Kampus : Problem baru Radikalisme – Terorisme



Oleh : T.Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Penangkapan AB, seorang dosen terkait aktifitas merakit bom molotov di sebuah kampus ternama di Indonesia mengagetkan banyak pihak. Kampus yang fondasi utamanya adalah lembaga pencerahan, merasa sangat terusik dengan kejadian penangkapan ini. Satu pertanyaan penting yang diajukan banyak pihak adalah  “bagaimana bisa seorang tenaga pengajar terafiliasi dengan aktifitas kekerasan ?. Bom yang dipersiapkan tersebut disinyalir untuk digunakan pada aksi mujahid 212 yang lansung bisa ditebak arah dan tujuannya. Kampus dan afiliasi radikalisme yang menjurus kepada terorisme adalah persoalan kebangsaan penting saat ini, karena ini adalah lembaga pendidikan. Kampus tidak masalah jika menjadi arena kebebasan pikiran dan pendapat, tetapi bermasalah ketika menjadi tempat yang kondusif bagi produksi radikalisme dan segala afiliasinya. Dalam banyak kasus yang terjadi di Indonesia, radikalisme pasti menjurus kepada tindakan terorisme, karena diawali dengan ujaran kebencian, kemudian dilegitimasi dengan agama sehingga melahirkan tindakan jihad yang bernama “terorisme”.
Sumber : Google

Transformasi Terorisme

Terorisme adalah sebuah terma yang terus mengalami peralihan dan perubahan dari masa kemasa. Dalam buku The History Of Terorism From Antiquity to Alqaeda, terbitan University of California Press (2007), menyebutkan prehistory terorisme telah dimulai dari Zeloath dan Assasine. Assasine dalam sejarahnya terkenal sebagai sebuah kelompok pembunuh bayaran dengan kehalian khusus, keahlian mereka memang sangat terkenal dalam menggunakan berbagai jenis senjata mematikan. Zeloath dan Assasine adalah dua contoh dari organisasi terorisme klasik. Assasine ditemukan akarnya di dua wilayah yaitu Iran dan Syria.

Fase kedua terorisme, dimuai dalam rentang waktu 1789 – 1968, era ini dimulai dengan era modern dari terorisme, anarkhisme terorisme di abad 19 adalah terorisme rusia (1878-1908) yaitu era Lenin, Stalin dan terorisme negara serta peralihan-peralihan terorisme dari perang dunia ke dua berupa perang kolonialisme (kolonialisasi) dan perang pembebasan nasional dan pembebasan dari kolonialisme.

Fase ketiga yaitu dalam rentang waktu 1968 sampai saat ini. Pada fase ini ditandai dengan era radikalisme dan fundamentalisme agama yang menjanjikan kepastian-kepastian. Dalam Islam, era ini juga ditandai dengan era radikalisme Islam. Perang afganistan melawan Uni Soviet, dan semakin menguat pasca Revolusi Islam Iran 1979 yang bagi sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk kemenangan Islam atas simbol-simbol Barat yang harus di duplikasi dan direplikasi dibelahan dunia muslim lainnya diluar Iran. Pasca peristiwa 11 September 2003, dunia benar-benar berada dalam kewaspadaan terkait keamanan dan kenyamanan manusia (human security), tidak terkecuali Asia Tenggara, sebuah kawasan strategis di Asia yang punya dinamika  persoalan tersendiri yang masih berlansung sampai saat ini, seperti Pattani di Thailand Selatan, Bangsa Moro di Philipina, Rohingya di Myanmar.  Asia Tenggara , disamping sebuah wilayah yang sangat penting bagi pasar perekonomian dunia, juga menjadi wilayah yang strategis juga bagi masuknya lalu intas paham/ideologi keagamanan yang ekstrim.

 Problem Pendidikan  Kita dan  Benih Terorisme
Pasca reformasi, politik identitas memang kembali mencuat dan menguat, Islam sebagai mayoritas kembali bergelut dengan berbagai dinamika kebangsaan Indonesia kepada ego artifisial, yaitu keinginan mewujudkan pranata-pranata keagamaan berdasarkan semangat superior-inferior, belum dengan semangat kesetaraan (equality), sehingga dalam banyak hal, mediasi-mediasi yang dilakukanpun gagal menyelesaikan persoalan-persoalan hubungan antar Islam maupun antar agama, diantara berbagai problem yang tidak terselesaikan tersebut, juga menyumbang benih-benih bagi lahirnya “terorisme-terorisme” baru tapi dengan model dan modus yang sama diseluruh dunia.  

