“Menggugat Otoritas Agama : Abdul Karim Soroush, Bapak dan Fikih Sunnah”

Ketika hendak mengambil sebuah buku di rak, saya menemukan buku fikih sunnah karya Sayyid Sabiq, saat buku ini saya pegang, tiba-tiba terlempar ke 21 tahun lalu ….

Membaca adalah keseharian bapak. Lelaki yang hampir menjadi romusha ketika zaman penjajahan Jepang ini membaca buku yang bervariasi, mulai dari sejarah nabi-nabi, fikih, tasawuf dan juga sejarah, terutama sekali sejarah Aceh. Sampai batas akhir hidupnya, bapak sering melafazkan beberapa salam keseharian dalam bahasa jepang dan beberapa istilah kemiliteran Jepang kepada kami anak-anaknya.
Tempat membaca yang paling favorit bagi bapak adalah ruang belakang rumah, ruang belakang ini adalah ruang makan yang lumayan luas, disitu ada sebuah jendela yang kalau dibuka, lansung didapati pemandangan pepohonan hijau yang rimbun, bagus sekali untuk mata. Ruang belakang rumah ini, fondasinya lumayan tinggi, sekitar 2, 5 meter, karena kontur tanah dibelakangnya menurun sehingga fondasinya yang ditinggikan dan tidak ditimbun untuk diratakan. Karena fondasinya tinggi, ketika jendela dibuka, maka pandangan lansung tertuju kepucuk pohon 
Dinding belakang rumah ini tidak diikat bata, tetapi seluruhnya dicor, karena ketika rumah kami dibangun, saat itu Sabang sedang sering dilanda gempa, sehingga saat itu bapak berfikir untuk dicor saja supaya lebih kuat, sedangkan bagian depan rumah semi permanen, belakangan bapak bercerita bahwa sebenarnya bapak ingin agar bagian depan itu dibuat permanen, tetapi karena sering gempa, amarhumah ibu meminta agar dibuat semi permanen saja, akhirnya bapak mengalah, sedangkan ruang belakang, bapak tidak mau mengalah lagi, dan ruang belakang rumah adalah hasil negosiasi dengan ibu, sehingga dindingnya permanen, karena ibu juga ingin dibuat semi permanen juga, untuk bagian belakang rumah, bapak pemenangnya.
Saban hari saya pulang dari sekolah atau saban hari saya pulang kerumah dari bermain, apakah mandi laut di pantai sumur tiga, main bola dilapangan Sabang Meurauke atau berburu burung dengan ketapel (gando) saya mendapati bapak selalu membaca. Kadang sesekali bapak juga membaca diteras depan, juga diruang tamu. Ketika membaca, selalu ditemani dengan segelas kopi dan juga rokok kisaran ditangannya. Ketika sesekali berbicara dengan saya ketika membaca, bapak selalu menaikkan kacamatanya dan mematikan rokoknya, sekalipun rokok itu baru saja dihisapnya. 
Karena kebiasaan membaca ini, terutama bacaan fikih, bapak sering menjadi tempat orang bertanya mengenai hukum-hukum agama, hukum waris, persoalan zakat (sesuatu yang saat ini begitu mudah kita dapatkan di google, namun tidak dengan jaman dulu). Saya ingat betul, suatu hari, beberapa orang yang hendak berangkat haji dari Sabang, mereka menemui bapak dan bertanya tentang hukum dan tata cara haji, meskipun mereka telah mengikuti manasik dengan serius, bahkan ketika mereka kembali dari haji mereka juga datang kerumah untuk bertanya dan menceritakan perjalanan mereka ketika haji dan bertanya sah atau tidak ibadah yang mereka lakukan dari segi fikih.
Bapak juga menjadi tempat orang bertanya tentang tajwid dan bacaan – bacaan Quran, karena bapak juga menerima murid untuk belajar mengaji dirumah sampai akhirnya perangkat gampong memintanya untuk menjadi guru mengaji di meunasah gampong dan semuanya disentralkan ke meunasah gampong. 
Ketika SD, saya diajak bapak untuk menemaninya kepasar, rupanya bapak membawa saya kesebuah toko buku dan kitab, toko ini letaknya dibawah tangga tujuh (orang sabang pasti tahu ini ), toko ini kepunyaan alm. Haji idris yang juga tinggal sekampung dengan kami di Ie Meulee. Ketika kembali keingatan itu, buku yang saya minta belikan ke bapak adalah buku cerita bergambar tentang nabi Isa, tentang surga – neraka dan juga kisah nabi Sulaiman Saat itu, buku yang paling serius saya baca adalah tentang nabi isa, nabi sulaiman dan tidak terlalu serius membca buku surga neraka, karna bagi saya ukuran seorang anak SD saat itu, buku surga neraka ini terlalu kejam dan tidak sopan. 
Ada satu sisi yang menarik dari bapak, walaupun beliau serius membaca tentang fikih, tetapi beliau juga sangat suka dengan tasawuf. Ilmu Irfan ini, mirip sebuah pengalama yang beliau alami. Beliau bercerita kepada saya dan tentu kepada abang dan kakak saya juga, bahwa, dulu, ketika Jepang dengan suka hatinya mengambil anak-anak muda untuk dijadikan romusha, saat itu bapak berada di masjid, beliau sedang shalat zuhur, tiba-tiba beliau melihat satu sosok yang berada didekat beliau, dari penuturan bapak, perawakan orang itu seperti orang-orang saleh jaman dulu, pria tersebut berkata kepada bapak : “kamu disini saja, jangan pindah dan jangan keluar”. Ketika itu tentara Jepang memang mondar-mandir didepan, namun sama sekali tidak melihat bapak, sampai akhirnya tentara Jepang berangkat dan tidak ada yang tersisa. Cerita ini sering diceritakan bapak tidak hanya kepada anak-anaknya, tetapi juga kepada orang-orang tua yang datang kerumah, bahkan ketika sesekali saya juga mendengar cerita tentang pengalama bapak tersebut dari orang lain yang menceritakan kepada saya. 
Cerita kemudian berlanjut, ketika saya kuliah, saya melanjutkan bacaan-bacaan saya kepada bacaan-bacaan kritis, saat itu saya serius sekali membaca dan mendalami buku “Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama Abdul Karim Soroush, dari sinilah cerita tersebut bermula…
Ketika libur semester yang lumayan lama, saya terbiasa membawa banyak buku ke Sabang untuk dibaca, saya meminjam banyak buku di pustaka bahkan ketika mengembalikan buku tersebut saya harus membayar denda yang berlipat-lipat, namun berkat negosiasi yang alot, saya boleh membayar setengah dari denda tersebut.
Suatu hari, saya membaca buku tersebut diruang tengah, disitu juga terletak buku fikih sunnah yang sering dibaca bapak, ketika membaca, tiba-tiba seorang teman menelpon bahwa semua teman – teman seangkatan MAN dulu sedang berkumpul dan menunggu saya untuk datang, maka saya segera beranjak, karena susah juga mencari momen semua bisa berkumpul, buku tersebut lupa saya pindahkan. Setelah bernostalgia bersama teman-teman, akhirnya saya pulang kerumah, ketika menuju keruang tengah, bapak rupanya sudah berada disitu dan sedang memegang dengan serius buku Soroush tersebut, ketika melihat saya, kacamatanya di naikkan (ini tanda serius dalam hati saya). 
Benar saja, bapak menyatakan beberapa keberatan – keberatannya terkait beberapa isi buku tersebut, terutama dibagian “Etika Tuhan” dan juga teori “Qabdh wa Bast (penyempitan dan perluasan interpretasi agama), bahwa Soroush melawan absolutisme pemikiran keagamaan yang mempertanyakan kembali absolutisme dan rigiditas praktik-praktik keagamaan. Soroush sedang mengonstruksi sebuah kondisi sebagai dasar bagi perubahan politik sebagaimana pembaruan keagamaan Setiap orang memiliki kualitas keilmuan berbeda begitupun hak untuk berusaha memahami agama yang berbeda, bentuk pemahan seseorang terhadap agama dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah lingkungan dan derajat keilmuan. Dengan demikian pemikiran keagamaan yang bersifat manusiawi itu bisa berfariasi antara satu pemahamandengan pemahaman lain. Menurut Soroush, agama turun atas kehendak Tuhan, tetapi penafsiran terhadap agama tergantung pada manusia. Untuk itulah ilmu agama hadir, yang bersifat manusiawi dan bergantung pada derajat keilmuan mufasir. Jadi perbedaan antara keduanya dan ketentuan atas perwujudannya adalah bagian dari wilayah ―ilmu agama dan—dengan demikian—keduanya menuruti interpretasi tertentu terhadap agama. Ketentuan atas unsur-unsur yang konstan dan yang varian tidak akan diperoleh sebelum pemahaman agama, melainkan setelahnya.
Saya terlibat dalam diskusi yang serius dan alot dengan bapak, akhirnya saya menyampaikan satu kata kunci untuk mengakhiri diskusi dan perdebatan, yaitu : “Agama tidak boleh dikritik, tapi pemikiran keagamaan sah untuk dikritik (walaupun bagi saya agama itu sah-sah saja dikritik), kedua hal itu harus dibedakan. Saya mengurainya juga menggunakan argumen – argumen fikihnya Abdul Karim Soroush. 
Bapak akhirnya menerima argumen saya dan setuju dengan bagian mengkritik pemikiran keagamaan, akhirnya bapak berkata kepada saya : “Teruskan, kamu tentu tahu mana yang baik dan tidak baik, karena saya membesarkan kamu untuk menjadi benar dan tidak untuk menjadi sesat”
Diakhir diskusi yang sangat membekas hingga saat ini, saya juga menceritakan bahwa saya sudah mengambil Tarekat dan menjalani praktek Tarekat, dan di Tarekat saya menemukan jawaban dari semua pertanyaan – pertanyaan saya yang tidak terjawab dimanapun, saya menemukan dan merasakan ketenangan, kedamaian yang hakiki di Tarekat dan tarekat ini adalah terminal terakhir saya, hidup dan mati, dunia dan akhirat bagi saya. 
Yang membuat saya terhentak adalah jawaban bapak : “bagus itu, teruskan, tarekat itu memang ruhnya orang Aceh jaman dulu, semakin banyak orang mempraktekkannya maka akan semakin bagus….”
Setelah sore itu, sampai akhir hidupnya bapak tidak lagi mempertanyakan apapun, bagaimana pemikiran saya, mengapa saya berargumen seperti itu atau seperti ini, melainkan hanya menanyakan ; “apa kabar ?, sehat ?, kapan rencana pulang ?,..
Selamat beristirahat dalam keabadian pak...

Al- fatihah…

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Irman
    Irman 1 Desember 2021 pukul 13.36

    Inspiratif skli bg 👍

Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :