Ketika Atheis Merindukan Tuhan


Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA
…1980, Moskow, Michael Gorbachev, menengadah ke angkasa Rusia, menyaksikan  pesawat-pesawat tempur Rusia bermanuver dalam berbagai formasi yang sangat mengagumkan , tiba-tiba, dua pesawat bertabrakan memecah kekaguman,… “Oh My God”,… Teriak Gorbachev.

Sumber : Google
Cerita diatas adalah sisi lain dari Atheisme. Ketika Insan-insan athesime merasa diri mereka sangat hebat, disisi lain, dalam benak dan rasio terdalam, mereka akan tertegun, bertanya, bergumam dalam hati, bahwa ada yang lebih hebat, ada yang lebih berkuasa, ada sebuah kekuatan yang mengendalikan alam ini diluar kemampuan mereka sebagai manusia yang mereka anggap super power, super man seperti yang ternarasikan dalam Sabda Zaratustranya Friedrich Nietze. Inilah yang dialami oleh Michael Gorbachev, atheis tulen, punggawa Benua Merah Uni Soviet, yang juga bisa merefresentasikan kondisi psikologis umat Atheis lainnya.

Seiring perjalanan waktu, Tak bisa dipungkiri memang, naluri religiusitas (hasrat untuk beragama atau lebih tepatnya disebut naluri untuk ber “Tuhan”) adalah fitrahnya manusia, sesuatu yang alamiah dan natural. Manusia menurut fitrahnya adalah makhluk agama. Sifat itu berpangkal dari naluri alamiahnya untuk menyembah atau mengabdi kepada suatu objek atau wujud yang dipandangnya lebih tinggi dari manusia itu sendiri. Bagi Atheis, semua kehidupan adalah energi, dia punya mekanisme dan jalannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Namun, diskursus yang muncul kemudian adalah, bagaimana wujud Tuhan itu sebenarnya sebagai objek yang di sembah, ini adalah sebuah konsep yang masih sangat gelap. 

Banyak perdebatan, pro dan kontra mengenai objek Tuhan ini, yang merupakan objek maha penting dalam kehidupan ibadah dan penghambaan kita. Ada yang mengatakan Tuhan itu hanya bisa dilihat di akhirat saja, sedang di dunia tidak bisa dilihat, ada yang mengatakan tidak bisa sama sekali melihat Tuhan didunia maupun di akhirat. Namun, ditengah-tengah wacana tersebut, ternyata ada insan-insan yang telah merasakan nikmatnya penghambaan, nikmatnya ibadah karena dia telah melihat Tuhan lansung dengan mata, menetap di qalbu dan bersemayam dirasionalitasnya, setelah qalbu melihat, rasionalitasnya juga turut menghambakan diri, betapa nikmatnya, bagaimana tidak nikmat, ditengah perdebatan yang tak pernah habis dan tak jelas pangkal ujungnya dan terkesan menghabiskan banyak energi sia-sia (karena hanya berdebat) dan tak pernah bisa dibuktikan, kaum sufi telah lansung membuktikan tanpa banyak teori bagimana nikmatnya berjumpa Tuhan. 

Fenomena ini tidak berarti bahwa kaum sufi tidak paham teori-teori ketuhanan, tapi mereka telah melangkah melampaui itu, dengan lansung membuktikan teori-teori ketuhanan tersebut. Ibarat kata Karl Marx : “para filosof banyak berjalan dengan kepala terbalik, karena teori-teori  filsafat mereka tak pernah bisa dipraksiskan”. Lalu Karl Marx membuktikan teori dia dengan meramu Materialisme Dialektika yang  melahirkan teori-teori Revolusi yang memang lansung bisa dibuktikan, walau kemudian runtuh, karena Ruh semestanya tidak ada. Demikian juga kiranya dengan filosof, teolog dan faqih kita, banyak sekali yang berjalan dengan kepala terbalik, kenapa ?. karena mereka tidak pernah bisa membuktikan teori-teori ketuhanan mereka. Tokoh-tokoh ini selalu bereksperimen dengan kacamata kuda, selalu mennggunakan dalil-dalil syari’at an sich untuk membuktikan dalil mereka, padahal kalau mereka lepaskan kacamata kuda mereka, ada jalan yang lebih sejuk, lebih damai, lebih akomodatif dan mencerahkan pasca syari’at, yaitu Thariqat, Hakikat dan Ma’rifat.

