Politik dan Biologi : “Kehidupan Politis” dan “Kehidupan Biasa”
Oleh : T. Muhammad Jafar Sulaiman
Selama ini, manusia memahami hidup adalah
hidup dan politik adalah politik, kita tidak pernah mau tahu dan mungkin merasa
tidak perlu tahu bahwa sebenarnya manusia menjalani hidup didunia dalam dua
arena yaitu hidup yang biasa (kehidupan biasa) dan hidup tindakan ( kehidupan
politik). Politik dan Biologi (Biopolitik) adalah sebuah pemisahan hidup dari
dunia kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dasar (biologi) dan dunia yang berisi
tindakan, penilaian dan keputusan (politik).
Pembaca dan perangkai pikiran “kehidupan biasa” dan “kehidupan politik” ini adalah Giorgio Agamben seorang filsuf kontemporer Italia, yang lahir pada 22 April 1942. Agamben menyelesaikan pendidikannya di Universitas Roma tahun 1965. Pemikiran politik Agamben ini didasari pada pembacaannya atas buku-buku karya Aristoteles, seperti Politik, Etika Nikomakean. Pemikirannya juga berpijak pada tradisi Eksegetis teks-teks antikuitas muda dan teks-teks Abad Pertengahan.
Image Source : Google.com |
Dalam merumuskkan pemikirannya ini, pemikir yang banyak mempengaruhi Agamben adalah Martin Heidegger, Walter Benjamin, Michel Foucault dan Hannah Arendt. Homo Sacer (Sovereign Power and Bare Life) adalah salah satu karya utama Agamben yang diterbitkan oleh Stanford University Press, tahun 1998 kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Homo Sacer Kekuasaan Tertinggi dan Kehidupan Telanjang yang diterbitkan oleh IRCiSoD (2020).
Agamben mengkonstruksi pengetahuannya berdasarkan bacaannya atas pemikiran filsafat klasik (Yunani), Agemben membedah istilah “zoe” (istilah ini mengacu kepada sekedar keadaan hidup, seperti binatang, orang dan sebagainya), dan istilah bios (istilah ini digunakan untuk menyebut bentuk atau cara hidup yang khas pada seorang individu atau kelompok. Dengan kata lain, istilah zoe ini merujuk kepada kehidupan alamiah, sementara istilah “bios” secara eksplisit merujuk kepada bios politikos yang dipahami sebagai kehidupan politis (polis). Dengan mengutip Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition, Agamben menuliskan ‘transformasi dan dekadensi politik di masyarakat modern disebabkan karena lebih diutamakannya kehidupan alami (zoe) dan diremehkannya tindakan politik (bios).
Bercampur
aduknya zoe dan bios, menyebabkan demokrasi modern
pun menghasilkan kehidupan telanjang (transisi terus menerus dari zoe ke bios)
, artinya dalam proses tersebut, kita rentan mengalami kekerasaan dari sovereign (kekuasaan
berdaulat), karena tentunya kita mendapat jaminan perlindungan hukum itu dalam
konteks karena status kita sebagai bios politika (sebagai
warga politis yang dijamin oleh hukum negara), sementara itu atas nama ‘keadaan
darurat’, sosok sovereign bisa mennagguhkan hukum dengan
eksepsi. Artinya, Agamben beranggapan bahwa kita semua rentan menjadi homo
sacer atau manusia yang dikorbankan untuk kedaulatan kekuasaan.
Zona kehidupan manusia, antara yang alamiah dan yang politis, ada satu zona yang disebut dengan kehidupan telanjang, yaitu zona transisi terus menerus antara kehidupan alamiah dan kehidupan politis, arena ini dimainkan oleh sovereign power (kekuasaan tertinggi), dengan dimasukkannya zoe (alamiah) ke dalam polis (politik), menyebabkan terjadinya politisasi kehidupan oleh kekuasaan tertinggi sebagai penentu arah kehidupan manusia. Kehidupan yang telanjang adalah inti dari kekuasaan tertinggi, meskipun kadang itu tersembunyi. Kehidupan telanjang yang dimaksud disini adalah adalah kontrol kekuasaan terhadap tubuh ragawi manusia yang telah didisiplinkan tanpa diketahui oleh manusia, karena dia bekerja melalui serangkaian peraturan-peraturan yang nampak baik bagi manusia, namun yang terjadi sebenarnya adalah menelanjangi kehidupan manusia.
Manusia, Penelantaran dan Kamp
Dalam
buku Homo Sacer Agamben mengemukakan 3 tesis penting, yaitu:
1).
Hubungan politik yang asali antara negara dan warga negara bukanlah
perlindungan atau pelayanan, melainkan penelantaran; 2). Tindakan fundamental
negara sebagai sosok kekuasaan berdaulat adalah menghasilkan hidup telanjang
sebagai elemen politik asali dan sebagai ambang batas bagi perbedaan antara
keadaan alamiah dan keadaan beradab, antara zoe dan bios;
3). Saat ini bukan ruang publik politik atau masyarakat berkeadaban (city)
yang menjadi paradigma biopolitik kehidupan masyarakat, melainkan kamp.
Penguasa adalah orang yang membuat keputusan atas dasar eksepsi. Agemben berpendapat bahwa terdapat paradoks dalam sovereignty, karena ia dapat berada di luar dan di dalam tataran yuridis sekaligus. bahwa sovereignty sendiri merupakan kekuasaan yang tidak tertandingi karena menempatkan diri sebagai representasi seluruh rakyat.sovereignty memiliki kekuasaan hukum untuk membatalkan validitas hukum. Dengan kata lain, paradoks tersebut dirumuskan seperti ini “hukum berada di luar hukum itu sendiri” atau “aku, sang sovereignty yang berada di luar hukum, menegaskan bahwa tidak ada apapun yang berada di luar hukum. Artinya, soveregnty ini bisa membatalkan (menangguhkan) suatu hukum justru dengan hukum itu sendiri dengan eksepsi. Atas nama normalisasi ‘keadaan darurat’, sovereignty bisa mengambil alih tugas legislatif dan yudikatif, dan bisa melakukan kekerasaan. Dalam konteks ini, Agamben menggambarkan sebenarnya rezim demokrasi itu membentuk kontinuitas dengan rezim totalitarianisme. Di sinilah letak keunikan dari pemikiran Giorgio Agamben.
Transformasi radikal politik
menjadi dunia kehidupan telanjang, melahirkan adanya kamp konsentrasi. Istilah
kamp dalam pemikiran Agamben, tidak hanya merujuk kepada pengertian literal,
tatapi merujuk juga pada keadaan-keadaan di mana manusia menjadi semata-mata
tubuh ragawi tanpa identitas politik, tanpa perlindungan hukum sehingga secara
langsung dapat terpapar oleh kekerasaan.inti yang paling penting dari pemikiran agamben
adalah bahwa rezim demokrasi itu punya kontinuitas menjadi rezim totaliter dan
inheren dengan totaliteranisme.
Ketika
kita membaca realitas diatas ditempat kita, maka tesis Agamben tentang
‘penelantaran’menemukan relevansinya dalam konteks hubungan negara dengan kaum
minoritas. Tesis Agamben yang menyatakan “hubungan politik yang asali adalah
penelantaran”, memang relevan untuk menjelaskan hubungan pemerintah Indonesia
dengan warga penghayat kepercayaan atau kebatinan misalnya, di mana mereka
terserap dalam tatanan negara hukum Indonesia sekaligus terkecualikan. Mereka
menyandang status warga negara, tetapi tidak diperlakukan seperti warga negara
pada umumnya. Kelompok Ahmadiyah pun rentan terpapar kekerasan, “hukum
menangguhkan diri dan berada dalam status nonoperasional justru ketika dibutuhkan operasionalitasnya, pada saat
terjadi kekerasaan warga negara terhadap warga negara yang lain.
Pemikiran Agamben ini sangat penting bagi kita untuk melihat sisi demokrasi yang masih banyak sekali kelemahannya, ketika demokrasi pada konteks tertentu juga tersandera kepada mayoritarisnisme yang selalu menjadi minor sebagai “sacer” korban, atau pihak yang selalu dikorbankan atas nama demi kedaulatan tertinggi yaitu negara.