“ Selamat Merayakan Natal di Negeri yang belum selesai Wahai sahabat”
Oleh : Teuku Muhammad Jafar, MA
Diantara semua persoalan kebangsaan
dan diantara semua cobaan menjadi manusia di Indonesia, maka menjadi “yang
sedikit” adalah cobaan terberat diantara semua cobaan lainnya. Bayangkan,
masih sebagai warga negara Indonesia, diakui secara konstitusi, punya hak dan
kewajiban yang sama sebagai warga negara, tetapi selalu terjajah bahkan di usia
kemerdekaan bangsa yang sudah diangka 74 tahun dan yang lebih menyakitkan lagi,
puluhan tahun, kekuasaan hanya diam dan tidak berbuat apa-apa, bahkan kekuasaan
lokal juga turut menjajah kemerdekaan beragama. Sebagai sebuah bangsa yang
besar, kita selalu menjadi bodoh, mundur dan terbelakang justru disetiap akhir
tahun, ketika bangsa dan dunia lain menjadi maju seiring detik pergantian tahun,
kita justru menjadi menjadi “jahil” diakhir tahun, mulai dari “memproblematisasi”
ucapan selamat natal, membatasi, melarang perayaan natal.
Source : joss Co.Id |
Problem kebangsaa kita tersebut,
tidak pernah hadir begitu saja dari ruang hampa dan ruang kosong, tetapi hadir
dan hinggap kemudian beranak pinak justru dari berbagai pembiaran-pembiaran
yang dilakukan kekuasaan sehingga berbagai akal, pikiran dan tingkah polah abad
pertengahan tersebut tumbuh sumur dan menjamur diberbagai lini kehidupan manusia
di Indonesia. Penyebab lainnya adalah tingkat pengetahuan keagamaan warga
negara yang berada di level paling nadir, banyak warga negara lansung takut
dengan berbagai ayat dan hadits yang di khotbahkan terutama dalam hal relasi
antar agama, sehingga kaum terpelajarpun, bahkan yang IQ nya hampir menyamai
Einstein lansung takluk dan tunduk pada manusia yang berkhotbah dengan bahan
dari google. Kaum ini, dengan segala kepongahannya, justru menzalimi Tuhan yang
Maha Perkasa ketimbang mengagungkannya.
Hubungan antar manusia di Indonesia menjadi
bermasalah dan memuncak justru paska reformasi, banyak ruang-ruang kosong
berhasil diambil alih oleh gerakan intoleran, ketika gerakan reformis
menuntaskan berbagai agendanya. Pertarungan tersebut justru sebaginnya
dimanfaatkan oleh rezim-rezim lokal untuk memperkuat posisi politiknya untuk
berafiliasi dengan berbagai gerakan intoleran, yang kemudian kita kenal dengan “kutukan
otda”. Dan sekarang, fenomena jahiliyah seperti itu justru dipraktekkan tepat
dijantung kekuasaan Indonesia, dipusat ibukota, mau bagaimana lagi ?.
Sejak SMP, saya sudah terbiasa
mengucapkan selamat natal kepada teman-teman saya yang beragama Kristen,
beberapa Guru di SMP 2 Sabang, tempat saya bersekolah, juga beragama Kristen
dan saya sering mengucapkan selmat natal keada guru-guru saya tersebut. Bahkan
saya juga terbiasa berkunjung kerumah teman saya ketika hari natal, demikian
juga dengan teman saya yang Kristen, berkunjung kerumah saya ketika hari raya
puasa dan hari raya haji. Kami menjadi anak manusia yang berbahagia yang tidak
disekat dan dipisah oleh perbedaan agama sekalipun. Kebahagiaan sebagai anak
manusia ini, justru bermasalah untuk belasan tahun kemudian. Sejatinya, sebagai
sesama manusia, sebangsa , setanah air, kita tidak pernah terganggu dengan
perkara-perkara itu, namun kemudian datang para manusia yang berlebih-lebihan
dalam beragama, kemudian mereka benar-benar memenjara kita.
Karena tingkah segelintir kaum ini, sebanyak-banyaknya
manusia Indonesia segera menjadi manusia yang terbelakang baik mental maupun
pikiran, segera menjadi manusia-manusia yang takut dan diam menikmai segala kebodohan
yang dipraktekkan. Kita tidak pernah tahu sampai kapan segala polemik ini akan
terus terjadi, apalagi disetiap akhir tahun, karena kekuasan sekalipun tidak
pernah memberikan jaminan dan kepastian. Setiap akhir tahun, kita selalu
terpolarisasi dan terjebak untuk terus menyakiti hati dan perasaan umat Kristen
dan Katholik, mulai dari ucapan selamat natal, atribut natal, membatasi dan melarang
perayaan natal.
Kadang, pada tahap yang paling pilu
sebagai manusia, kita bertanya "kok masih ada manusia yang seperti itu,
yang dia hidup dan mati sebagai manusia, tidak sebagai binatang, tetapi tega
dan sampai hati melarang manusia-manusia lain untuk merayakan
natal". manusia-manusia seperti ini adalah manusia yang tidak lagi melihat
dengan mata, tidak lagi berbicara dengan mulut, bahkan tidak lagi merasa
dengan hati, tetapi semua dengan "amarah", hanya melihat amarah terhadap
yang berbeda, tidak ada lagi akal, manusia seperti ini hidupnya mungkin penuh
kekacauan mulai dari pikiran sampai meningga nanti.
Tidak bisa merasakan apa yang dirasakan
oleh manusia lain, maka kita belum menjadi manusia, karena syarat utama menjadi
manusia adalah tidak mungkin bisa hidup sendiri. Bagaimana kalau dipindahkan
dan ditukar, perasaan yang dialami oleh yang sedikit tersebut dipindahkan
kepada yang banyak, sehingga bisa merasakan bagaimana pilu dan sedihnya ketika
tidak bisa bribadah dihari yang sakral dan penting bagi hidupnya sebagai
manusia yang ditakdirkan sebagai Kristen dan Katholik ?.
Di Indonesia, karena kekuasaan yang
besar hanya membiarkan saja manusia-manusia intoleran berbuat seenaknya, maka
menjadi minoritas,belumlah menjadi manusia merdeka, mereka masih terjajah,
melebihi penjajahan jaman jepang dan kolonial belanda, minoritas dijajah oleh
manusia yang mabuk beragama, bahkan beragama dari google, tetapi kekuasaan
hanya melihat saja, dihadapan kaum intoleran, kekuasaan penguasa Indonesia yang
sebesar dunia itu hanya menjadi kekuasaan setingkat lurah saja, tidak bisa
berbuat banyak.
Dengan beragama, manusia menjadi
begitu sombong, padahal sombong itu adalah pakaian Tuhan, namun manusia-manusia
ini dengan beraninya mengambil pakaian Tuhan dan memakainya. Mereka begitu
sombong kepada yang berbeda agama, kepada yang sedikit, padahal sama-sama
makhluk Tuhan. Karena mereka banyak, dengan sombongnya melarang, membatasi yang
sedikit untuk beribadah, mereka pikir beragama seperti itu, atau bagi mereka
ini, Islam itu hadir untuk membatasi dan melarang orang beribadah, padahal
Islam hadir untuk membebaskan manusia dari segala ketertindasan, lantas mengapa
sebagian manusia yang Muslim ini menindas manusia lain yang berbeda agama ?,
siapa yang keliru ?.
Selamat Natal para sahabat,
sekalipun negeri ini belum selesai….