Gambaran besar visual realitas-realitas diatas tentu menimbulkan pertanyaan besar pula, kenapa itu semua bisa terjadi, apakah ada yang salah dengan paradigma, mindset, pendekatan pendidikan kita. Sehingga melahirkan generasi yang  punya kerangka berfikir tidak inklusif dan toleran ?. Ini bukan sebuah pertanyaan main-main, ini adalah pertanyaan pokok untuk merubah sebuah kondisi menjadi ideal. Bagaimana bisa seorang muslim dengan Islam sebagai agama cinta damai dan rahmatan lil’alamin bisa menjadi seorang teroris?. Setelah dikaji secara teliti ternyata ada satu yang hilang dari seorang Muslim yang berubah menjadi teroris, yaitu hilangnya cinta di pikiran, mindset, kerangka berfikir dan tindakan , padahal cinta adalah universalitas yang bisa mempertemukan apapun.

Ada dua model pendekatan  pendidikan yang sering dipakai oleh kalangan Islam dalam melihat realitas hubungannya dengan sesama Islam maupun dengan agama lain, yaitu mengedepankan keimanan baru rasionalitas, kedua, Rasionalitas dulu baru keimanan. Ketika yang dipakai  dalam  pendidikan kita adalah pendekatan keimanan semata dan memperkecil porsi rasionalitas bahkan menghilangkan rasionalitas (mengubah realitas menjadi hitam putih)    tanpa dialog, tanpa preserve maka model pendidikan seperti ini cenderung akan melahirkan tindakan kekerasan (intoleransi) dalam menyikapi perbedaan, bahkan merupakan jalan-jalan terang bagi lahirnya “indoktrinasi-indoktrinasi” bagi terorisme. Sedang model pendekatan pendidikan yang kedua yaitu rasionaitas, baru keimanan, lebih terbuka, lebih inklusif dan bisa mengeluarkan human resources dari indoktrinasi dan ketunggalan paradigm berfikir.

Kampus  dan  Reduksi Radikalisme, Terorisme
Radikalisme - Terorisme adalah bencana dunia. Kita juga mendapati berbagai perbedaan pendapat mengenai sifat dari lahirnya bencana ini, apakah ekstrimisme agama didasarkan pada penyimpangan keyakinan agama atau fanatisme yang melanggar iman untuk membenarkan kekerasan terhadap sipil yang tidak berdosa. Kita semua, terutama melalui pendidikan tentu harus berfikir ekstra, konsisten dan jangka panjang. Pendidikan merupakan sebuah usaha dan dukungan praktis untuk mencegah prasangka terhadap agama, konflik dan ekstrimisme yang berpotensi melahirkan terorisme.
Radikalimse- Terorisme hanya bisa dikalahkan dengan Pendidikan, yaitu pendidikan lintas budaya yang berbasis luas, yang tentu sangat penting untuk mengalahkan radikalisme-terorisme karena banyak dari lahirnya hal tersebut dikontribusikan oleh ekstrimisme religius , karena langkah-langkah keamanan sendiri tidak akan berhasil. Pendidikan begitu penting dalam menghambat celah bagi mengakarnya radikalisme-terorisme, terutama bagaimana memberikan mode pendidikan mengenai penerimaan keragaman dan perbedaan, toleransi dan rasa hormat pada berbagai perbedaan serta kesetaraan.
Sebagai sebuah institusi  pendidikan tingkat tinggi, kampus merupakan jantung peradaban yang harus melahirkan sumberdaya manusia yang bisa menjawab segala persoalan, termasuk persoalan memutus mata rantai radikalisme – terorisme, karena ini adalah kerja yang penting bagi peradaban, maka kampus punya peran yang maha penting.  Melalui pendidikan, kampus senantiasa dituntut untuk punya komitmen yang tinggi dalam mencerdaskan manusia dengan pengajaran yang inklusif, terbuka, mengedepankan rasionalitas dalam keberimanan, mencerahkan pikiran dan membuka pikiran terhadap yang lain dengan segala perbedaan kultur, agama dan menunjukkan bahwa masa depan yang berhasil adalah ketika orang saling menghargai, apapun latar belakang agama,  kepercayaan dan segala keberagaman lainnya. ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk dipraktekkan.
Tulisan ini sudah dimuat di Serambi Indonesia, 5 Oktober 2019 



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :