menerangi. Kemurnian adalah cahaya yang memang terang, sehingga memang selalu bisa menerangi, sedangkan ketidak murnian adalah kegelapan, tanpa cahaya tetapi dipaksakan untuk menerangi, tidak akan ada yang terang, sekalipun manusia hidup dalam terang, padahal itu adalah gelap yang tidak nampak, karena semua adalah rekaan dan kebanyakan manusia masih hidup dalam skema beragama yang seperti ini.
Spiritualitas adalah jiwa, ruh pengalaman manusia akan makna, tujuan dan moralitas. Spiritualitas adalah prinsip hidup seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan rasa keterikatan dengan sesuatu yang maha tinggi, Tuhan, atau sesuatu yang universal. Spiritual murni merupakan ajaran yang berkaitan dengan jati diri, etika dan moral. Suatu keadaan yang menyelaraskan diri dengan nilai dasar dari semua ajaran mulia, dan membicarakan tentang eksistensi jati diri dan eksistensi Tuhan secara terang benderang. Spiritualitas murni adalah spiritualitas tanpa intervensi manusia, karena bersumber lansung dari otoritas tunggal. Spiritualitas ini adalah nafsani, dari sesuatu yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, sesuatu yang lansung dari Tuhan, yang tidak ada di bacaan, di kitab-kitab, tetapi lansung dari alam rabbani, Tuhan sendiri yang menyampaikan, bukan dari alam hayali, yang direka-reka dan dibuat-buat berdasarkan pengetahuan manusia sendiri.
Pada puncak perjalanan manusia, pada puncak pemgetahuan manusia, maka hanya bertumpu pada dua hal saja yaitu kemurnian dan ketidak murnian. Dua frasa ini, “murni” dan “tidak murni” bukanlah “klaim” tetapi bisa di uji dan dibuktikan. Perumpamaan antara yang murni dan tidak murni ini adalah ibarat cahaya dan kegelapan yang sama-sama ingin menerangi. Kemurnian adalah cahaya yang memang terang, sehingga memang selalu bisa menerangi, sedangkan ketidak murnian adalah kegelapan, tanpa cahaya tetapi dipaksakan untuk menerangi, tidak akan ada yang terang, sekalipun manusia hidup dalam terang, padahal itu adalah gelap yang tidak nampak, karena semua adalah rekaan dan kebanyakan manusia masih hidup dalam skema beragama yang seperti ini.
Spiritualitas adalah jiwa, ruh pengalaman manusia akan makna, tujuan dan moralitas. Spiritualitas adalah prinsip hidup seseorang untuk menemukan makna dan tujuan hidup serta hubungan dan rasa keterikatan dengan sesuatu yang maha tinggi, Tuhan, atau sesuatu yang universal. Spiritual murni merupakan ajaran yang berkaitan dengan jati diri, etika dan moral. Suatu keadaan yang menyelaraskan diri dengan nilai dasar dari semua ajaran mulia, dan membicarakan tentang eksistensi jati diri dan eksistensi Tuhan secara terang benderang. Spiritualitas murni adalah spiritualitas tanpa intervensi manusia, karena bersumber lansung dari otoritas tunggal. Spiritualitas ini adalah nafsani, dari sesuatu yang tidak berhuruf dan tidak bersuara, sesuatu yang lansung dari Tuhan, yang tidak ada di bacaan, di kitab-kitab, tetapi lansung dari alam rabbani, Tuhan sendiri yang menyampaikan, bukan dari alam hayali, yang direka-reka dan dibuat-buat berdasarkan pengetahuan manusia sendiri.
Spiritualitas
rekaan adalah spiritualitas bacaan, fisik, materi, spiritualitas yang hanya
bersandar pada kefasehan bacaan- bacaan dan pada aktifitas fisik. Semua aktifitas
itu adaalh rutinitas tanpa henti yang sama sekali tidak ada hubungan dengan
yang transenden. Misalnya, seseorang yang membaca Al-Quran dengan faseh dan
merdu suaranya, beralun – alun, tetapi tidak ada hubungan sama sekali Al-Quran
yang dibaca tersebut dengan Allah yang dituju dari bacaan itu, hanya merasa
saja bahwa sang pembaca dekat dengan Tuhan, padahal Tuhan bukan didekati dengan
bacaan , tetapi di dekati dengan ketundukan dan penyerahan, yang dibawa
dihadapan Tuhan adalah ketidak berdayaan sebagai hamba, yang tidak tahu apa-apa.
Bacaan yang faseh dan suara yang merdu bukanlah ketundukan, karena yang dibawa
dihadapan Tuhan adalah energi yang lebih besar pada keegoan, keakuan, lebih
besar dirinya dengan suara yang merdu dari pada memuji Tuhan dengan ketulusan. Segala
kemerduan, segala alunan yang indah bukannya tidak bermakna, dia akan bermakna
setelah mengenal Tuhan dengan sebenarnya kenal.
Spiritualitas
murni dan spiritualitas rekaan adalah juga spirutualitas virtual dan
spiritualitas faktual. Spiritualitas virtual hanyalah citra, yang dilipat
kedalam sesuatu yang kecil, terpenjaran dalam ukuran-ukuran kecil sebesar
gadget sedangkan spiritualitas murni adalah keluasan, faktual dan nyata seperti
adanya. Spiritualitas murni itu punya energi yang tidak hanya untuk membebaskan
manusia, tetapi juga sebagai ruh semesta yang dapat menjaga manusia dengan
cinta, kasih sayang dan kedamaian, spiritualitas yang punya metode dan koneksi
kepada yang murni adalah spirutalitas sufistik, yang diwarisi melalui jalur
silsilah yang terhubung secara fisik dan ruh, sambung menyambung tanpa
terputus. Spiritualitas Sufistik juga merupakan kritik bagi keprcayaan yang tidak mempersatukan manusia tetapi menyekat
manusia. Kritik terhadap kepercayaan yang membelah manusia dan menyeret manusia
dalam pertarungan satu sama lain di padang luas tanpa ada yang melerai,
sehingga yang terjadi adalah pembinatangan manusia satu sama lain,
spiritualitas sufi hadir membebaskan “pembinatangan” manusia kepada “memanusiakan”
manusia.
Seorang manusia
bisa saja beragama, tetapi belum tentu dia memiliki spiritualitas murni, bahkan
hanya memiliki spiritualitas rekaan. Spiritualitas murni adalah sebuah
kepastian karena bisa dibuktikan, rumusnya adalah “ dekat api pasti panas, tidak panas bukan api, dekat Allah pasti
keramat, tidak keramat berarti bukan Allah”, artinya selama ini bukan Allah
yang disembah, tetapi yang disembah adalah ketiadaan. Dalam spiritualitas
murni, api disini adalah sebetulnya api, api yang membakar. Sedangkan dalam spiritaulitas
rekaan, api disini adalah api bacaan dan tulisan, sampai matipun tidak pernah
ada wujdu api yang membakar. Keramat disini adalah sebuah kelebihan-kelebihan
adi kodrati diluar kuasa manusia, yang dimiliki oleh sosok yang punya otoritas
dan kapasitas spiritual murni, dalam dunia tasawuf disebut bahwa ini dimiliki
oleh seorang Mursyid yang Wali, Waliyamursyidana. Keramat disini adalah sebuah dimensi
fenomenologis, kelebihan yang hadir tanpa proses intervensi, tetapi otomatis
dengan sendirinya yang murni dan tunggal. Dalam spiritualitas rekaan, keramat
yang di hadirkan adalah juga keramat yang direka, yaitu keramat yang
dikondisikan dan diciptakan, sudah di intervensi dan sudah tidak murni lagi.
Tulisan ini bukanlah klaim, tetapi
sebuah pikiran yang ditulis berdasarkan kehadiran…