Aceh Sebagai Donya


Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA

Ratusan tahun lalu, Diogene de Sinope , seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 412 SM, mengungkapkan  I am a citizen of the world” atau bahwa dirinya adalah seorang warga dunia. Selain Diogene, filsuf lainnya yang bicara tentang warga dunia adalah Socrates, yang mengungkapkan kalimat “ I am not Athenian but a citizen of the world”. Kemudian hadir kaum Stoic yang mengembangkan ide Diogene tentang kosmopolitanisme yaitu bahwa setiap manusia dimasukkan dalam dua komunitas, komunitas lokal dimana mereka lahir dan komunitas dunia, sehingga seluruh umat manusia adalah saudara, seluruh umat manusia dapat hidup harmonis sesuai dengan hukum negara, orang asing itu tidak ada, yang ada hanyalah manusia.

Arnold Toynbe dalam Mankind and Mother Earth: A Narative History of the World, sebuah buku yang memaparkan secara runtut tentang sejarah manusia dari zaman kuno hingga zaman yang dinamakan dengan “dominasi barat” menarasikan bahwa  pada ulang tahun ratu Victoria ke 60, inggris saat itu merefleksi 60 tahun perjalanan mereka, ternyata dari 1837 – 1937 (60 tahun), Barat telah menguasai hampir separuh dunia, dalam catatan ini, hanya afganistan dan Etiopia yang tidak jatuh kedalam cengkeraman Barat, yang lainnya tidak bisa berkutik, paling tidak, mereka harus membaratkan diri agar tetap bertahan.

Source : Google
Perjalanan selanjutnya adalah pengidentifikasian Aceh ini sebagai apa, apakah Aceh sebagai syariat atau Aceh sebagai hakikat. Jika Aceh sebagai syariat, kita sudah belajar banyak dan sudah melihat bagaimana perkembangan Aceh dalam 18 tahun terakhir. Syariat hanya menjadi komoditas politik, hanya menjadi komodifikasi, bagaimana dengan hakikat ?, Aceh punya sejarah memusuhi hakikat, sehingga kehidupan kita sebagai sebuah bangsa pun senantiasa selalu berada dalam pertentangan, selalu berada dalam kekisruhan, mewariskan ketidak stabilan, padahal hakikat adalah pengetahuan sesuatu diseberang fakta atau yang Hakikat adalah pisau anlisa kritis dengan pendekatan  intuisi. Ratusan tahun lalu, seorang Hamzah Fansuri menulis dalam sebuah syair panduan spiritualitas bagi orang Aceh, :

Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Bayt al-Ka’bah
Di Barus ke Qudus terlalu payah
Akhirnya didapat di dalam rumah

Sebagai Aceh, jika ada aktifitas yang kira-kira tidak bisa menjadi bekal untuk dibawa ke akhirat sebagai sesuatu yang sia-sia sebagai “Donya bandum”. Kalimat ini sederhana, namun juga memisahkan kita dari dua komunitas di atas, yaitu komunitas lokal sebagai warga Aceh dan sebagai warga dunia. Bicara sebagai warga dunia, adalah bicara kita sebagai manusia dan bicara agama adalah bicara hakikat yang mempertemukan manusia, bukan memisahkan manusia, namun diantara sesama kita sebaagi warga Aceh, kita juga masih sangat suka memisah-misahkan manusia. Jika sebagai syariat, maka kita tidak akan pernah menemukan apapun, bahwa semua yang tidak brbau agama adalah “donya bandum”, sedangkan dalam makna hakikat, jika tidak ada Tuhan disana, maka apapun yang engkau kerjakan adalah dunia, bukan akhirat, bukan ukhrawi, sekalipun engkau berada di dalam masjid, sekalipun engkau sedang mengaji, atau sekalipun engkau sedang berpuasa, jika tidak ada unsur Tuhan, jika tidak ada cahaya Tuhan disana maka itu adalah dunia, sekalipun semua yang dikerjakan itu berdimensi akhirat.

Aceh Sebagai Donya
Barangkali sebagai Aceh sudah terlalu lalai dengan syariat dan sudah terlalu lalai dengan agama, sehingga lupa ber Tuhan, sehingga lupa pada hakikat keberadaan Aceh sebagai Donya. Aceh sebagai Donya adalah Aceh sebagai bagian dari dunia dan sebagai pusat bagi dunia. Bisakah Aceh menjadi pusat bagi donya (dunia) ?, ini sebuah pertanyaan yang sangat ambisius dan terlalu cet langet, sejatinya Aceh pernah punya kesempatan itu, yaitu pelaksanaan syariat Islam yang telah berlansung kurang lebih 18 tahun, sejatinya, dengan implementasi syariat Islamnya, Aceh bisa memproduksi satu norma baru yang bisa dipakai oleh dunia, seperti dengan syariat Islam bisa menjaga sumber daya alam, dengan syariat Islam bisa menjamin dan memenuhi segala aspek kebebasan beragama, dengan syariat Islam bisa mewujdukan kesejahteraan, namun itu semua tidak terjadi dan kita tidak bisa berharap banyak lagi, selain Syariat Islam hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Kini, harapan satu-satunya bagi Aceh untuk bisa menjadi sebagai donya adalah kembali ke hakikat secara menyeluruh, kembali kepada spirit Hamzah Fansuri yaitu “Pergi Ke Ka’bah Mencari Tuhan, akhirnya di dapat didalam rumah”,  semuanya ada dirumah kita sendiri dalam makna hakikat spiritual, tidak ada di Arab atau di Mekkah.

Aceh sebagai donya, adalah juga Aceh sebagaimana dunia berkembang, dia tidak dilihat melalui peta nusantara yang hanya berada di ujung, tapi dilihat dari peta Asia Tenggara, peta eropa, yang letaknya tidak lagi di ujung. Aceh akan susah menjadi “sebagai Donya” jika masih “sebagai syariat” dan akan berpelung sebagai Donya jika “sebagai hakikat”. Manusia adalah komunikasi dunia, semua bicara bagaimana membentuk peradaban yang bisa menyatukan manusia.

Bisakah dengan syariat Aceh berkata “ I am Citizen of The World” ?,  jawabannya sangat sulit, karena manusia lain dilihat, di identifikasi dan dihargai berdasarkan identitas agama, keyakinan, bukan sebagai manusia yang sama-sama menghuni bumi, dan manusia lain juga dilihat dengan semangat etno nasionalisme yang sangat berlebihan, dunia seperti ini adalah dunia “fasis” yang sudah lama ditinggalkan manusia, namun kita terus menghidupkan ini.

Dalam hidup manusia ada yang namanya “unlimited belief”, sebuah bangsa yang maju adalah bangsa yang warganya punya unlimited belief, warga yang tidak membatasi untuk mengetahui apapun, termasuk mengetahui dunia sedang ke arah mana sekarang dan mengikuti segala perkembangan dunia sebagai manusia, bukan sebagai agama, bukan sebagai kepercayaan. Aceh sebagai donya adalah Aceh yang punya warganya yang tidak membatasi diri untuk mengetahui kebenaran dan tidak membatasi diri untuk tidak menjadi sebagai donya (dunia). Kebalikan dari unlimited belief adalah limited belief, membatasi kepercayaan, membatasi diri, bahwa itu adalah Barat, bahwa itu bukan budaya kita, bahwa itu bukan kebiasaan kita, kita punya kekhususan yang tidak bisa diganggu, padahal kita hidup sebagai manusia, tidak sebagai suku, tidak sebagai agama, tidak sebagai kepercayaan.

Aceh sebagai donya adalah, sebagaimana dunia, begitulah Aceh. Dia tidak diukur dari seberapa taat menjalankan agama, tetapi diukur dari seberapa taat menjaga martabat manusia dan membebaskan manusia dari segala kebodohan karena ketidak tahuannya.
Sulit sekali menjaga martabat manusia dengan syariat, namun sudah pasti sangat mudah menjaga martabat manusia dengan hakikat.












Next Post Previous Post
1 Comments
  • Ajay Group
    Ajay Group 14 Desember 2019 pukul 02.24

    That’s right brother.
    Aceh itu kita, kita yang mewakili Dunia..

Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :