Hijrahlah Pikiran, karena Pikiran Tidak Pernah Mati
Oleh : T. Muhammad Jafar
Sulaiman, MA
Sebagai
agama, persoalan pertama yang muncul dalam Islam adalah persoalan politik
(kekuasaan) bukan persoalan teologi atau lainnya. Perjalanan Islam selanjutnya
dalam sejarah adalah kisah-kisah kemenangan (success story) dibidang politik dan ini menjadi salah satu
karakteristik awal kehadiran Islam, masa kemenangan ini masih terdengar hingga
era Abbbasiyah yang terkenal dengan sebutan The
Golden Age of Islam (masa keemasan Islam), yang menarik adalah kekuatan
politik yang diperkenalkan Islam adalah kekuatan politik berbasis demokrasi dan
penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kendatipun istilah ini belum
dikenal pada masa Islam awal, tetapi secara esensial nilai-nilai demokrasi dan
HAM telah diperkenalkan melalui nilai-nilai universal ini.
Sumber : Google |
Tapi
jangan lupa, sejarah juga mencatat berbagai pertentangan, perpecahan bahkan
pertumpahan darah dalam Islam juga terjadi karena persoalan-persoalan politik,
inilah sejarah paling dominan yang mewarnai 14 abad perjalanan Islam hingga
sampai kekita saat ini, perjalanan yang penuh dengan intrik-intrik politik dan
kepentingan-kepentingan golongan tertentu, yang tentunya Islam inilah yang
sampai kekita hari ini (diluar nilai-nilai universal), sangat wajar kita
curigai dan kita kritisi dan bukan menerima secara mentah-mentah begitu saja.
1400 tahun itu waktu yang panjang, kita tidak hidup pada waktu itu, selama 1400
tahun Islam telah melintasi berbagai benua, banyak akulturasi budaya disana,
banyak pengaruh gaya-gaya kehidupan dilintas budaya tersebut, banyak dimensi
historis, sosiologis, antropologis yang membentuk perjalanan Islam tersebut,
dimana sebenarnya kita juga punya karakteristik dan budaya sendiri yang pasti
berbeda dengan kondisi demografi dan geografis Arab yang kering, kekurangan air
dan tandus.
Bagaimana
menjelaskan peradaban Islam dalam rentang sejarah yang panjang itu, di mana
unsur-unsur sekular, plural dan liberal berkait kelindan di dalamnya? Bagaimana
menjelaskan realitas sosiologis umat Islam modern yang berusaha menerapkan
konsep-konsep baru yang di dalam “Islam otentik” tak pernah disebutkan?.
Saya
selaku seorang pemikir muda sangat meyakini bahwa realitas sosiologis dan
historis adalah upaya umat Islam menafsirkan ajaran-ajaran Islam yang progresif
dan dinamis. Realitas sosiologis dan historis adalah tafsir hidup terhadap Islam
otentik yang ada dalam imajinasi setiap kaum Muslim. Tak ada yang salah dari
realitas sosiologis. Ketika sebuah negara Muslim berusaha menerapkan demokrasi,
menjunjung tinggi pluralisme, dan mengakui deklarasi HAM, ini tidak serta-merta
negara tersebut sedang menjauh dari otentisitas (al-ashalah). Upaya tersebut adalah sebuah tafsir terhadap “Islam
otentik” dan sebuah upaya untuk selalu menjaga –apa yang disebut oleh Muhammad
Iqbal, filsuf asal Pakistan—prinsip dinamika Islam.
Pencerahan
Sejarah
awal, kebangkitan Arab-Islam adalah era liberal (Liberal Age) seperti disebutkan
oleh Albert Hourani dengan menjadikan tahun 1798 sebagai awal munculnya era
liberal dan berakhir ditahun 1939, tahun ini kemudian dipakai oleh hampir semua
sejarahwan dalam memulai penulisan sejarah kebangkitan Arab-Islam. Houranie
mendefinisikan periode ini sebagai masa dimana orang-orang Arab – Islam secara
serempak mengalami kesadaran intelektual dan peradabannya. Masa ini dicirikan
dengan respon positif terhadap kemajuan Barat, industrialisasi, rasionalisasi
dan modernisasi terhadap sisi-sisi kehidupan manusia. Era liberal juga
merupakan masa dimana para pemikir Arab-Islam, baik muslim maupun non muslim,
membincangkan pemikiran mereka secara bebas dan tanpa ada kekhawatiran adanya
tekanan dan ancaman, baik dari otoritas agama maupun politik (penguasa). Penyebutan era liberal bukan tanpa alasan.
Jika dilihat dari perspektif sekarang, masa-masa yang dibatasi oleh Hourani
(1798-1939) memang merupakan masa liberal dengan sebenar-benarnya, semua bisa
mengekspresikan pemahaman mereka terhadap agama secara bebas dan ciri utamanya
ada pada aspek kebebasan berfikir. Menjelang era 1930-an, era liberal mulai
menjalani kemunduran serius. Wacana
pemikiran Arab-Islam modern yang sebelumnya sangat kental bernuansa pencerahan
kemudian bergeser ke model wacana yang berkarakter fundamentalistik, eksklusif
dan konservatif terhadap upaya-upaya modernisasi dan rasionalisasi kehidupan
masyarakat Islam, dan fenomena ini terus berlansung sampai sekarang.
Jadi, apa
yang ditulis oleh tokoh-tokoh seperti Abid al-Jabiri, Arkoun, Abu Zaid, Hasan
Hanafi, Fazlur Rahman, Nurcholis Madjid dan masih banyak yang lainnya adalah
pemikiran-pemikiran yang muncul pasca kejayaan era liberal ini, tugas
pemikir-pemikir brillian ini tentu sanagt berat dan kadang-kadang harus dibayar
dengan pengkafiran dan pemurtadan, apa yang dilakukan oleh mereka adalah
sesuatu yang sangat berani dan patut kita hormati, dimana mereka berani
melakukan ini di era pengkafiran (‘ashr
al-takfir) yang begitu dominan dibandingkan dengan era pemikiran (‘ashr al-tafkir). Apa yang mereka
tulispun adalah berupa redefinisi, rethinking, rekonstruksi, bahkan
dekonstruksi Islam dan keberislaman orang Islam sebagai sebuah organisme hidup
yang terus menyesuaikan diri dengan peradaban. Jadi walau itu kita kemukakan
lagi saat ini (kita ulang-ulang) masih sangat relevan dan orisinil, karena
mereka mengajarkan kepada kita kebebasan berfikir, budaya budaya toleransi,
sikap kekritisan dalam mengkritisi keberislaman kita. Apa yang dilakukan mereka
semua tidak lebih daripada upaya mengembalikan Nahdah (kebangkitan) seperti yang pernah diusung oleh Thahtawi,
Bustani, Kawakibi dan Abduh sebagai tokoh-tokoh awal kebangkitan pemikiran
Islam. Betapa naïf rasanya kalau kita menyebut ide-ide mereka sebagai ide
sampah dan orang yang mengusung ide mereka juga ide sampah, pertanyaan
sederhana, apakah mereka dalam menulis pemikiran mereka bertujuan untuk
menghapuskan dan meruntuhkan Islam sebagai agama? apakah mereka dalam
mengemukakan suatu ide tidak berdasarkan al-Qur’an dan Hadits?. Mereka itu muslim
juga yang menuliskan sesuatu berdasarkan sumber-sumber otentik Islam.
Wajar
rasanya Islam mengalami banyak kemunduran karena mencekal pemikiran-pemikiran
mereka ditempat asal mereka dan didunia muslim, tetapi Barat bisa membaca
potensi besar pemikiran mereka, sehingga hijrahlah Nasir Hamid Abu Zaid ke
Leiden Belanda sehingga Islamic Studies di Belanda mengalami kemajuan pesat
dibandingkan dinegara-negara muslim sendiri dan juga sangat wajar kalau
intelektual muslim memilih belajar Islamic Studies ke negara-negara Eropa
dibandingkan Timur Tengah, Arab dan Mesir, itu semua juga karena iklim
kebebasan intelektual, yang bisa dengan mudah didapatkan di Eropa dan Amerika
dibandingkan dinegara-neagara muslim yang masih sangat suka melakukan takfiri
dan tidak menghargai kebebasan berfikir dan kebebasan intelektual.
Sejarah
rasionalisme adalah juga sejarah humanisme –sesuatu yang memang sangat
diimusuhi Islam literalis- adalah sejarah pembebasan manusia dari
praktek-praktek keagamaan yang merendahkan martabat manusia. Dimana sebelumnya
manusia sering dijadikan persembahan-persembahan untuk para dewa, sering
dijadikan budak-budak yang bisa ditukar dan diperjual belikan. Sehingga pasca
ini penghargaan terhadap manusia begitu tinggi sehingga rasionalitas manusia dijadikan
ukuran sebuah kebenaran, apakah ini
sebuah kesalahan ?. dan sejarah Kedatangan Islam adalah sejarah penghargaan
terhadap humanisme, mengapa sekarang kita ingin meruntuhkan fondasi ini?.