Kembali kepersaoaln atheisme tadi. Lalu dimana letak persamaan dan perbedaan antara umat Islam saat ini dengan Atheisme ?. mungkin ini pertanyaan yang dianggap mengada-ada dan bodoh. Tapi mari kita renungkan ! atheisme adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, semua terjadi secara alamiah, tidak ada campur tangan Tuhan, Tuhan tidak ada, dimana Tuhan ?, bagaimana rupa dan wajah Tuhan ?. tidak ada, jadi untuk apa mempercayai sesuatu yang tidak ada. Sedangkan umat Islam diluar kaum Sufi (mayoritas), selalu menyembah, dan selalu menghambakan diri pada objek yang selamanya gaib (x), dan mereka memang selalu mengaku bertuhan, beragama, tetapi Tuhan tak pernah bisa dijumpai, tak pernah bisa dilihat wujudnya, hanya bisa dirasakan seperti angin, bagaimana kalo angin yang dirasakan itu angin topan, tornado, badai kathrina, berarti Tuhan itu kejam dan ganas !. golongan ini selalu pasrah dan tak berani bertanya tentang esensi ketuahanan, karena takut dicap kafir, sesat dan murtad, sangat miris dan sangat disayangkan.

Hakikat Islam, seperti dikatakan oleh Nurcholis Madjid adalah”kepasrahan total dan penghambaan total kepada Allah SWT”,  ini adalah esensi yang penting untuk dibedah. Tidakkah timbul pertanyaan kalau hakikat Islam seperti ini, lantas bagaimana menghambakan diri, memasrahkan diri pada sesuatu yang tidak dikenal, tidak bisa ditemui, pada sesuatu yang tidak ada wujudnya ?. disnilah letak dan peran kaum Sufi untuk mempraksiskan penghambaan dan kepasrahan total itu seperti apa, dengan powerfull, cinta dan pengabdian. Kenapa ini bisa dilakukan dengan powerfull, karena kaum sufi punya banyak sekali pendekatan, baik pendekatan-pendekatan ilmiah maupun metafisis, mental sufi bukanlah mental block, sehingga bisa mencerap banyak sekali pengetahuan.

Ternyata selama ini mayoritas muslim bermental block¸ padahal banyak sekali pencerahan, tuntunan hidup, kebaikan hubungan antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam dalam ajaran tasawuf, tetapi karena mentalnya mental block, mereka lansung membendung teori-teori sufi yang sebenarnya sangat spektakuler, dengan narsisme syari’at nya yang tinggi menjulang, melebihi menara Namruz dan melebihi Arasy Tuhan. Misal, berbicara konsep ke Walian dan konsep ke Mursyid, mayoritas berdalil, karena di Syari’at tidak membahas itu, maka itu tidak bisa diterima atau dicerna, padahal dalam tradisi ilmiah, ini sesautu yang menarik, menggairahkan untuk dibahas, dibedah, bahkan dibuktikan. Ada pendekatan lain untuk membahas ini, dan ini sangat-sangat ilmiah, yaitu pendekatan tasawuf (yang jelas kelasnya diatas Syari’at), inilah yang dilakukan oleh Annemarie Schimmel misalkan, Martin Van Bruinessen, dan lainnya. Mereka membedah dengan pendekatan ilmiah, ketika Umat Islam Mayoritas enggan mengupasnya karena bermental gurun pasir, berkacamata kuda dan kesombongan narsisme syari’atnya mirip punuk unta, disitu-situ saja, dari gurun pasir satu ke gurun pasir lainnya, dari satu oase ke oase lainnya, padahal ada sungai yang lebih besar, ada air terjun yang indah dan besar diluar sana.

Dan, Ketika  sang Atheis  merindukan Tuhan,… mayoritas umat Islam secara tidak sadar telah menjauhkan diri mereka dari Tuhan, karena terlalu taklid pada sejarah Bani Umayyah, sejarah Kegemilangan Turki Usmani, yang belum tentu benar konsep keagamaan yang mereka formulasikan, bukan bersandar pada esensi Sabda Rasululah : “Syari’at itu perkataanku, Thariqat itu amalanku, Hakikat itu pendirianku dan ma’rifat itu tujuanku”.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :