Ketika Masjid Kalah Saing dengan Warkop
Sebagai
sebuah bangsa, yang sampai saat ini masih terus mengumpulkan pahala dengan
mencambuk manusia, kita selalu dihebohkan dengan kata-kata tapi tidak suka heboh dengan pikiran. Terkadang, kita
juga sudah terlalu rabun untuk membedakan yang mana kata-kata “sampah” dan yang mana kata-kata
“hikmah”, kita justru sering terbalik membedakan keduanya, ada kalanya kata-kata
sampah itulah yang kita jadikan hikmah dan kata-kata hikmah itulah yang kita
jadikan sampah, bahkan kata-kata itu kadang sering diucapkan ditempat-tempat
yang dianggap suci. Kita tidak pernah
tahu kapan ini akan berakhir sebelum kita paham bahwa hakikat hidup adalah berfikir
dan berzikir, selalu berfikir karena kita fakir pengetahuan dan selalu berzikir
untuk mengingat Tuhan, bukan menyebut nama, mengingat karena kita mudah lupa
sebagai manusia.
Sumber : Google |
Baru-baru
ini, kita kembali heboh dengan kaliamt yang menggugat generasi yang
menghabiskan waktu di café-café :
“…generasi duduk dicafe, yang
menghabiskan waktu rutin setengah jam saja di café atau satu jam saja, maka itu
adalah generasi sampah, itu generasi robot, lost generation, otaknya tidak jalan, kesehatannya tidak jamin, cita-citanya
ngambang, tidak ada semangat untuk kerja, tidak ada target hidupnya, generasi
yang seperti itu jeut tak tanda, tak tanda, tak tanda, …..generasi yang dhuafa
(lemah)... “
Kita
tersentak dengan kalimat ini, sebuah kalimat merespon fenomena sosial generasi
muda. Ketika kita tanggalkan kacamata kemarahan dan memakai kacamata sudut
pandang lain dan ketika kita bawa diri kita kedalam realitas café-café tersebut,
banyak generasi muda Aceh yang menghabiskan waktu berjam-jam bahkan harian di
warkop, mereka mencari uang dengan laptop dan ketika tiba waktu shalat, dia
melaksanakan shalat, anak muda tersebut mengelola web dan dia punya trik untuk
mendapatkan uang dari, sehingga setiap bulan dia mendapatkan puluhan juta dari
kerjanya itu, dan ini bukan kerja sehari dua hari, tetapi kerja bulanan dan
mereka bekerja dwarung kopi dan di café-café, artinya otak mereka jalan di
warkop.
Dalam
realitas lain, banyak anak muda Aceh sebagai penulis produktif, setiap tahun bisa
melahirkan buku, menulis puluhan artikel untuk jurnal yang terindeks scopus,
menulis puluhan esai dan semua itu dikerjakannya di warung kopi, apa yang mereka
kerjakan bukanlah sampah, mereka bukan
los generesyen, tetapi generasi yang menyelamatkan generasi yang lain dengan
mengajarkan bahwa hidup harus punya legacy dan menulis adalah kerja abadi
menghasilkan legacy.
Kuasa
otoritas agama dan kuasa superioritas moral ditempat kita sering sekali
membanding-bandingkan bahwa jumlah generasi muda di warkop lebih banyak dari
pada yang dimasjid. Sebenarnya ini hal yang mereka sendiri harus koreksi,
kenapa lebih banyak ke warkop dari pada ke masjid, sekalipun itu adalah dua
dunia yang berbeda dan dua hal yang berbeda. Bicara ketenangan mislanya, yang
sebagian besar banyak dicari manusia, kadang ketenangan, kecerahan, kedamaian justru
mereka dapatkan di warung kopi dari pada di masjid, karena ketika ke masjid
(tentu tidak semua masjid), yang mereka dengar dan rekam adalah teriakan-teriakan,
makian-makian melalui ceramah, menceritkan aib orang, maka pada saat itu tentu mereka
lebih memilih warung kopi ketimbang menuju masjid. Apalagi posisi masjid
disetiap kontestasi politik. Berarti pengelola masjid sudah punya tantangan
untuk mengurai persoalan ini.
Generasi
dhuafa itu tidak dilahirkan dari warung kopi, generasi dhuafa itu dilahirkan
dari pendidikan, pemerintahan dan orang tua. Dari pendidikan yang tidak
memanusiakan manusia, dari pemerintahan yang hanya tidak mensejahterakan
manusia dan dari orang tua yang tidak menjaga anak-anaknya dengan hati. Pemerintahan
yang tidak mensejahterakan warganya, bagaiman orang tua mensejahterakan
anak-anaknya ?, pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, maka kedepan mereka
tidak akan tahu bagaimana memperlakukan manusia dengan pengetahuan, dengan
politik, mereka akan lemah.
Masjid kalah sang dengan warkop ?
Dulu,
ketika masa saya kuliah, ada seorang penceramah Aceh yang sangat terkenal, dia
sangat marah dengan fenomena orang-orang lebih ramai berada di warung kopi dari
pada di masjid, sehingga kemarahannya atas fenomena tersebut selalu disampaikan
dalam setiap ceramaahnya :
“ Nyoe di Aceh,
masjid ngoen meunasah nyang paih bandum ta bouh ban, watee ka to watee seumayang,
tahu masjid ngen meunasahnyan bak keude kupi nyang paleng ramee ureung duek, ta
peudong laju disinan masjid ngen meunasahnyan, leuhnyan ta azan, ta pakat ueung
seumayang, ken hana dituho elak lee ureung, hai masjid ka tahu keunan dikhee
awaknya ” .
(semua masjid dan meunasah cocoknya
kita pasang ban (seperti mobil), kemudian ketika tiba waktu shalat, masjid dan
meunasah itu kita bawa ke warkop-warkop yang paling ramai pengunjung,
pengunjungpun tidak bisa mengelak lagi untuk tidak shalat, karena masjid sudah
didepan mereka..)
Tidak
ada yang salah dengan pemikiran dan ide da’i ini, tetapi kenapa tidak dibalik
saja, warung kopi itu yang dipindahkan ke masjid. Ketika warkop menyediakan
WiFi, kopi dan beraneka ragam makanan, kenapa masjid tidak menyediakan saja
Wifi, kopi gratis dan makanan-makanan secara gratis. Kalau di warkop semua itu
bayar, maka di masjid semua disediakan gratis.
Masjid
Jogokariyan, di Yogyakarta adalah sebuah masjid di Indonesia yang terkenal sebagai
masjid saldo nol rupiah. Jika masjid-masjid lain begitu bangganya mengumumkan
saldo kasnya puluhan bahkan ratusan juta, namun sebaliknya bagi masjid
Jogokariyan, masjid ini selalu berupaya keras agar saldonya selalu berada di
angka nol rupiah, uang-uang infak para jamaah harus berguna dan dipakai terus,
tidak untuk di depositokan di bank, karena itu tidak baik. Bagi pengurus masjid
ini, mengumumkan saldo infak puluhan juta bahkan ratusan juta dikhawatirkan akan menyakiti hati tetangga dekat di masjid
yang kurang mampu, yang anaknya sakit namun tidak bisa membiayai berobat karena
tidak ada uang atau tetangga tidak punya biaya pendidikan untuk anaknya.
Masjid Jogokariyan, Yogyakarta |
Masjid ini, dengan pengeloaan dananya malah bisa mensejahterakan
warga dengan fasilitas Wifi gratis 24 jam, masjidnya dibuka 24 jam, semua
fasilitasnya boeh dipakai, ada ruang olah raga untuk anak-anak dan dewasa, dan
dibulan Ramadhan, masjid ini menyediakan 5.000 piring nasi setiap hari selama
bulan Ramadhan. Masjid ini juga sanggup menangani pengobatan warganya yang
sakit dengan membawa Kartu Sehat Mesjid ke Rumah Sakit dan Klinik manapun di
Yogyakarta.
Beberapa keistimewaan
Masjid Jogokariyan ini diantaranya :
1. Masjid ini hanya berlokasi di tanah wakaf
700m2 tapi memiliki tiga lantai dan hanya masjid kampung (bukan masjid jami).
2. Pengurus masjid berusaha menggembirakan
masyarakat dan membuat mereka mau beribadah dengan berbagai cara yang syar'i. Setelah
mereka mau datang ke masjid, harus dibuat nyaman dan diisi dengan taklim-taklim
ringan.
4. Pengurus masjid tidak boleh memarahi anak-anak yang ramai di
masjid, tapi memberikan hadiah makanan ringan kalau tidak ramai dan jika anak
dianggap mengganggu jamaah di masjid.
5.
Kas masjid tidak pernah besar bahkan
targetnya adalah nol rupiah tiap akhir bulan.
6. disediakan sarapan bubur, lontong sayur,
susu kedelai, dan lain-lain tiap minggu setelah
shalat Subuh.
7. Disediakan 500 - 1000 nasi bungkus tiap selesai
shalat jumat dengan dana swadaya dari
jamaah.
8.
Ada divisi usaha penyewaan kamar penginapan di lantai tiga masjid untuk
membayar petugas kebersihan dan tambahan operasional masjid.
9. Tidak ada gaji untuk pengurus kecuali
petugas kebersihan, karena bagi mereka, gaji itu dari Allah dan tidak ada
maksimalnya, sementara gaji manusia ada minimumnya (UMR).
10. Ada infaq beras (kotak amal khusus beras)
untuk disalurkan ke dhuafa', walaupun sekarang isi kotak infaq beras itu
berubah jadi uang, karena jamaah malas membawa beras. Bantuan untuk dhuafa' ini
diambil di masjid setelah shalat Subuh.
Ditempat
kita, masih sering kita tenemukan ada masjid yang tidak buka 24 jam, pintu
gerbangnya digembok, kamar mandinya di
gembok, dipintu kamar mandi malah ditulis “kamar mandi ini hanya boleh digunakan bagi
yang shalat di masjid saja”, artinya kamar mandi yang seharusnya bisa
dipakai oleh siapa saja yang kadang mendesak, tetap tidak bisa digunakan,
masjid yang sejatinya rahmatan lil’alamin, oleh manusianya, dibuat menjadi
tidak rahmatan lil’alamain, sangat berbeda dengan model masjid seperti contoh
diatas.
Mungkin,
susah sekali menemukan masjid yang seperti ini di Aceh, bahkan nyaris tidak
ada. Jangankan mengumumkan saldo nol rupiah, untuk membangun masjid pun kita
masih meminta-minta di jalan, di sepanjang jalan lintasan di Aceh, baik di
lintasan pantai timur utara maupun lintasan barat selatan Aceh, bahkan
kadang-kadang anak-anak, orang tua yang sepuh, berdiri ditengah jalan di lintasan cepat
karean jalan lintas provinsi. Pemandangan seperti ini, tentu sangat
membahayakan tidak hanya bagi warga yang berdiri ditengah jalan tersebut tetapi
juga membahayakan para pengguna jalan dan bisa menyebabkan terjadinya
kecelakaan.
Membangun
rumah Allah tetapi masih dengan cara
meminta-minta di jalan, coba bayangkan, kalau kita ilustrasikan
mislanya, ada warga, untuk membangun rumah Bupati, lalu mereka berdiri ditengah
jalan, meminta uang kepada warga sebagai biaya untuk membangun rumah Bupati,
maka jika itu diketahui oleh Bupati, maka Bupati tersebut akan sangat marah,
karena telah mempermalukannya, karena dia punya banyak uang untuk membangun
rumahnya. Mungkin begitu juga ketika
ingin membangun masjid, membangun rumah Allah, tetapi dengan cara meminta-minta, Allah itu
maha kaya, tetapi “kok membangun rumahNya dengan cara meminta-minta di Jalan”.
Kalau
masjid tidak kalah saing dengan warkop, maka buatlah masjid itu menjadi
menarik, bukan malah marah dengan warkop dan orang-orang yang duduk di warkop.
Manusia-manusia yang duduk di warkop, mereka juga ada yang shalat ketika tiba
waktunya. Bagi orang Aceh, warung kopi itu adalah penting, walau bukan
segalanya, namun ada kalanya dunia beserta isinya ada di warung kopi, kalau
diperjelas lagi, dunia dan segala isinya ada di meja warung kopi dan kalau mau diperhalus lagi, dunia dan
segala isinya ada dalam segelas kopi.
Di
akhir dunia, kita semua beromba- lomba membangun masjid tanpa pernah tahu
apakah Tuhan bersemayam, berdiam disitu atau tidak, apakah ada atau tidak ada sama sekali cahaya Tuhan di masjid yang dibangun tersebut. namun di Aceh, masjid yang memenuhi semua kriteria masjid yang baik, masjid yang ada cahaya Allah, masjid yang benar-benar rahmatan lil'alamin pasti akan dibangun dan ada yang akan membangunnya. Seorang pemikir pernah berkata : “lebih baik aku memakai sandal diluar nasjid tetapi aku ingat
Tuhan, daripada ketika berada didalam masjid, aku teringat sandalku”.