Manusia dan Tuhan yang Asing
Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA
Manusia adalah makhluk paling
membingungkan di semesta. Mereka ada di satu negara yang sama, mereka
mengatakan sama-sama mencintai negaranya, dan marah jika negaranya dilecehkan, tetapi disaat bersamaan mereka akan saling
membenci dan berperang diantara sesama hanya karena merebut kekuasaan, dan itu
akan dibawa sampai mati, lalu mereka mencintai apa ?. Di arena lainnya, ketika pagi hari, kita
mendengar seorang pengkhotbah memberi petuah tentang pentingnya keharmonisa
hidup, namun disore hari, dia sendiri yang menghancurkan keharmonisan tersebut.
Ketika manusia berkuasa, dia sama sekali tidak kenal Tuhan, bahkan manusia
lainpun tidak dikenalnya kecuali dia dan kelompoknya sendiri, lalu ketika
manusia ditangkap karena korupsi, manusia akan berkata, “ saya sedang di uji oleh Tuhan,
saya harus hadapi semua ini, saya pertaruhkan jabatan saya untuk rakyat,
sekalipun ditangkap”, siapakah manusia itu sebenarnya ?.
Ketika manusia sama-sama berada
ditepi jurang yang licin dan terjal, manusia berada pada pilihan, mengajak
manusia menjauh dari jurang agar tidak jatuh atau malah mendorong manusia lainnya agar jatuh, dengan tujuan “ada
hiburan”. Bagi Faucault, dengan
politik manusia akan bisa “membinatangi” manusia lainnya ketika dia tidak punya
kebijaksanaan. Bagi saya, dengan agama, manusia akan “membodohi dan menyiksa”
manusia lainnya ketika dia tidak punya “kemurnian”.
Kelompok Milesian mendasarkan
filsafat mereka pada pengamatan atas fenomena seperti air dan udara. Tetapi,
Parmenides adalah filosof Milenian yang tidak mempercayai bukti Indrawi.
Parminides secara sangat konsisten bersandar pada argumen rasional semata. Dia
mengembangkan kebiasaan pemikiran "tingkat kedua", yang
merefleksikan proses pemikiran itu sendiri.
Seperti orang bijak lainnya,
Parmenides telah tiba pada kesadaran kritis yang baru tentang kesadaran
keterbatasan pengetahuan manusia. Parmenides telah memulai pencarian filosofis
tentang "eksistensi murni".
daripada memikirkan makhluk secara satu per satu, dia lebih mencoba untuk
memahami wujud prototipikal.Dalam prosesnya, dia menciptakan sebuah dunia yang
mustahil untuk ditinggali.
Sumber : Google |
Pertanyaan penting dari Parmenides adalah "mengapa manusia mau melakukan suatu tindakan jika perubahan dan pergerakan hanyalah ilusi" ?. Bagaimana kita mesti menilai perubahan fisik yang kita perhatikan terjadi di dalam diri kita sendiri ?, apakah manusia sebenarnya hanya ilusi ?. Dengan pertanyannya, Parmenides telah melepaskan kosmos dari segala sifat-sifatnya, sekaligus mencerabut jantungnya.
Manusia merespon dunia bukan
semata-mata dengan "logos", manusia adalah juga makhluk emosional,
dengan kehidupan bawah sadar yang kompleks. Dengan mengabaikan ini dan
mengembangkan kekuatan rasional semata, Parmenides menemukan kehampaan ,
"tidak ada yang perlu dipikirkan". Lama kelamaan, ketika para filsuf
makin bersandar pada refleksi logika, dunia menjadi asing dan tidak dikenali
dan manusia menjadi asing dengan dirinya sendiri bahkan asing bagi manusia
lainnya.
Manusia akan semakin asing ketika dia terus larut dalam ketidak murnian. Manusia
terus tercerabut dari akar kemurniannya dan terus hidup dalam dongeng-dongeng
yang dia tidak pernah hidup pada masa itu. Diakhir tahun ini, manusia itu akan
semakin asing dan sok tahu, sok tahu tentang perkara moral dan akidah, bahwa
merayakan tahun baru adalah asing, padahal dia sendiripun asing bagi Tuhan yang
dia bela. Manusia hidup untuk dirinya, untuk alam dan untuk manusia lainnya,
lantas mengapa berani sekali mereka yang asing ini untuk membodohi manusia
lainnya ?.
Manusia harus segera kembali kepada
yang murni, karena manusia yang hidup sekarang adalah manusia yang sudah di
intervensi. Ketika kita ingin mendefinisikan manusia, siapakah manusia itu ?,
maka ilmu kedokteran akan mengatakan manusia seperti ini, ilmu anatomi akan
mengatakan manusia seperti ini, ilmu sosiologi, antropologi, ekonomi, akan
mengatakan manusia seperti ini, lalu yang manakah manusia yang murni, yang
tanpa intervensi ?. Tanpa kembali, maka manusia selalu akan hidup dalam
intervensi, tidak hidup dalam kemurniaan.
Dalam dunia Sufi, sering kita dengar “
barang siapa kenal dirinya, maka dia kenal Tuhannya”. Diri yang dimaksud disini adalah kenal diri
yang murni, bukan diri manusia yang hidup, berjalan, makan dan yang ada
sekarang yang sudah hidup dalam beragam intervensi. Diri yang murni adalah diri dari asali, diri
Ilahi, artinya tidak didapat jika tidak mengenal Tuhan. Jika menemukan
kemurnian, maka manusia dan Tuhan tidak ada keterpisahan, jika tidak menemukan
kemurnian tetapi terus dalam rekayasa, maka manusia dan Tuhan selalu terpisah,
manusia dengan kemanusiaannya sendiri dan Tuhan pun sendiri, artinya, apa yang
dilakukan manusia sama sekali tidak ada hubungannya dengan Tuhan, sekalipun itu
adalah ibadah atau apapun lainnya.
Manusia yang kenal diri murni, kenal kemurnian,
maka dia akan kembali asing. Sehingga
Jika bicara kepercayaan, maka yang
murni itu adalah yang asing. Karena kepercayan mainstream sudah terkontaminasi
dengan berbagai rekayasa, imajinasi yang diciptakan, karena tidka tahu yang
mana yang murni. Akhirnya yang murni itu adalah yang asing. “Islam awalnya
adalah asing dan akhirnya juga asing. Berbahagialah orang-orang yang dikatakan
asing”.