Mau kemana Manusia ?
Oleh : Teuku Muhammad Jafar
Sulaiman, MA
Manusia adalah sebuah tanda tanya terbesar
dalam peradaban. Membahas manusia adalah sebuah pekerjaan paling tua dalam
sejarah kita. Saat ini hidup di Era Postmodern, demikian kata Jacques Lacan (tokoh Postmodernisme), “ Era
dimana “Hasrat, keinginan harus disalurkan, dirayakan dan dilepaskan”
hal ini tentu paradoks ditengah berkembangnya ritual-ritual agama simbolik yang
mengisi ruang-ruang keseharian kita, yang justru menawarkan sebaliknya, “dunia
adalah sesuatu yang harus dicurigai secara berlebihan”, ajaran-ajaran
yang terus dipertontonkan adalah “manusia-manusia bumi hari ini tengah berada
di era penuh dosa, bergelimang dalam maksiat, sehingga perlu bertaubat secara
ekstrem, pertaubatan wajib dilakukan meskipun harus mengekang sisi kemanusiaannya
yang paling berharga (mengubur relasi sesama manusia, menyekat manusia kedalam
kelompok agama tertentu, membenci agama tertentu, golongan tertentu, dsbnya).
Sumber : zvikryan1907.wordpress.com |
Tanpa disadari, jika ini terus-menerus
dihadirkan dihadapan kita, maka manusia hari ini dengan melampaui Tuhan, telah
merubah definisi agama yang mencerahkan dan membebaskan, menjadi sesuatu yang
“menyandera” manusia. Kita dengan tegas harus mengajukan satu pertanyaan terkait
fenomena ini : “haruskah kita menderita karena agama, apakah agama hadir untuk membuat
kita menderita ?”, sebuah pertanyaan yang harus direnungkan dalam-dalam
oleh siapapun yang ada dibumi hari ini, agar tidak menggunakan kuasa, relasi
kuasa dengan “menyandera” agama dan membunuh eksistensi kemanusiaan”, padahal
seperti dikatakan oleh filosof Iran Mulla Sadra, dalam “Al-Harakah Al-Jauhariyah” nya
(Teori Gerak substansial), : “manusia akan menjadi luar biasa, menjadi
citra Ilahiyah, apabila seluruh potensi yang ada padanya dikeluarkan secara
utuh”.
Fenomena diatas juga membuat pesimis seorang
jean P Baudrillard (pemikir sosial modern, teoritisi postmodern saat ini) yang
menyebut era sekarang dengan Era patafisika
atau era citraan, dia juga menyebut wacana ini dengan Era Post-Spiritualiy, yaitu era ketika
segala sesuatu (agama, sosial, budaya) ditampilkan hanya dalam wujud citra,
permukaan, dangkal, (tercerabut dari akar-akar hakiki), karena meninggalkan
fondasi-fondasi transenden dan metafisikanya, dunia citra ini ditampilkan dalam
simulasi-simulasi yang tidak berhubungan lagi dengan realitas fisik manusia,
artinya citra agama ditampilkan dengan semakin menjauhkan dan menjauhkan
manusia dari realitas kemanusiaanya yang butuh pelepasan-pelepasan menjadi
mengekang pelepasan-pelepasan.
Inilah gambaran dunia yang ada dihadapan kita
hari ini. Kita semua pasti merasakan dan
menyaksikan lansung realitas besar ini. Lalu
muncul pertanyaan natural, akan jadi apa dunia yang didalamnya dihuni oleh
manusia-manusia dan makhluk hidup lainnya dengan pola-pola seperti diatas ?.
bukankah yang akan dihasilkan oleh relasi-relasi diatas hanyalah manusia-manusia
kamuflase, manusia-manusia dangkal psikis dan spiritnya. Maka jangan heran
ketika semua orang tertegun dan takjub pada model agama seperti digambarkan
Baudrillard tadi, semua orang beranggapan bahwa itulah agama yang sesungguhnya,
sehingga akhirnya mereka harus dihadapkan pada kekecewaan, kenapa ya, orang beragama, tapi berbuat kejahatan, orang shalat, tapi kok
korupsi ya ?. padahal itu tidak ada
hubungannya sama sekali, orang berbuat jahat tidak ada hubungannya sama sekali
dengan agama, itu murni persoalan jiwa, psikis, psikologi, mindset, pola pikir
yang kalau dalam ilmu modern sekarang bisa disembuhkan dengan Coaching, maka semua itu bisa dirubah.
kebaikan-kebaikan itu juga bisa dilakukan oleh atheis sekalipun, tanpa agama.
Gambaran dunia seperti ini, perlu sebuah
perubahan besar, kamuflase yang ditampilkan sudah sangat besar dan menggurita,
perubahan yang diinginkan bukanlah perubahan seperti revolusi Bolshevik Rusia
1912, juga bukan setingkat Revolusi Iran 1979, apalagi revolusi prancis, tapi
sebuah perubahan “ide”, “paradigma” berfikir manusia, “mindset” berfikir
manusia, jika ini bisa dirubah, maka dunia akan berubah. Ibarat piramida, maka
yang akan bisa melakukan perubahan ini mesti ada dipuncak piramida, sudah
melewati tangga-tangga kapasitas keilmuan, mengerti dan paham manusia
sedetail-detailnya, yang bisa mencerai-berai manusia kepada titik-titik
terkecil atom dan inti atomnya, sehingga ketika itu disatukan kembali maka akan
muncul manusia-manusia unggul tak berbilang karena akan terduplikasi otomatis.
Jika kita ingin menarik sebuah garis demarkasi
take-off, maka hanya berbekal ilmu agama saja (syariat) dan dengan itu ingin
merubah manusia, maka dijamin 1000 % landingnya
akan bermasalah dan tak mulus, karena pola fikir saja masih sangat sektoral,
bagaimana ingin mengubah dunia yang multi sektoral dan multi polar ini, yang
perlu dirubah bukanlah dari orang yang tidak taat agama kepada taat beragama,
karena taat beragama tidak bisa menjadi jaminan orang berbuat baik atau jahat,
tetapi bagaimana manusia itu menyadari potensi yang ada padanya,, bagaimana
manusia itu sejahtera, sehat, menghargai sesama manusia, saling memberi, saling
menolong, saling membantu untuk sukses, dan
jelas semua itu tanpa sekat agama, budaya, kelas maupun ras dalam pola-pola relasi dunia kedepan yang
dibangun dalam semangat “etika-global” (Global-ethic), “kearifan-global’
(global wisdom) dan etika-etika “post-sekuler, maka bisa dibayangkan dimana
posisi kita jika hanya Syari’at yang kita bawa ?.
Sebagai manusia yang punya tanggung jawab
besar peradaban, maka kita harus tetap optimis dan optimisme itu ada pada sosok
Sufi. Sosok ini adalah sosok
yang melipat dan meremas-remas keburukan, egosentris negatif manusia
menjadi bungkusan kecil, kemudian membersihkan, menghapus keburukan itu dan
mengembalikan bungkusan kecil tadi menjadi kertas besar sebesar semesta dengan
kalimat-kalimat kebaikan, penghambaan kepada Tuhan, yang dari situ memancar
kebaikan, sikap positif, membantu sesama, memberi lebih kepada sesama,
bagaimana memberi cinta tanpa pamrih. Semua kalimat itu ditujukan kepada
manusia sekali lagi tanpa sekat agama atau apapun tapi murni manusia dengan
segala esensi kemanusiaannya. Dalam
sosok ini kita juga bisa menemukan kebesaran ajaran-ajaran kebaikan dunia, semua
berkumpul disini, dipersatukan, diramu dalam kontkes kekinian, konsep yang
paling dekat dengan realitas manusia, kalimatnya sederhana, namun tajam menghunjam
kejantung kesadaran kita.