Ketika Masjid Kalah Saing dengan Warkop


 Oleh : Teuku Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Sebagai sebuah bangsa, yang sampai saat ini masih terus mengumpulkan pahala dengan mencambuk manusia, kita selalu dihebohkan dengan kata-kata tapi tidak  suka heboh dengan pikiran. Terkadang, kita juga sudah terlalu rabun untuk membedakan yang mana   kata-kata “sampah” dan yang mana kata-kata “hikmah”, kita justru sering terbalik membedakan keduanya, ada kalanya kata-kata sampah itulah yang kita jadikan hikmah dan kata-kata hikmah itulah yang kita jadikan sampah, bahkan kata-kata itu kadang sering diucapkan ditempat-tempat yang dianggap suci.  Kita tidak pernah tahu kapan ini akan berakhir sebelum kita paham bahwa hakikat hidup adalah berfikir dan berzikir, selalu berfikir karena kita fakir pengetahuan dan selalu berzikir untuk mengingat Tuhan, bukan menyebut nama, mengingat karena kita mudah lupa sebagai manusia.

Sumber : Google 

Baru-baru ini, kita kembali heboh dengan kaliamt yang menggugat generasi yang menghabiskan waktu di café-café  :
“…generasi duduk dicafe, yang menghabiskan waktu rutin setengah jam saja di café atau satu jam saja, maka itu adalah generasi sampah, itu generasi robot, lost generation, otaknya  tidak jalan, kesehatannya tidak jamin, cita-citanya ngambang, tidak ada semangat untuk kerja, tidak ada target hidupnya, generasi yang seperti itu jeut tak tanda, tak tanda, tak tanda, …..generasi yang dhuafa (lemah)... “

Kita tersentak dengan kalimat ini, sebuah kalimat merespon fenomena sosial generasi muda. Ketika kita tanggalkan kacamata kemarahan dan memakai kacamata sudut pandang lain dan ketika kita bawa diri kita kedalam realitas café-café tersebut, banyak generasi muda Aceh yang  menghabiskan waktu berjam-jam bahkan harian di warkop, mereka mencari uang dengan laptop dan ketika tiba waktu shalat, dia melaksanakan shalat, anak muda tersebut mengelola web dan dia punya trik untuk mendapatkan uang dari, sehingga setiap bulan dia mendapatkan puluhan juta dari kerjanya itu, dan ini bukan kerja sehari dua hari, tetapi kerja bulanan dan mereka bekerja dwarung kopi dan di café-café, artinya otak mereka jalan di warkop.

Dalam realitas lain, banyak anak muda Aceh sebagai penulis produktif, setiap tahun bisa melahirkan buku, menulis puluhan artikel untuk jurnal yang terindeks scopus, menulis puluhan esai dan semua itu dikerjakannya di warung kopi, apa yang mereka kerjakan  bukanlah sampah, mereka bukan los generesyen, tetapi generasi yang menyelamatkan generasi yang lain dengan mengajarkan bahwa hidup harus punya legacy dan menulis adalah kerja abadi menghasilkan legacy.

Kuasa otoritas agama dan kuasa superioritas moral ditempat kita sering sekali membanding-bandingkan bahwa jumlah generasi muda di warkop lebih banyak dari pada yang dimasjid. Sebenarnya ini hal yang mereka sendiri harus koreksi, kenapa lebih banyak ke warkop dari pada ke masjid, sekalipun itu adalah dua dunia yang berbeda dan dua hal yang berbeda. Bicara ketenangan mislanya, yang sebagian besar banyak dicari manusia, kadang ketenangan, kecerahan, kedamaian justru mereka dapatkan di warung kopi dari pada di masjid, karena ketika ke masjid (tentu tidak semua masjid), yang mereka dengar dan rekam adalah teriakan-teriakan, makian-makian melalui ceramah, menceritkan aib orang, maka pada saat itu tentu mereka lebih memilih warung kopi ketimbang menuju masjid. Apalagi posisi masjid disetiap kontestasi politik. Berarti pengelola masjid sudah punya tantangan untuk mengurai persoalan ini.

Generasi dhuafa itu tidak dilahirkan dari warung kopi, generasi dhuafa itu dilahirkan dari pendidikan, pemerintahan dan orang tua. Dari pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, dari pemerintahan yang hanya tidak mensejahterakan manusia dan dari orang tua yang tidak menjaga anak-anaknya dengan hati. Pemerintahan yang tidak mensejahterakan warganya, bagaiman orang tua mensejahterakan anak-anaknya ?, pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, maka kedepan mereka tidak akan tahu bagaimana memperlakukan manusia dengan pengetahuan, dengan politik, mereka akan lemah.  

Masjid kalah sang dengan warkop ?
Dulu, ketika masa saya kuliah, ada seorang penceramah Aceh yang sangat terkenal, dia sangat marah dengan fenomena orang-orang lebih ramai berada di warung kopi dari pada di masjid, sehingga kemarahannya atas fenomena tersebut selalu disampaikan dalam setiap ceramaahnya :
“ Nyoe di Aceh, masjid ngoen meunasah nyang paih bandum ta bouh ban, watee ka to watee seumayang, tahu masjid ngen meunasahnyan bak keude kupi nyang paleng ramee ureung duek, ta peudong laju disinan masjid ngen meunasahnyan, leuhnyan ta azan, ta pakat ueung seumayang, ken hana dituho elak lee ureung, hai masjid ka tahu keunan dikhee awaknya ” .
(semua masjid dan meunasah cocoknya kita pasang ban (seperti mobil), kemudian ketika tiba waktu shalat, masjid dan meunasah itu kita bawa ke warkop-warkop yang paling ramai pengunjung, pengunjungpun tidak bisa mengelak lagi untuk tidak shalat, karena masjid sudah didepan mereka..)

Tidak ada yang salah dengan pemikiran dan ide da’i ini, tetapi kenapa tidak dibalik saja, warung kopi itu yang dipindahkan ke masjid. Ketika warkop menyediakan WiFi, kopi dan beraneka ragam makanan, kenapa masjid tidak menyediakan saja Wifi, kopi gratis dan makanan-makanan secara gratis. Kalau di warkop semua itu bayar, maka di masjid semua disediakan gratis.

Masjid Jogokariyan, di Yogyakarta adalah sebuah masjid di Indonesia yang terkenal sebagai masjid saldo nol rupiah. Jika masjid-masjid lain begitu bangganya mengumumkan saldo kasnya puluhan bahkan ratusan juta, namun sebaliknya bagi masjid Jogokariyan, masjid ini selalu berupaya keras agar saldonya selalu berada di angka nol rupiah, uang-uang infak para jamaah harus berguna dan dipakai terus, tidak untuk di depositokan di bank, karena itu tidak baik. Bagi pengurus masjid ini, mengumumkan saldo infak puluhan juta bahkan ratusan juta dikhawatirkan  akan menyakiti hati tetangga dekat di masjid yang kurang mampu, yang anaknya sakit namun tidak bisa membiayai berobat karena tidak ada uang atau tetangga tidak punya biaya pendidikan untuk anaknya.  

Masjid Jogokariyan, Yogyakarta 
Masjid ini, dengan pengeloaan dananya malah bisa mensejahterakan warga dengan fasilitas Wifi gratis 24 jam, masjidnya dibuka 24 jam, semua fasilitasnya boeh dipakai, ada ruang olah raga untuk anak-anak dan dewasa, dan dibulan Ramadhan, masjid ini menyediakan 5.000 piring nasi setiap hari selama bulan Ramadhan. Masjid ini juga sanggup menangani pengobatan warganya yang sakit dengan membawa Kartu Sehat Mesjid ke Rumah Sakit dan Klinik manapun di Yogyakarta.
Beberapa keistimewaan Masjid Jogokariyan ini diantaranya :
1. Masjid ini hanya berlokasi di tanah wakaf 700m2 tapi memiliki tiga lantai dan hanya masjid kampung (bukan masjid jami).
2. Pengurus masjid berusaha menggembirakan masyarakat dan membuat mereka mau beribadah dengan berbagai cara yang syar'i. Setelah mereka mau datang ke masjid, harus dibuat nyaman dan diisi dengan taklim-taklim ringan.
4. Pengurus masjid  tidak boleh memarahi anak-anak yang ramai di masjid, tapi memberikan hadiah makanan ringan kalau tidak ramai dan jika anak dianggap mengganggu jamaah di masjid.
5.  Kas masjid tidak pernah besar bahkan targetnya adalah nol rupiah tiap akhir bulan.
6. disediakan sarapan bubur, lontong sayur, susu kedelai, dan lain-lain  tiap minggu setelah shalat Subuh.
7. Disediakan 500 - 1000 nasi bungkus tiap selesai shalat  jumat dengan dana swadaya dari jamaah.
 8. Ada divisi usaha penyewaan kamar penginapan di lantai tiga masjid untuk membayar petugas kebersihan dan tambahan operasional masjid.
9. Tidak ada gaji untuk pengurus kecuali petugas kebersihan, karena bagi mereka, gaji itu dari Allah dan tidak ada maksimalnya, sementara gaji manusia ada minimumnya (UMR).
10. Ada infaq beras (kotak amal khusus beras) untuk disalurkan ke dhuafa', walaupun sekarang isi kotak infaq beras itu berubah jadi uang, karena jamaah malas membawa beras. Bantuan untuk dhuafa' ini diambil di masjid setelah shalat Subuh.

Ditempat kita, masih sering kita tenemukan ada masjid yang tidak buka 24 jam, pintu gerbangnya digembok,  kamar mandinya di gembok, dipintu kamar mandi malah ditulis “kamar mandi ini hanya boleh digunakan bagi yang shalat di masjid saja”, artinya kamar mandi yang seharusnya bisa dipakai oleh siapa saja yang kadang mendesak, tetap tidak bisa digunakan, masjid yang sejatinya rahmatan lil’alamin, oleh manusianya, dibuat menjadi tidak rahmatan lil’alamain, sangat berbeda dengan model masjid seperti contoh diatas.

Mungkin, susah sekali menemukan masjid yang seperti ini di Aceh, bahkan nyaris tidak ada. Jangankan mengumumkan saldo nol rupiah, untuk membangun masjid pun kita masih meminta-minta di jalan, di sepanjang jalan lintasan di Aceh, baik di lintasan pantai timur utara maupun lintasan barat selatan Aceh, bahkan kadang-kadang anak-anak, orang tua yang sepuh,  berdiri ditengah jalan di lintasan cepat karean jalan lintas provinsi. Pemandangan seperti ini, tentu sangat membahayakan tidak hanya bagi warga yang berdiri ditengah jalan tersebut tetapi juga membahayakan para pengguna jalan dan bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan.

Membangun rumah Allah tetapi masih dengan cara  meminta-minta di jalan, coba bayangkan, kalau kita ilustrasikan mislanya, ada warga, untuk membangun rumah Bupati, lalu mereka berdiri ditengah jalan, meminta uang kepada warga sebagai biaya untuk membangun rumah Bupati, maka jika itu diketahui oleh Bupati, maka Bupati tersebut akan sangat marah, karena telah mempermalukannya, karena dia punya banyak uang untuk membangun rumahnya.  Mungkin begitu juga ketika ingin membangun masjid, membangun rumah Allah,  tetapi dengan cara meminta-minta, Allah itu maha kaya, tetapi “kok membangun rumahNya dengan cara meminta-minta di Jalan”.

Kalau masjid tidak kalah saing dengan warkop, maka buatlah masjid itu menjadi menarik, bukan malah marah dengan warkop dan orang-orang yang duduk di warkop. Manusia-manusia yang duduk di warkop, mereka juga ada yang shalat ketika tiba waktunya. Bagi orang Aceh, warung kopi itu adalah penting, walau bukan segalanya, namun ada kalanya dunia beserta isinya ada di warung kopi, kalau diperjelas lagi, dunia dan segala isinya ada di meja warung kopi  dan kalau mau diperhalus lagi, dunia dan segala isinya ada dalam segelas kopi.

Di akhir dunia, kita semua beromba- lomba membangun masjid tanpa pernah tahu apakah Tuhan bersemayam, berdiam disitu atau tidak, apakah ada atau tidak ada sama sekali  cahaya Tuhan di masjid yang dibangun tersebut. namun di Aceh, masjid yang memenuhi semua kriteria masjid yang baik, masjid yang ada cahaya Allah, masjid yang benar-benar rahmatan lil'alamin pasti akan dibangun  dan ada yang akan membangunnya. Seorang pemikir pernah berkata : “lebih baik aku memakai sandal diluar nasjid tetapi aku ingat Tuhan, daripada ketika berada didalam masjid, aku teringat sandalku”.








Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :