Kritik Akal Islam untuk Syariat Islam Aceh
Oleh : Teuku Muhammad
Jafar , MA
Penerapan Syari’at Islam di Aceh adalah arena yang tidak
pernah habis untuk dibahas, disikusikan bahkan diperdebatkan. Usia Penerapannya telah berumur kurang lebih 16 tahun,
dimulai pada 3 Maret 20o3 bertepatan dengan peringatan Tahun Baru Islam 1
Muharram 1424 Hijriyah, bertempat di
lapagan Blang Padang, pemerintah memulai pemberlakuan Syariat Islam di Aceh.
Sebelumnya, 25 Januari 2002, Dinas Syariat Islam Aceh juga lahir bertepatan
dengan pelantikan para pimpinan Dinas Syariat Islam Aceh oleh Ir. Abdullah
Puteh (Gubernur saat itu) di ruang serba guna kantor Gubernur Aceh. Sebagai
sebuah komunitas, umat Islam memiliki keyakinan bahwa mereka adalah umat
terbaik (khair al-ummah), akan tetapi, pada saat bersamaan umat Islam sedang
berada dalam posisi tidak berdaya menghadapi apa saja yang datang dari pihak
lain yang oleh sebagian besar di antara mereka dianggap sebagai musuh yang
tidak boleh didekati, bahkan justru harus diperangi dan disingkir kan.
Mengambil begitu saja apa yang datang dari mereka akan berakibat lenyapnya jati
diri yang sudah mengakar. Akan tetapi, tetap mempertahankan diri dengan
bersikap eksklusif juga akan berakibat pada munculnya proses alienasi diri dari
kehidupan. Jika demikian masalahnya, lantas bagimana umat Islam harus bersikap
terhadap teks dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan juga terhadap
tradisi Islam, serta bagimana juga umat Islam harus mengambil posisi dalam
kancah pertarungan ideologi, politik, pemikiran, dan kebudaya-an modern saat
ini?, terkait Aceh, dimanakah posisi syariat Islam Aceh dalam hal ini ?
Soure : IDEas |
Pertanyaan sangat sederhana yang
patut di ajukan sebelum kita membahas tema diatas adalah apakah dengan syariat Islamnya Aceh
membutuhkan sebuah masa depan yang gemilang di Aceh ?., masa depan ini akan
hadir dengan menghargai kebebasan berfikir yang bisa mendiskusikan apapun
secara bebas, memperdebatkan apapun secara leluasa, yang bertujuan memberi
bermanfaat bagi kemaslahatan rakyat Aceh, semua agama, semua budaya, semua ras.
Kebebasan berfikir adalah modal utama bagi majunya sebuah peradaban dan ini
harus ada dalam syariat Islam Aceh, kalau ini tidak ada berarti kita telah
mewariskan dosa peradaban untuk generasi kedepan, salah satunya adalah kritik
akal Islam dalam penerapan syariat Islam Aceh.
Kritik Akal Islam
Mohammed Arkoun, adalah salah
satu pemikir Islam yang konsern berbicara tentang kritik akal Islam yang dapat
digolongkan sebagai pemikir Islam kontemporer yang “reformistik’ dan juga “
Dekonsktruktif” , Arkoun masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan
tuntutan modernitas. Arkoun membagi tradisi ini kedalam dua bagian, (1) Tradisi
dengan T besar adalah tradisi transcendental, yang abadi dan tak berubah , (2)
tradisi dengan t kecil yaitu produk ejarah dan budaya manusia baik yang
merupakan warisan turun temurun atau penafsiran atas wahyu Tuhan melalui
teks-teks suci, bagi Arkoun model kedualah yang daapt di uji secara kritisisme.
Kritik Nalar Islam untuk Syariat Islam
Aceh bisa menggunakan pendekatan seperti yang
diperkenalkan oleh Muhammad Arkoun ini, dengan memakai metode
strukturalisme yang mencoba menerapkan beberapa konsep pasca-modernisme ke
dalam pemikiran Islam. Salah satu bukunya yang terkenal adalah Pour unecritique de la raison islamique
(Menuju Kritik Akal Islam). menjelaskan terma-terma :
1.yang terpikirkan” (thinkable).
2.yang tak terpikirkan”
(unthinkable), dan
3. yang belum terpikirkan” (not
yet thought).
Maksud dari “yang terpikirkan”
adalah hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya, Sedangkan maksud “yang tak
terpikirkan” (unthinkable)dan “yang belum terpikirkan” (not yet thought) adalah
hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dan tidak saling keterikatan antara
ajaran agama dengan praktek kehidupan sehari-hari, jadi sesuatu bentuk yang
memungkinkan untuk dipisahkan. Strategi
penggunaan dekonstruksi, menurut Arkoun, mempunyai makna sangat besar. Hal yang
paling utama adalah dekonstruksi dalam medan “citra sosial” (social
imaginaire). Citra sosial adalah kumpulan nilai, norma, tujuan keyakinan dan
justifikasi masyarakat terhadap satu mekanisme yang berlaku dalam satu sistem
tradisi, disinilah letak menariknya syariat Islam model Aceh nantinya jika
memakai kerangka ini yaitu memisahkan mana yang transendental dan mana produk
sejarah dan budaya manusia.
Source : Google |
Salah satu syarat utama untuk
terwujudnya Islam Aceh dipanggung modern yang memenuhi kualifikasi ini adalah
dekonstruksi terhadap dogmatisme dan ortodoksisme dalam tubuh umat Islam di
Aceh. Selama sistem berpikir tersebut masih terus dibiarkan hidup, umat Islam
di Aceh akan terus hidup dalam atmosfir abad pertengahan yang sudah tidak sehat
dan ketinggalan jaman. Sekali lagi, dekonstruksi berupaya untuk membongkar
mitos pemikiran (ijtihad) yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat
sekarang. Dengan demikian, tujuan utama dekonstruksi adalah membebaskan
pemikiran dari segala macam citra dan gambaran yang sempit, karena tidak
mungkin bagi akal Islam, berpikir jernih selama citra-citra semacam ini melekat
dalam akal mereka. semua teologisme Islam-termasuk semua epistemologi seperti
fiqh, tafsir, ilmu kalam, aqidah dan sebagainya-diperlukan sikap kritis. Karena
bagaimana-pun, semuanya, adalah ciptaan manusia juga, dan kita berhak
meletakkan di atas meja kritisisme, jadi apa alasannya untuk menginginkan menjadikan
sebuah mazhab atau paham tertentu menjadi mazhab resmi dan tunggal di Aceh ?.
Islam Aceh kedepan adalah Islam
yang mengedepankan aspek legalitas yang memberikan rasa keadilan dalam
persoalan ekonomi dan pendapatan, bukan mengedepankan aspek-aspek moral dan
aqidah yang justru akan berpengaruh pada menurunnya tingkat pendapan ekonomi
masyarakat. Harus ada praktek-praktek “top down”, bukannya “down top”, misal
mengapa hanya Wilayatul Hisbah yang dibentuk yang nota benenya hanya mengurus
moral saja dan sasarannya pasti rakyat biasa padahal dalam khazanah literatur
Islam juga mengenal yang namanya Wilayah Mazalim, yaitu sebuah lembaga yang
dibentuk khusus untuk mengontrol dan mengawasi perilaku dan tingkah polah para
penguasa, pendapatan mereka, apakah mereka melakukan praktek KKN atau tidak,
bagaimana prosedur mereka memperoleh kekayaannya, berapa perusahaan/bisnis yang
mereka punya dan bagaimana keterlibatan keluarga mereka dalam kaitannya dengan
masa kekuasaan mereka, dan sebagainya.
Islam Aceh kedepan adalah Islam
yang muncul dengan tafsiran-tafsiran baru, yang juga menggunakan pendekatan
teori-teori sosial kritis, filsafat kritis dan lebih Human Based bukan hanya berorientasi semata-mata hanya pada hukum
Tuhan saja. Karena Syari’at bukanlah sebuah paket lengkap yang telah selesai
dan sudah jadi dan dapat menyelesaikan segala permasalahan umat manusia, tapi
adalah sebuah proses yang berlansung terus menerus yang disesuaikan dengan
konteks zaman.
Islam bukanlah sesuatu yang dapat
dijelaskan secara final dan konklusif, apalagi syari’at yang dalam bahasa
Abdullahi Ahmed Anna’im adalah kreasi manusia. “sesungguhnya agama disisi Alah
adalah Islam (Q. 3:19), dalam ayat yang sering sekali menajadi rujukan ini,
penafsiran yang berbeda dari yang sering kita dengar secara umum adalah adalah
bahwa “ Agama yang benar disisi Allah “ adalah keabadian” yang mengatasi ruang
dan waktu”. Berkembangnya Islam oleh al-Qur’an diartikan sebagai perjalanan
kemasa depan dalam keabadian Allah, jadi tidak akan pernah secara utuh dan
penuh dapat di simpulkan, jadi Islam adalah sebuah perjalanan keabadian yang
terus berproses sesuai dengan ruang dan waktu.
Poin-poin yang penulis paparkan
diatas baru secuil saja, tetapi kerangka besarnya adalah bahwa untuk mewujudkan
Islam model diatas diperlukan adanya revolusi berfikir, revolusi tindakan dan
revolusi ilmiah, dan diperlukan metode ‘dekonstruksi’ dan kritik akal Islam.
Dekonstruksi digunakan untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun
bentuk kesimpulan yang baku. dekonstruksi dapat dipakai sebagai upaya
menyingkap beberapa dimensi tradisi Islam di Aceh yang masih tersembunyi atau
yang sudah dicemari unsur-unsur luar, baik budaya, seni, maupun unsur lainnya
yang mempunyai peran negatif bagi ummat.
Terakhir, memiliki pendapat,
meyakini dan menyebarkannya tidak ada larangan dalam Islam, yang diharamkan
adalah menjadikan perbedaan pendapat itu sebagai biang perpecahan dan untuk
mengklaim (justifikasi) bahwa pendapat kita adalah satu-satunya yang benar dan
yang lain salah, kafir dan sesat. Kalimat yang harus selalu kita kumandangkan
selaku seorang muslim adalah : “ Aku akan mempertahankan pendapatku
mati-matian. Tetapi aku pun akan mempertahankan hak anda untuk mengemukakan pendapat
anda mati-matian pula”