"Islam, antara Keselamatan dan Ketidak Selamatan Manusia”


Konflik adalah keniscayaan dan alamiah bagi manusia. Sebuah konflik bisa positif, bisa negatif, bisa konstruktif dan destruktif, tergantung bagaimana cara mengelolanya, namun karena persoalan relasi kuasa, persoalan relasi antara yang banyak dan yang sedikit, manusia tidak punya kemampuan mengelola jika terjadi konflik, namun punya kemampuan yang besar untuk menghindari terjadinya konflik.

Memperbesar dan memperluas ukhuwah (persaudaraan), serta mempersempit dan memperkecil permusuhan adalah salah satu cara menghindari konflik yang destruktif. Mengedepankan trust dan menghindari prasangka yang berlebihan adalah juga salah satu cara menghindari konflik yang mematikan. Saat ini, di internal Islam, ini adalah tantangan paling berat, karena segala sumber kehancuran, kerusakan dan kematian manusia bersumber dari sini. Dalam perjalanan dan catatan sejarahnya, dari dulu sampai sekarang, umat Islam di dunia banyak terbunuh bukan karena pertikaian dengan yang berbeda agama, tetapi karena pertikaian diantara  sesama umat Islam sendiri.

Sumber : Google
Pembantaian yang dilakukan Hulagu Khan yang nota benenya terjadi antara Islam dan non Islam ketika merebut Baghdad (10 Februari 1258), dengan perkiraan paling rendah menewaskan 90.000 orang dan perkiraan lebih tinggi menewaskan ratusan ribu hingga jutaan, belum sebanding dengan pembantaian sesama Islam yang dilakukan oleh Timur Lenk. 

Sumber-sumber kontemporer menyebutkan bahwa pasukan Timur Lenk membunuh setidaknya 19 juta jiwa dalam usahanya memperluas wilayah dengan memerangi muslim lainnya. Timur memang sosok yang dikenal suka membunuh siapa saja yang menjadi sasarannya. Ketika melakukan invasi ke Khwarizmi, ia membunuh semua lelaki di kota tersebut dan menjadikan semua wanita sebagai budak. Di Isfizar, Timur Lenk menumpuk dua ribu mayat dan disemen hidup-hidup ke dinding. Di Baghdad, 90 ribu manusia dibantai dan kepalanya disemen ke dalam 120 menara. Ia juga mengubur hidup-hidup 4 ribu orang Armenia di Sivas. 

Perang Irak – Iran selama satu decade (1980 - 1988) telah menewaskan 2 sampai 3 juta jiwa. Suku Kurdi, etnis terbesar didunia, Bangsa yang diklaim tanpa negara ini, 1,5 juta jiwanya di bantai oleh Turki dan 180.000 jiwa di bantai  oleh Irak. Semua terjadi antara muslim dengan muslim, bukan antara muslim dan non muslim. 

Konflik di Afganistan, Pakistan, India, Yaman dan Arab Saudi, hatta Indonesia adalah cerita lain yang sama dan selalu berulang bahwa diantara sesama Islam saling membunuh, saling meniadakan kehidupan dan saling tidak menjaga keberlansungan hidup manusia, tidak ada yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini, manusia selalu hidup dalam ancaman, hidup dalam ketakutan, setiap detik bisa terbunuh, karena tidak adanya jaminan keamanan. 

Lantas, mengapa konflik yang mematikan ini terus terjadi ?, selain karena persoalan minyak dan sumber ekonomi lainnya, mengedepankan agama, mengedepankan sekte, mengedepankan mazhab, aliran daripada mengedepankan persaudaraan dalam segala perbedaan adalah penyebab utama segala pertikaian, fragma ini adalah titik krusial dan paling parah dari relasi antar sesama muslim di dunia. Merasa paling benar, merasa paling otoritatif dalam keimanan adalah juga sumber utama terjadinya pertikaian dan pembantaian diantara sesama Islam. Ketika umat Islam di dunia tidak menghindari ini, maka dajjal naik turun sampai tujuh kalipun tidak akan pernah terwujud persaudaraan sejati tanpa saling menyakiti diantara sesama umat Islam. 

Apakah persaudaraan tanpa pertikaian dan pembunuhan bisa terwujud diantara sesama umat Islam dunia dan bisakah semuanya disatukan dalam persaudaraan ?. Tentu bisa dan hanya bisa dilakukan, disatukan oleh sosok yang punya kapasitas dan otoritas spiritual untuk dunia, tidak untuk kaumnya, tidak untuk sukunya, tidak untuk negaranya sendiri, tetapi untuk dunia. Jika tidak punya kapasitas dan otoritas spiritual untuk dunia ini, maka tidak akan ada yang bisa menyatukannya sekalipun sekaliber Syaikul Islam di Mesir atau Syaikhul Islam zaman Turki Usmani dulu. Tidak bisa juga dilakukan oleh sosok seorang presiden negara Islam, atau sosok pemimpin organisasi Islam dunia. 

Dengan narasi lainnya, kapasitas ini tidak mungkin juga bisa dilakukan oleh sosok ulama syariat atau ulama fikih sekalipun reputasinya mendunia, karena ulama syariat adalah ulama yang mengurus perkara ritualitas dan terlalu mengurus perkara ritualitas, maka pasti akan tetap terjadi benturan, karena manusia diihat berdasarkan sekat sekte, aliran, mazhab, sehingga konflik pasti akan terus berulang dan tidak pernah akan selesai. 

Mata rantai permusuhan, mata rantai pertikaian hanya bisa diputus dan kembali disatukan oleh sosok ulama sufi selevel Mursyid yang kapasitas dan otoritas spiritualnya berlaku untuk dunia. Kapasitas dan otoritas spiritualnya ini bisa di uji, bisa dibuktikan kekuatannya, karena kekeramatan dan powernya itu unlimited.

Ulama Sufi sebagai sosok Mursyid yang Kamil Mukamil ini tidak lagi bicara ritual agama, juga formalitas agama, juga tidak lagi bicara tasawuf dalam level kajian,  tetapi sudah tasawuf praktek, sudah pada level pembukitan kekuatan agama, pembuktian kekeramatan dan pembuktian power spiritualitas yang melampaui semua ritualitas. Ketika kapasitas dan otoritas spiritual, power, kekeramatanya adalah untuk dunia, maka sosok ini tentu menaungi semua umat Islam di dunia dan menaungi semua umat manusia didunia. 

Sekarang semuanya terserah kepada umat Islam dunia, apakah ingin terus bertikai dan saling membantai atau mengakhiri semua pertikaian ini dengan menghimpun dan menyatukan diri dibawah naungan Ulama Sufi Mursyid yang Kamil Mukammil ini sehingga semuany bersatu dalam persaudaraan yang membawa rahmatan lil’alamin ? 

Wahai Umat Islam sedunia, mari membuktikannya dengan menghimpun diri dalam barisan persaudaraan sejati dibawah naungan Ulama Sufi sang Mursyid Sejati….

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :