Hujan Para Kekasih


Sudah banyak sekali hujan yang turun dalam kehidupan kita, mulai dari lahir sampai saat ini, tetapi hujan terus diberi makna, terus diberi penanda. Hujan, turun bukan karena manusia meminta, bukan karena tumbuhan dan binatang-binatang meminta, juga bukan karena sebab terakhir, yaitu karena bumi menginginkannya, tetapi karena para kekasih meminta dan menginginkannya. Hujan turun karena cinta para kekasih.Para kekasih menanggung manusia, dan menanggung segala yang hidup diatasnya, lalu ketika kegersangan hadir, para kekasih bertanggung jawab atas apa yang ditanggungnya, sehingga dia meminta hujan untuk turun, karena bumi adalah surga dan disini hidup para kekasih-Nya.
Hujan tidak pernah tunduk dan patuh pada manusia, apalagi kepada pawang hujan. Hujan hanya tunduk dan patuh pada para kekasih, kepada para Wali Allah. Seorang Wali Allah, dapat memerintahkan hujan untuk turun dan berhenti bahkan ketika dia turun sederas-derasnya. Suatu ketika asap dari Riau sampai ke Aceh, seorang Wali Allah berkata “sampai juga engkau kemari rupanya asap ya, tunggu ya…”, sedetik kemudian, hujan turun sederas-derasnya, asap pun menghilang tanpa sempat memberi kabar. Tidak perlu terlalu pusing dengan ini, karena pusing itu tidak memberi pencerahan, ini adalah otoritas spiritual, ini adalah kerja spiritual , dimana rumus-rumus fisika tunduk padanya. Dalilnya adalah : “dimensi yang tinggi, mengontrol dimensi yang rendah”.
Source : Google
Otoritas spiritual ini adalah kepastian, tidak pernah ada keraguan sezarahpun. Rasulullah SAW dengan pasti menjamin para sahabatnya untuk masuk surga bersamaNya, bisa memastikan semua doa dan amalan diterima oleh Allah, karena hanya Rasulullah yang punya kapasitas itu. Setelah Rasulullah, diteruskan oleh para Ahli silsilah, para Wali Allah yang memegang otoritas spiritual. 
Otoritas spiritual tidak lagi bersandar pada teks dan terbebas dari teks. Ketika sungai nil kering, umat melaporan hal tersebut kepada Umar Bin Khattab, lalu Umar menulis sebuah kalimat di secarik kertas : “ Wahai sungai nil, jika engkau kering karna Allah, maka sekarang Umar memintamu untuk mengalir”, lalu kertas itu dilemparkan kesungai nil, seketika itu sungai nil kembali mengalir, kalimat itu adalah kalimat dari Umar. Ketika umat melaporkan sungai nil yang kering itu, Umar tidak berdoa sesuai dengan teks yang ada dalam Al – Quran dan Hadis, atau melaksanakan shalat meminta hujan supaya sungai nil mengalir, tetapi hanya menulis sebuah kalimat, ini hanya bisa dilakukan oleh yang punya otoritas spiritual.
Ketika India dilanda kekeringan, Khalifah meminta Syekh Abd Allah Ad-Dahlawy, Ahli Silsilah tarekat Naqsyabandi ketika itu untuk berdoa agar hujan turun. Ahli Silsilah ini tidak melaksanakan shalat Istisqa, membaca Al-Quran, membaca yasin, ataupun membaca doa, sebagaiman kebiasaan yang dilakukan oleh banyak orang,  tetapi beliau pergi kesebuah lapangan, membuka sorbannya dan memegang sorbanya dengan sebelah tangannya, kemudian Syekh Abd Allah Ad-Dahlawy berkata : “Ya Allah, aku akan tetap berdiri disini, dan aku tidak akan masuk kerumahku sebelum engkau menurunkan hujan”, saat itu juga hujan turun dengan derasnya. 
Suatu waktu disebuah kerajaan di Irak terjadi kemarau panjang dan kekeringan yang lama sekali, hujan tidak turun - turun, raja sangat khawatir dengan kondisi ini, lalu raja berinisiatif melakukan shalat meminta hujan (istisqa). raja memerintahkan seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali untuk melaksanakan shalat istisqa dilapangan yang luas. Setelah selesai shalat, jangankan turun hujan, malah kemarau semakin menjadi - jadi. 
Melihat kondisi ini, seorang penasehat raja berkata kepada raja : "Wahai yang mulia, hujan tidak turun setelah kita melakukan shalat adalah karena raja memerintahkan siapapun tanpa terkecuali untuk melaksanakan shalat, kadang disitu ada pemabuk, pencuri, banyak orang-orang jahat dan ingkar, sehingga doanya tidak makbul, saran saya kita lakukan shalat sekali lagi, namun orang-orang yang akan melaksanakan shalat tersebut harus raja pilih, tidak boleh sembarang orang, raja harus memilih ulama-ulama saja yang akan melaksanakan shalat istisqa. 
Lalu dipilihlah ulama - ulama fikih, ulama-ulama kalam, yang top, tinggi ilmunya dan dianggap saleh, untuk melaksanakan shalat minta hujan, karena raja tidak mau gagal untuk kedua kalinya, setelah dipilih, terkumpullah 240 orang ulama dan diminta oleh raja untuk datang ke Istana, lalu kemudian dilaksanaklah shalat istisqa bersama ulama - ulama tersebut. setelah shalat selesai dilakukan hujan tidak turun juga dan kemarau semakin mempesona.
Setelah shalat bersama ulama -ulama tersebut dan hujan tidak juga turun, raja termenung, seperti putus asa dan tanpa harapan lagi. Melihat itu, seorang penasehat raja yang lain menghampiri raja dan berkata : "mohon ampun yang mulia, di kerajaan paduka ini, ada seorang ulama sufi, beliau seorang kekasih Allah, Auliya Allah, yang sangat makbul doanya, namanya Syekh Abdullah, coba raja  datang dan menghadap kepada Syekh Abdullah ini, meminta doa kepadanya agar hujan turun.
Mendengar nasehat tersebut, raja kembali bersemangat dan segera keluar dari istana untuk menemui syekh Abdullah di kediamannya. ketika sampai di kediaman Syekh Abdullah, dengan penuh pengharapan raja memohon kesediaan Syekh Abdullah, untuk berdoa agar hujan segera turun. Karena raja ini sangat sopan ketika menemuinya dan sangat tinggi adabnya, maka Syekh Abdullah bersedia memenuhi permohonan raja tersebut. 
Kemudian Syekh Abdullah menuju sebuah lapangan, beliau sama sekali tidak melaksanakan shalat istisqa, membaca al quran, apalagi, membaca yasin, juga yang lainnya. Kekasih Allah ini hanya berdiri seorang diri dilapangan luas, mengangkat kedua tangganya lalu berkata : 
" Ya Allah, apakah Engkau sudah tidak tahu lagi bagaimana cara menurunkan hujan, sehingga engkau biarkan semua orang - orang ini menderita ?
seketika itu juga hujan turun dengan derasnya....
Ternyata kuncinya bukan di bacaan-bacaan ayat, di pelaksanaan shalat beramai-ramai, bukan diritual, tetapi siapa sosok yang meminta tersebut, kalau level yang meminta itu adalah kekasih Allah, maka sebelum diminta sudah disiapkan dan apa yang diucapkan oleh Syekh Abdullah tersebut adalah tanda ulama yang akrab dan dekat dengan Allah, antara kekasih dengan kekasih. 
Demikianlah yang disebut dengan otoritas spiritual dan seperti itulah otoritas spiritual bekerja, tidak lagi bersandar pada teks tetapi lansung tersambung dengan Allah SWT.
Karena itu, jangan sia-siakan hidup, selagi ada waktu dan kesempatan, berpindahlah dari otoritas teks kepada otoritas spiritual. Hidup itu terlalu sia-sia sekali ketika hanya dihabiskan untuk mengabdi kepadaotoritas teks, tetapi sangat berharga, mulia dan tercerahkan ketika diabdikan pada otoritas spiritual.



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :