Apakah Syariat Islam Aceh Memperbesar Persaudaraan Manusia ?


Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, tidak hanya rahmat bagi sesama umat muslim. Kitab Suci pun menegaskan bahwa Tuhan memang menghendaki perbedaan, dimana perbedaan itu hendaknya disikapi muslim sebagai rahmat, oleh sebab itu diupayakan budaya saling bersilaturahmi, yaitu sikap terbuka untuk saling kenal-mengenal. Maka yang dituntut dalam bermuamalah  dan bersilaturahmi dengan yang berbeda adalah menjaga prinsip keadilan. Jangan sampai ketidaksukaan kita pada suatu kaum membuat kita berprilaku tidak adil. Dan jangan pula kita suka melakukan black campaign kepada kelompok yang tidak kita suka, karena bisa jadi mereka lebih baik dari kita. Narasi ini merupakan nilai normatif Islam. 

ilustrasi sebuah persaudaraan 
Sumber : Google 

Aceh sebagai provinsi yang melaksanakan syariat Islam, melalui semua aparatunya sebenarnya wajib  mennegakkan  keindahan Islam ini, dengan memperbesar dan memperkuat persaudaraan Manusia, termasuk membumikan nilai-nilai persaudaraan dan perdamaian antar kelompok yang berbeda, baik berbeda mazhab, aliran, ideologi, maupun agama.

Namun realita yang terjadi akhir-akhir ini berbanding terbalik dengan yang diharapkan tersebut. Pelaksanaan Syariat Islam yang dipraktekkan pun dipertanyakan nilai keadilannya, dipertanyakan spirit memperbesar ukhuwah, persaudaraan manusia. Dalam situasi kultur yang mudah curiga, cepat berburuk sangka,  massa yang mudah terprovokasi, bagaimanakah Syariat Islam bisa berperan? Atau, apakah Syariat Islam memang menghendaki dan mengakomodir  hal yang demikian ?, mengakomodir warga yang selalu curiga pada yang dianggap baru dan berbeda ?. Sebenarnya, Syariat Islam Kaffah seperti apakah yang diinginkan di Aceh?, apakah menginginkan model seperti Afganistan yang saat ini dikuasai taliban yang melarang dan membatasi wanita beraktifitas diruang publik, mengharamkan musik, selalu berprasangka negatif terhadap keramaian dan selebrasi, melarang fasilitas hiburan untuk publik.

Dalam praktek lanjutan, misalnya, bagaimanakah sikap Syariat Islam versi Aceh dalam menyikapi doktrin-doktrin para fundamentalis, ekstrimis dan para teroris?, apakah ruang dukungan melalui syariat Islam yang di praktekkan memberikan ruang yang besar bagi tumbuh dan menguatnya paham-paham seperti ini ?, karena benih-benih “garis keras” ini lahir dari tidak adanya ruang-ruang pertemuan dengan spirit ukhuwah, yang tidak mengakomodir segala perbedaan, tetapi mengutamakan ego mazhab atau ego kelembagaan Pendidikan, ego lembaga atau wadah pengajaran keagamaan. Spirit ini misalkan dapat terwujud pada simulasi seperti ini : “ karena Republik Indonesia bukan Negara Islam, maka seluruh Undang-Undang termasuk aparatur pemerintah tidak perlu untuk dipatuhi. Justru mereka kafir karena tidak berhukum dengan hukum Allah.

Setidaknya ada tiga prinsip Islam yang menjadi landasan para teroris, ekstrimis dan fundamentalis  melakukan tindak kekerasan. 

Prinsip yang pertama yaitu prinsip Amar Ma`ruf Nahi Mungkar, yaitu bila kamu melihat kemungkaran, maka level iman yang paling tinggi yaitu mereka yang menghentikannya dengan tangan. Disinilah “main hakim” sendiri dimulai.

Prinsip kedua ialah al-wala’ wal bara’. Ini doktrin tentang tak boleh terbelahnya loyalitas seorang muslim.. Loyalitas (al-wala’) terhadap Islam tak boleh terbelah. Dengan loyalitas itu, seorang muslim harus membebaskan diri dari favoritisme lainnya (bara’). Seorang muslim hanya boleh mengidolakan Allah dan rasulnya, tak boleh ikut-ikutan mengidolakan Lionel Messi, David Beckham, dan Maradona. Bahkan salah satu alasan teroris mengebom Hotel JW Marriott beberapa tahun kebelakang ialah agar muslim Indonesia tidak membagi wala’-nya kepada Manchester United, yang sedianya akan menginap di hotel itu. Mereka harus bara’ (disloyal) kepada segala sesuatu selain Allah.

Ketiga, doktrin yang paling mematikan dan sudah tak asing lagi tentulah soal jihad. Terlepas dari kontroversi soal absah-tidaknya aksi-aksi mereka disebut jihad, doktrin ini nyata telah memukau banyak sekali umat-umat yang tidak waspada. Dalam suatu situs jihadis disebutkan, maksud dari jihad ini adalah “menguasai suatu wilayah yang telah direbut dan memberlakukan syariat Islam secara kaffah”. Ini mirip dengan konsep qaidah aminah (daerah basis/safe heaven) yang hendak ditegakkan kalangan jihadis di Poso. Bagi mereka, inilah wujud janji Allah dalam surat An-Nur ayat 55: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh di antara kalian untuk benar-benar menjadikan mereka khalifah dan memapankan mereka sebagai penguasa di muka bumi (wa layumakkinannahum fil ‘ard), sebagaimana telah Dia jadikan berkuasa orang-orang sebelum mereka…”.

Apakah syariat Islam di Aceh memperbesar persaudaraan manusia atau sebaliknya ?

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :