Nikmatnya segelas Kopi dan Pemerintah Aceh yang Menyebalkan

T. Muhammad Jafar Sulaiman, MA

Segelas kopi bagi orang Aceh adalah kenikmatan dan kemerdekaan, dia adalah surga yang sudah pasti didapat tanpa perlu amalan apapun. Beberapa waktu lalu, ketika jam malam berlaku, surga dan kenikmatan itu pernah terenggut. Bagi orang Aceh, minum kopi itu hukumnya wajib (meski tanpa pernah ada fatwa tentang itu).

Jangankan dalam kondisi normal, dalam dentuman senapan dan mortir pun, orang Aceh masih tetap ngopi dan terbiasa ngopi. Dentuman senapan dan mortir itu juga sekaligus membuat sebagian orang Aceh melarikan diri bahkan sampai keluar negeri. Dan kini, yang merajela di Aceh adalah orang-orang yang dulu lari dari perang, dan yang paling merana adalah orang-orang yang diam dan tidak pernah lari dari perang.

Sumber Foto :  Kompasiana.co
Melihat Aceh, janganlah melihat dari Istana Wali Nanggroe, dari kantor Gubernur, atau dari Meuligoe-meuligoe para Gubernur, Bupati dan Walikota di seluruh Aceh, tetapi lihatlah Aceh dari segelas kopi, mulai dari kota sampai kepada sudut gampong yang harga kopinya 2000 pergelas, karena dari sini kita akan tahu Aceh secara nyata, bukan secara angka, kita akan tahu Aceh itu Aceh secara pasti bukan secara statiatik. Dari segelas kopi, kita akan tahu Aceh dari orang-orang yang bicara apa adanya, bukan bicara untuk ada apanya.
Lalu bagaimana Aceh sekarang ?, paska damai, Aceh punya uang puluhan trilyun, tapi jangan ditanya bentuk dan manfaat dari uang itu, terutama bagi urusan kesejahteraan dan pemberdayaan rakyat, trilyunan itu ada dikertas, tetapi ghaib dan misterius di lapangan. Dalam skala tertentu, uang itu mirip hibah, tanpa audit sama sekali, sehingga benar-benar menjadi berkah bagi sebagian penjarah. Kondisi ini sama saja disemua pemerintahan, mulai dari 2006 sampai sekarang.

Saat ini lah kita melihat bagaimana sebuah pemerintahan, sebuah kepemimpinan dijalankan bukan dengan leadership, tetapi dengan gaya level manajer perusahaan, kerja berbasis prestasi, bukan berbasis output. Para pegawai ibarat buruh yang bekerja di pabrik, lebih banyak lembur diluar jam kerja profesi, tujuannya satu, demi prestasi yang kamuflase.
Demi rakyat, pemimpin tidak berani mengambil resiko apapun, tetap tidak boleh bersalah dalam menerapkan kebijakan pro rakyat dan ini bukanlah level leader, tetapi level manajer.
Pemerintahan Aceh 2017 - 2022 mungkin termasuk pemerintahan yang paling malang, paling menyebalkan, sekaligus paling memalukan. Bercampur aduk antara pilihan kebijakan dengan masalah-masalah masa lalu, sehingga akhirnya pemerintahan harus dikelola dengan utang budi, ketimbang dikelola dengan akal budi.

Tidak ada konsep pemerintahan dan kebijakan pemerintahan yang benar-benar revolusioner dan spektakuler, kecuali hanya menghabiskan waktu, menghabiskan tenaga, menghabiskan uang untuk mengurus meja kerja yang harus selalu bersih, map yang harus tersusun rapi, warna biru dengan biru, warna kuning dengan kuning, bunga yang harus selalu diganti, apa yang revolusioner dari ini semua ?, sebuah pekerjaan yang dari alam rahimpun sudah diajarkan oleh ibu kita.

Sekarang kita di era pandemi, namun tidak ada sesuatu yang pasti, yang besar dan nyata yang dilakukan oleh pemerintah, terutama support terhadap rakyat yang kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan. Kinerja pemerintahan, persis seperti cumi-cumi yang kehabisan tinta, lambat seperti siput yang ketinggalan rumah. Tidak ada agenda pencegahan pandemi yang jelas, baik dalam sebuah blue print atau kerangka besar tahapan yang pasti, semua parsial, semua misteri, dibalut dengan kepentingan-kepentingan, sehingga ditengah segala kesamaran dan keremangan itu, bisa saja rakyaf berasumsi bahwa semua itu adalah demi kepentingan pilkada 2022, jika ini benar maka inilah hal yang paling menyakitkan bagi rakyat Aceh ditengah segala kepayahan hidupnya karena wabah. Mudah-mudahan ini tidak benar, kalaupun benar, ya begitulah.
Skema support dan segala peruntukannya akan keluar jika ada desakan atau pertanyaan dari rakyat, tetap saja parsial, tidak utuh dan menyeluruh.

Kita akui ada yang dikerjakan pemerintah Aceh, namun semua yang dilakukan pemerintah Aceh dalam menangani pandemi, tidak ada tidak ada yang hebat, kecuali hanya hebat dalam polemik, hebat dalam lahan kuburan, bahkan hanya hebat dalam cap lambang panca cita dikarung beras. Tindakan yang sangat lebay, jika anda tahu siapa milenial yang paling lebay , maka lebaynya itu masih kalah dibanding lebaynya pemerintah Aceh. Anda bayangkan, dalam kondisi perang, masih sempat-sempatnya potong pita peresmian, sesuatu yang sangat tidak perlu.

Sangat wajar jika kemudian rakyat bertanya, dari jumlah dana yang dianggarkan sebanyak 1,7 Trilyun, berapa jumlahnya dana tersebut yang diperuntukan bagi rakyat, terutama yang terdampak COVID ?, bagaimana skema yang jelas dan transparan dari penggunaan uang itu ?. Skema yang saat ini dibangga-banggakan adalah pemberian bantuan untuk 61.000 lebih kepala keluarga terdampak COVID 19, dengan bantuan sembako sebesar 200.000/KK, kalau ditotal, itu hanya menghabiskan anggaran sebesar 12, 2 Milyar saja, bayangkan, dapat apa dengan skema 200.000 di masa sulit seperti ini.

Lalu bagaimana sisanya ?, apakah semua sisanya itu untuk membayar honor struktur gugus tugas penanganan COVID yang jumlahnya bejibun itu ?.
Ketika pemerintah sangat payah dan tidak jelas, saat ini rakyat sedang mengandalkan sisa terakhir dari tabungannya untuk bertahan hidup, bahkan sudah tidak punya apa-apa lagi, dalam kondisi rakyat yang seperti ini, maka alangkah kurang ajarnya jika seandainya para elit pemerintahan sedang meraup pundi - pundi uang untuk keuntungan pribadi dari dana bencana tersebut.

Sungguh pemerintah yang menyebalkan !!!

Tulisan ini sudah pernah dimuat di : http://monologis.id/kopilogis/nikmatnya-segelas-kopi-dan-pemerintah-aceh-yang-menyebalkan

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :