Islam Makrifat : Harmonisasi Spirit Agama dan Spirit Kebebasan
Oleh : T. Muhammad Jafar Sulaiman M.A
“Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan Perlawanan”
(Pram)
“Di mana Ada Kekuasaan, maka disitu ada perlawanan”
(Michel Foucault)
Pada suatu malam, ‘Umar ibn Khattab melakukan ronda malam bersama ‘Abdullah ibn Mas’ud. Pada suatu tempat yang terpencil mereka melihat kerlipan cahaya di sebuah ruman. Dari rumah tersebut sayup-sayup suara orang yang bersembunyi. Keduanya menuju kerumah tersebut. Diam-diam ‘Umar menyelinap masuk. Khalifah melihat seorang tua yang sedang duduk santai, di depannya ada cawan minuman dan seorang perempuan yang sedang bernyanyi.
Khalifah ‘Umar kemudian menampakkan diri dan menghardik, “belum pernah aku melihat pemandangan seburuk yang kulihat malam ini. Seorang tua yang menanti ajalnya. Hai musuh Allah, apakah kamu mengira Allahakan menutup aibmu padahal kamu berbuat maksiat?”.
Orang tua tersebut menjawab :
“janganlah tergesa-gesa ya Amirul Mukminin. Saya hanya berbuat maksiat satu kali. Anda menantang Allah sampai tiga kali. Tuhan berfirman, “jangan mengintip keburukan orang lain (Q.S. al-Hujurat :12), anda telah mengintip. Tuhan berfirman “masuklah kerumah-rumah dari pintunya (Q.S. al-Baqarah :189).anda telah menyelinap masuk, dan anda masuk kesini tanpa izin, padahal Allah berfirman : “janganlah kamu masuk kerumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan mengucapkan salam kepada orang yang ada di dalamnya (Q.S. An- Nur : 27).
Kemudian Khalifah berkata , “kamu benar”. Ia keluar dan menggigit pakaiannya sambil menangis, “celaka kau Umar, jika Allah tidak mengampunimu. Ada orang yang bersembunyi dari keluarganya. Sekarang ia akan berkata, “Umar mengetahuiku, kemudian keluarganya menguntitnya”.
Selama beberapa waktu, orang tua itu tidak pernah menghadiri majlis ‘Umar. Pada suatu hari ia datang dan duduk di barisan paling belakang, seakan dia mau bersembunyi dari pandangan ‘Umar. Tetapi ‘Umar melihatnya dan memangilnya. Orang tua itu berdiri dengan penuh kekhawatiran bahwa khalifah akan mempermalukannya dengan apa yang pernah dilhatnya. “Umar menyuruhnya mendekat, “dekatkanlah telingamu padaku”. Lalu ‘Umar berbisik, “Demi Yang mengutus Muhammad dengan haq sebagai Rasul! Seorangpun takkan kuberitahu apa yang kusaksikan pada dirimu. Begitu pula Ibn Mas’ud yang berda bersamaku.
“Ya Amirul Mukminin, dekatkan pula telingamu”, kata orang tua itu. giliran dia berbisik, ”Begitu pula saya. Demi Yang mengutus Muhammad dengan haq sebagai Rasul, saya tak pernah kembali pada perbuatan itu sampai aku datang ke Majelis ini.” Mendengar itu, ‘Umar mengucpakan takbir dengan suara keras. Orang-orang yang hadir tidak tahu kenapa dia bertakbir.
Peristiwa ini, sangat makruf di kalangan umat Islam. ini menunjukkan bahwa bagiamana pada masa wal Islam, rakyat dan penguasa menyadari betul hak-hak mereka. Si Orang tua dengan berani menegur ‘Umar, sang penguasa yang menganggap ‘Umar telah melanggar apa yang disebut sekarang sebagai hak-hak rakyat. Tidak canggung-canggung ia menyebut pelanggaran yang dilakukan itu sebagai maksiat.
‘Umar dianggapnya telah melanggar tiga hak rakyat : hak akan kebebasan, hak akan kehormatan, dan hak milik. Lebih menarik lagi adalah penyesalan ‘Umar. Sebagai penguasa, ia menyadari betul bahwa perhatiannya pada keamanan dan ketertiban begitu berlebihan sehingga melanggar hak-hak rakyat tidak pada tempatnya.
Terkait dengan peristiwa ini, kita kemudian juga dapat melihat dokumen yang di tulis oleh Khalifah aLi ibn Abi Thalib, yang ditujukan kepada para pemimpin. Ali menulis :
“biasakanlah hati-mu menyayangi rakyatmu. Janganlah berdiri diatas mereka seperti binatang rakus yang ingin menerkam mereka. Ada dua jenis rakyat-mu : satu saudaramu dalam agama dan satu saudaramu sesama makhluk. Sewaktu-waktu mereka dapat berbuat salah, baik sengaja maupun tidak sengaja. Janganlah berkata : “saya telah diberi kekuasaan, karena itu saya harus dipatuhi ketiak saya memerintah, karena hal itu menimbulkan kebingungan dalam hati, melemahkan rasa beragama, dan membawa orang kepada kehancuran. Berbuatlah adil karena Allah, dengan berbuat adil kepada rakyatmu. Walaupun itu bertentangan dengan kepentinganmu, kepentingan orang-orang yang dekat denganmu, atau kepentingan orang-orang yang kamu sukai. Jika kamu tidak berbuat adil, kamu menjadi penindas. Bila kamu menindas makhluk Allah, bukan saja makhluk-Nya, tapi Allaj pun akan menjadi Musuhmu”
(George Jordac, Ali wa hawt al-‘Adilaj al-Insaniyat, Bayna Ali wa al-Tsawrat al-Faransiyah, Beirut ; dar al Maktab al-Hayat, 1970)
Kontkes Aceh, pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan
Pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan merupakan narasi sejarah yang menjadi penanda paling memorial dalam sejarah manusia. Kekuasaan dalam banyak hal tidaklah otonom dan berdiri sendiri tetapi merupakan proses persekongkolan baik dan jahat, yang sering di menangkan oleh yang jahat. Dalam narasi besar ini, kekuasaan selalu mendapatkan padanan kata “perlawanan”. Di sini lain, kebebasan tidak kalah heroisnya dengan cerita-cerita penaklukan dan imperialisme kekuasaan. Mulai dari sejarah para Nabi yang membumikan keadilan Ilahi berupa pembebasan sampai kepada rumah dan kamar kita dengan membaca tulisan, ya..menulis adalah perlawanan, pendidikan dan pembebasan, tulisan tidak hanya merubah dunia, tetap juga membolak-balikkan dunia, siapapun boleh membenci Marx misalnya, tetapi selamilah setiap sudut karya ilmiah, kutipan dan irama syair kehidupan manusia, semua tidak kuasa menolak bahwa “pertarungan kelas” adalah abadi dalam lini masa.
Perlawanan tetap akan hadir ketika kekuasaan di maknakan sebagai “milik”. Ketika kekuasaan sebagai milik, maka perlawanan akan menguliti bagaimana kekuasaan bekerja (operasionalisasi kekuasaan). Kebebasan tidak hanya berarti ketunggalan dalam otonomi kebebasan individu. Tidak hanya keleluasaan untuk merayakan kebudayaan-kebudayaan manusia, tetapi dalam maknyanya yang paling dalam dan hakiki, “perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas adalah “kebebasan”.
Pertarungan Spirit Agama dan Spirit Kebebasan
Sejatinya, Aceh yang ideal adalah Aceh yang spirit agamanya (the spirit of religion), mendukung kepada spirit kebebasan (the spirit of freedom), yang terjadi malah sebaiknya, spirit agama bertentangan dengan spirit kebebasan, spirit agama mereduksi spirit kebebasan. Aceh hari ini adalah Aceh yang Spirit agama dan spirit kebebasan selalu bergerak kearah yang berlawanan.
Alexis De Tocqueville (1805-1840), seorang ilmuwan muda prancis, ketika itu berusia 25 tahun berkunjung ke Amerika dan menuangkan observasi etnografinya dalam karya yang kini menjadi “kanon klasik” yaitu Democracy in America (1835 dan 1840). Di Amerika, menurut Tocqueville, demokrasi berakar kuat, tumbuh dan berkembang atas peran agama yang signifikan. Keterpesonaan Tocqueville pada peran agama yang signifikan dalam pengembangan spirit kebebasan dan demokrasi di Amerika tidak dapat dipisahkan dari kegelisahan intelektualnya tentang apa yang saat itu terjadi dinegerinya sendiri yaitu Perancis. “diantara kita (orang Perancis), demikian pengakuan Tocquevilee. “saya melihat bahwa spirit agama dan spirit kebebasan hampir selau bergerak kearah yang berlawanan. Disini, di Amerika saya menemukan kedua spirit itu bersatu erat satu dengan yang lain”.
Karena itu, audiens pembaca yang dituju oleh Tocquevilee dalam “Democracy in America’ itu sesuangguhnya bukanlah masyarakat Amerika, tetapi masyrakat Perancis sendiri yang ketika itu diharapkan mau belajar dalam menyatukan spirit agama dan spirit kebebasan. Pengalaman Tocqueville ini kemudian merubah wajah Perancis.
Dalam konteks Aceh saat ini, narasi ini menandakan bahwa ada persoalan krusial penting dikita ketika mengelola spirit agama dan spirit kebebasan, bahwa perlu ada pembenahan revolusioner segera dalam mengelola spirit ini agar segala kesemerawutan dan segala kekacauan akan teratasi, sehingga spirit agama dan spirit kebebasan berjalan beriringan dan harmonis. Di Aceh, spirit agama kebanyakan dipraktekkan dengan “Spirit premanisme” ketimbang “Spirit rahmatan lil’alamin” , kebanyakan dengan “spirit ancaman” dari pada “spirit edukasi”, mengapa fenomena ini terjadi ?, fenomena ini terjadi karena kekuasaan dengan segala kedangkalan dan kelemahan pemahaman keagamaanya, memberikan ruang yang teramat besar dan berlebihan pada munculnya kelompok-kelompok seperti ini, sementara kelompok-kelompok rasional lainnya yang justru pemahaman keagamaannya mumpuni, justru dimusuhi, dicurigai akibat pertemuan simbiosis mutualisme relasi kuasa pemilukada/pilkada.
Islam adalah akhlak terhadap sesama manusia, terhadap alam, terhadap diri sendiri dan terhadap kehidupan, dan untuk mewujudkan ini semua, tidak akan pernah bisa dilakukan dengan spirit premanisme.
Apa yang dikhawatirkan oleh Tocqueville tentang Perancis, kemudia telah merubah Perancis, Perancis yang sebelumnya selalu berlawanan antara spirit agama dan spirit kebebasan, menjadi Perancis yang harmonis antara spirit agama dan spirit kebebasan, hal ini terbukti ketika Syekh Muhammad Abduh berkunjung ke Perancis pada tahun 1884.
Dalam kunjungan tersebut, teringat kata-kata yang diucapkan oleh Syekh Muhammad Abduh, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir Kairo saat berkunjung ke Paris pada tahun 1884 (lebih dari seabad yang lalu). Disaat ia menyaksikan betapa kota Paris indah dan bersih, teratur, rapi, penduduknya bersemangat dalam bekerja, disiplin, tepat waktu, sopan, ramah dan bersahabat. Melihat demikian ia berucap :
“raaytu al-Islam wa lam ara Musliman”(Aku lihat Islam (disana), padahal aku tidak melihat orang Muslim)
Kemudian Syekh Muhammad Abduh membandingkan dengan Kairo yang berbanding terbalik dengan Paris. Penduduknya malas, jorok, jam karet, brutal, kasar dan jahat. Belum lagi melihat aktivis agama yang katanya ulama dengan berbekal dalil sebagai pembenaran agama bersikap brutal , mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan. Semuanya atas nama agama dan atas nama agama pula dengan mudahnya memperbanyak istri secara sirr melewati batas syariah, termasuk dengan mudah menceraikannya.
Melihat perilaku orang Kairo di atas Syekh Muhammad Abduh berucap :
“raaytu al Muslimin wa lam ara al-Islam (aku melihat banyak Muslim (di sini), tapi aku tidak melihat Islam pada diri mereka)”
Islam adalah perilaku. Islam yang sebenarnya adalah akhlak kepada sesama manusia. Akhlak adalah urusan yang berhubungan dengan sesama manusia, jelas dan terukur dan dapat dirasakan oleh sesama sekaligus bersama. Adapun soal iman dan ibadah, adalah hubungan yang tidak bisa diukur karena urusan pribadi masing-masing dengan Allah SWT. Salah satu ciri orang berakhlak adalah adanya kemampuan menyeimbangkan antara fisik (spirit perbuatan) dan psikis (spirit ijtihad). Tetapi lihat yang terjadi sekarang, begitu mudahnya umat Islam digiring untuk menyakiti sesama, merusak milik orang lain, menyiksa fisik orang lain, mempermalukan orang lain dihadapan orang banyak. Menyedihkan rasanya melihat seperti itu. Mereka berperilaku jihad fisabilillah tetapi perilakunya menyalahi logika dan moral. Melanggar kaidah hukum dan akhlak, tidak mencerminkan orang yang mempunyai daya pikir (ijtihad).
Tulisan ini hanya ingin mengajak agar akal muslim tidak terasing dari ruang dan zamannya, serta dapat berinteraksi secara lansung dengan berbagai problem – problem sekarang demi hidup yang baik dimasa depan. Karena manusia dilahirkan oleh Tuhan untuk menyembah Tuhan, bukan untuk menyembah agama. Menyembah Tuhan berarti berada dalam spirit kebebasan, sementara menyembah agama berarti berada dalam spirit keterpenjaraan, karena hidup hanya berlandaskan teks, bukan berlandaskan pada konteks.
Lantas, kapan Aceh akan berubah, sehingga spirit agamanya sejalan dengan spirit kebebasan ?
Keren kali, sangat menggugah bang.😁