Metafisika Demokrasi Politik untuk Kesejahteraan

Teuku Muhammad Jafar Sulaiman 
Demokrasi elektoral, seperti di sebut Schumpeter, yang dipandang hanya sebagai metode, memiliki segala keterbatasan dan kelemahan. Ada dua titik kelemahan dan keterbatasannya. Pertama, model ini terbatas pada prosedur untuk berkuasa secara legitimit dengan cara memperebutkan dukungan publik. Kedua, terlampau fokus pada institusi sebagai ukuran bekerjanya demokrasi, sementara prinsip atau tujuan yang ingin dicapai demokrasi itu yaitu kesejahteraan cenderung terabaikan.
 Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian mendorong David Beetham (1999)untuk menawarkan definisi demokrasi yang berbeda. Menurut Beetham demokrasi adalah “kontrol popular terhadap urusan publik dan politik berbasis persamaan hak warga negara”. Demokrasi yang dimaksudkan Beetham disini, menekankan pada kontrol popular dan persamaan hak warga negara sebagai ciri bekerjanya demokrasi. Kontrol popular ini, berbasis pada persamaan hak warga negara. Persoalan terpenting dari demokrasi adalah menjamin agar publik dapat mengontrol pembuatan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, termasuk  mengontrol para pembuat kebijakan tersebut. Kapasitas kontrol popular ini menjadi elemen yang sangat penting untuk tidak hanya menunjukkan hak politik warga negara, tetapi juga sekaligus menjadi penentu bekerjanya demokrasi.
Sumber : Google 
Bicara Indonesia, dengan segala dinamika dan realitanya, maka definisi demokrasi ala Beetham ini, sangat dekat dengat eksistensi kedaulatan rakyat yang selama ini terbaikan, bahwa  eksistensi rakyat bukanlah sebagai voter (pemilih) yang hanya menghantarkan saja, tetapi juga sebagai pengontrol jalannya pemerintahan yang berkaitan dengan isu dan kepentingan publik. Ketika demokrasi ditempatkan sebagai kerangka kontrol popular dan persamaan politik, maka pengelolaan kesejateraan juga dipahami sebagai isu publik yang harus tunduk pada kontrol popular dan persamaan politik tersebut. Ini berarti bahwa pengelolaan kesejahteraan bukan semata persoalan manajerial pemerintahan yang menyangkut metode pengelolaan dan pendistribusian sumber-sumberdaya, tetapi juga merupakan persoalan politik yang memerlukan partisipasi publik secara substantif dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan tersebut.
Seturut  lima tahun terakhir, praktek kontrol popular (rakyat) terhadap kebijakan publik pemerintah dalam makna demokrasi kedaulatan rakyat, semakin dilokalisir dalam simbol-simbol kamuflase berdalih perjuangan kepentingan rakyat, padahal tidak ada jembatan yang menghubungkan antara simbol-simbol tersebut dengan kesejahteraan rakyat, semua terbaca dalam ejaan kepentingan kehendak berkuasa saja. Sehingga sangat sedikit tempat terhadap kontrol popular tersebut. Demokrasi yang di praktekkan oleh para punggawa politik, semakin hari memang semakin mengecewakan, banyak mempraktekkan artifisial demokrasi daripada substansial demokrasi. Proses pemilihan kepala daerah misalnya tidak lebih dari pada perebutan kontrol atas kesejahteraan, namun kesejahteraan tersebut tidak terdistribusi. Atas segala bangun duduk demokrasi yang telah berlansung sekian lama dan di praktekkan oleh politisi, kita dapat merenung bahwa demokrasi mengandung “disilusi” (kekecewaan) dalam dirinya sendiri.
Demokrasi adalah hasrat yang tidak pernah sampai, namun kendati tidak mencukupi, kita tetap memerlukan demokrasi untuk mengubahnya kepada pembuktian ontologis bahwa ada keberadaan mutlak yang wajib dipenuhi demokrasi melalui tangan para pemegang kekuasaan yaitu fitrah kesejahteraan rakyat. Menjadi tanggung jawab moral kita untuk mengurai secara tuntas pernyataan mendasar filsafat politik, yaitu “ketidak cukupan” demokrasi sebagai peralatan mewujdukan perubah revolusioner dan menggantinya menjadi alat perubahan revolusioner.  Dalam kontestasi dan di tataran praktiknya, demokrasi lebih sering berhenti pada pelembagaan formal, ketimbang mensponsori perubahan revolusioner. Dalam kondisi hari ini, kita harus mengurai demokrasi dari sudut pandang kebutuhan pada perubahan revolusioner, yang bertujuan untuk menghindari pemaknaan demokrasi dari bajakan elit politik atas penguasaannya secara mutlak melalui doktrin kekuasaan untuk kemewahan kepada bangunan politik yang lebih fundamental yaitu memperbesar struktur metafisika dari teori demokrasi sebagai jalan bagi kemaslahatan.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :