Selamat Jalan Ayah ; Tentang Sebuah Filsafat Kematian
Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA
Seandainya manusia abadi, maka agama tidak akan
ada. Tetapi karena manusia tidak abadi, maka agama hadir dan mengabarkan bahwa
manusia akan mati dan harus mempersiapkan segala bekalnya jika tidak ingin
kekal dineraka. Dengan mati, manusia dibuat takut, sehingga dia bisa didoktrin
untuk memilih mati sebagai jihadis (mati syahid), padahal dia sama sekali tidak
pernah menyaksikan apapun tentang Tuhan, melainkan hanya menyaksikan bayang
imajiner saja, sesuatu yang tidak pasti (spekulatif) bahkan tentang surga
sekalipun, akhirnya dia mati sia-sia, mati karena di doktrin, bukan mati karena
diinginkan Tuhan.
Source : Google |
Pada level biasa, maut selalu mengintip manusia
dan selalu mengikuti manusia, tanpa diundangpun dia akan selalu mengintai,
apalagi jika diundang. Seorang anak manusia yang ngebut dan ugal-ugalan dijalanan
diatas kecepatan normal, maka dia telah mengundang maut untuk datang. Namun
pada level tertentu, maut tidak pernah berani mengintip, mengintai ataupun
mengikuti, dia hanya menunggu dan datang hanya ketika diundang, pada tahap ini,
kematian adalah persoalan negosiasi. Sayyidina Ali pernah berkata "Aku
tidak tahu lagi, apakah aku yang menjemput kematian atau kematian yang
menjemput aku,". Karena itu, pilihannya adalah ketika didunia,
pastikanlah semuanya terlebih dahulu, pastikan akan mendapatkan surga diakhirat
nanti, baru kemudian berangkat dengan tenang, jangan berspekulasi, karena mati
itu "one
way" , bukan "Pulang Pergi (PP)", tidak
akan pernah bisa kembali supaya jangan sampai menyesal dikemudian hari.
Manusia juga jangan terlalu bangga ketika
berkata bahwa "kematian memisahkan hidup kita didunia saja, namun kekal
abadi diakhirat", dunia mana yang dimaksud ?, apakah dunia yang kita
jalani ini adalah dunia yang sebenarnya, dunia yang real, mengapa begitu yakin
?, jangan - jangan kita yang hidup sekarang, hanyalah mimpi dari kita yang
sebenarnya yang sedang tidur disana dan kematian mengembalikan kita kepada diri
kita sebenarnya yang sedang tidur disana, lalu kematian menyebabkan kita
kembali kediri kita yang sebenarnya, lalu diri kita yang sebenarnya itu bangun
dan hidup kekal.
Bagi kebanyakan manusia, hidup dan mati adalah
misteri, dia tidak bisa memilih cara dan tempat untuk mati, karena hidup adalah
perjalanan, bukan pilihan. Sebagian manusia tidak akan pernah tahu dimana dia
akan meninggal dan dimana jasadnya dimakamkan. Ketika dia lahir dan besar di
kota A, namun ketika dikebumikan, dia akan berada di kota D, tidak ditempat
kelahirannya, mati bukanlah cara memilih untuk mati dan cara memilih tempat
untuk disemayamkan, karena manusia adalah "ada yang menuju kematian".
Bagi Martin Heidegger, kematian adalah tujuan
manusia, tetapi kematian disini bukanlah kematian biasa, tetapi kematian yang
bermartabat (Sein Zum Tod). Kematian
bermatabat (Sein zum Tod), yang
dimaksudkan Heidegger disini bukanlah sembarang kematian, tetapi mati yang
bermartabat (würdevoller Tod).
Artinya, kematian sebagai pengorbanan untuk orang lain. Mati demi orang lain.
Bagi Heidegger, tak ada yang lebih sempurna dari ini. Dalam konstruksi
pemikiran Heidegger ini, kita bisa pahami, bahwa konstruksi kematian yang
dibangun Heidegger adalah demi Nazi, mati demi Nazi dan mati demi Nazi adalah
mati yang terhormat, bahwa menjadi Nazi adalah menjadi manusia yang siap menuju
kematian. Kematian ini adalah bukan kematian dalam agama, tetapi kematian yang di
konstruksikan oleh Filsafat.
Kematian tidak pernah menghentikan waktu dan
tidak pernah menghentikan hidup, tetapi hanya memutus sementara kebersamaan
untuk hidup. Kematian juga tidak merenggut apapun bagi yang hidup, karena itu
hanya persoalan fisik dan ruh. Kematian juga bukan tentang cara memilih untuk
mati atau cara memilih tempat untuk mati, juga bukan perkara muda dan renta,
sehat atau sakit, tetapi perkara bahwa manusia adalah "ada menuju
kematian".
Selamat Jalan Ayah
Seorang Ayah adalah "amorfati",
yang memikul beban yang sangat berat, sekalipun tidak sanggup dipikulnya,
tetapi tetap harus dipikul karena Cinta dan tanggung jawab. Menjadi seorang
ayah adalah menjalani hidup tidak lagi untuk dirinya lagi, melainkan hidup
untuk anak-anaknya. Dalam 80 tahun usiamu, engkau telah menjalani hidup untuk
anak-anakmu dan itu tidak mungkin bisa tergantikan dengan apapun, sekalipun
hidup bisa diulang sekali lagi.
Saat ini, usai sudah kebersamaan kita didunia
yang harus terus dijalani ini, namun tidak pernah usai pada kenangan dan
ingatan. Ingatan tentangmu adalah cinta, keteguhan dan pengetahuan. Dan
kenangan tentangmu adalah laut, kebun dan segala perjalanan, mulai dari aku
belum mengenal dunia sampai aku tidak tahu lagi apa itu dunia. Ketika terakhir
kali aku memegang tanganmu sebelum engkau pergi, aku kembali mengingat tangan
yang dulu perkasa dan sekarang melemah adalah tangan yang pertama sekali
menyentuhku ketika aku lahir dan tangan yang terakhir sekali menyentuhku
sebelum engkau pergi.
Aku ingat, suatu hari, saat itu hanya kita
berdua, dengan buku bacaan ditanganmu, didepan jendela dan memandang matahari,
engkau berkata kepadaku :"hidup itu
bukanlah apa yang didapat, tetapi apa yang dicari, carilah terus apapun,
mencari kebenaran, mencari hikmah, sampai bertemu, sehingga tidak perlu mencari
lagi, ketika sampai disitu maka itulah yang hakiki dari apa yang didapat,
setelah itu kamu akan mendapatkan apapun" , dan kini, atas segal
doamu, aku telah menemukan apa yang telah engkau inginkan itu Ayah.
Ayah, Kematian tidak pernah memisahkan, tetapi
menyatukan, menyatukan antara yang hidup, dan menyatukan semua bangunan
kenangan yang tercerai berai dsn menyatu dipusaramu. Memang setelah semua
selesai, maka semua akan sunyi, sepi, dan kembali berpisah, begitulah hidup,
ada yang datang dan ada yang pergi, namun, yang selalu datang dan tidak pernah
pergi adalah segala kenangan tentangmu.
Selamat jalan Ayah, damailah disana, aku akan memangilmu ketika aku rindu dan kita bercerita tentang cengkeh yang telah berbunga dan tentang hikmah yang tidak pernah usai.
Selamat jalan Ayah, damailah disana, aku akan memangilmu ketika aku rindu dan kita bercerita tentang cengkeh yang telah berbunga dan tentang hikmah yang tidak pernah usai.
Selamat jalan Ayah, nanti kita bertemu disana..
Lampreh, Montasik, 25 Desember 2019 : 07: 51