Utopia Bidadari, langgengnya “Kebodohan” dan punahnya “Kecerdasan”

Nun jauh disana, diseberang rasio dan akal, ada tawaran utopis yang tidak beresiko, disertai kenikmatan tidak berperi, yaitu bidadari di surga nan abadi. Narasi ini berlaku terutama dikalangan orang atau kelompok orang yang selalu menekankan, membesar-besarkan tafsir libidinal yang meluap-luap tentang kehidupan di surga kelak paska alam semesta ini hancur. Melampaui kejenuhan yang dialami Thomas More, yang mendorongnya menulis tentang utopia, kaum ini menganggap kehidupan didunia tidak ada artinya sama sekali selain mencari jalan untuk mendapatkan imbalan bidadari di surga. Hitungannya bukanlah satu bidadari, tetapi puluhan bidadari, mereka dengan tekun menghitung berapa jumlah pintu kamar, berapa jumlah tempat tidur disetiap kamar dan berapa jumlah bidadari yang mengisi tempat tidur disetiap kamar sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan didunia. 

 

Apa yang diungkapkan, apa yang ditafsirkan oleh kaum yang menjadikan agama sebagai birahi  ini, melebihi narasi tentang keutamaan dan pentingnya bertemu dengan dzat yang Maha Rahman, dzat yang menjadikan kehidupan mereka ada. Mereka melukiskan kenikmatan bertemu bidadari melampaui kenikmatan bertemu dengan Tuhan. Mereka menafsirkan nafsu dihadapan Tuhan itu lebih penting, tenimbang melihat Tuhan tersenyum dan menyapa mereka, padahal sejatinya, kalau mereka bertemu Tuhan,  mereka tidak bisa meminta apa-apa lagi, karena bagaimana mungkin ada nafsu lagi Ketika sudah berada dihadapan Tuhan, inilah puncak segala kenikmatan. Ketika ruh bertemu dengan ruh, nafsu apa lagi yang mau dimainkan, dimensi sudah berbeda, alampun sudah berbeda. Dari fenomena ini, jika umat terus terlena pada tafsir-tafsir model ini, maka hasilnya bagi umat Islam didunia adalah : kebodohan terus langgeng dan kecerdasan punah seketika.

Source : Google
Manusia dikatakan cerdas adalah ketika bisa bertemu Tuhan, kecerdasan ruhani (ruh) lebih tinggi dimensinya daripada kecerdasan akal, karena akal tidak mungkin bisa mengendalikan ruh, akal tidak bisa mengarahkan manusia bertemu Tuhan, hanya bisa mengarahkan manusia mempercayai Tuhan, itupun pengkor-pengkor. Kecerdasan ruhani tentu dimensinya lebih tinggi dari kecerdasan akal,  karena dia bekerja tidak lagi berdasarkan hukum nalar, tetapi sudah hukum Tuhan, berdasarkan kerja Tuhan dan berdasarkan gerak Tuhan, dipandu lansung oleh Tuhan. Tentu berbeda, ketika manusia memandu akalnya, namun Tuhan memandu ruh nya, tentu dimensi Tuhan pasti lebih tinggi.

 

Kisah – kisah tentang birahi ini terus diproduksi, terus direproduksi bahkan terus direplikasi untuk merangsang orang menegakkan birahi mereka, daripada menegakkan agama. Terus menciptakan manusia, terus melahirkan umat yang beragama dan bertuhan untuk mencari imbalan, daripada beragama dan bertuhan dengan tulus dan ikhlas. Sebenarnya, kaum penafsir ini adalah parasit bagi Tuhan, karena merusak yang lain untuk keuntungan sendiri,  segala hal sudah tersedia disana, menjadi konsumen yang hanya mengkonsumsi tanpa pernah memproduksi, tidak perlu bekerja, tidak pernah sakit dan tidak pernah mati lagi. 

 

Sudah berbilang orang bijak dan bestari yang meluruskan pandangan dan pengandaian surga yang keliru seperti itu, tetapi mereka tetap berkeras menghimpun manusia, menghimpun kekuatan bersenjata untuk menguasai dunia. Sepak terjang mereka adalah menciptakan maut dan sama sekali tidak menciptakan rahmat. Untuk mendapatkan bidadari itu, mereka dianjurkan untuk membunuh orang lain yang memiliki keyakinan dan pemahaman yang berbeda. Sebagian dari mereka bahkan mendeklarasikan diri sebagai orang yang berani mati. Dipermukaan mereka tampak gagah dan patrotik sebagai pembela kebenaran, pembela agama yang mereka yakini, tetapi dibalik itu mereka adalah orang-orang yang putus asa, karena hakikatnya eksistensi mereka tidak dibutuhkan dunia dan sama sekali tidak diperhitungkan dunia, dan karenanya hidup bagi mereka lebih menakutkan ketimbang kematian, dan lantas beramai – ramai untuk segera mati dan selalu bermimpi untuk mati, untuk mendapatkan birahi abadi tanpa pernah berhenti. 

 

Kaum ini adalah kaum yang hanya berani mati, tetapi sama sekali tidak berani untuk hidup. Ketika supremasi dunia tidak dapat mereka raih, dan mereka tetap hidup dan tinggal didunia sebagai debu, maka mereka memandang dunia ini dengan iri dan putus asa, sehingga secepat-cepatnya mereka ingin menghancurkan dunia ini, dengan senapan, bom, dan siap membantai dunia dengan horor dan terror. Mereka adalah orang-orang yang menyesal telah dilahirkan kedunia, dan sesegera mungkin ingin segera mati untuk menyudahi kehidupan, agar mimpi itu segera terbayar lunas, disana. Karena hanya kematian yang bisa menghantarkan mereka bertemu bidadari. Diantara semua model kaum ini, ada yang lebih berbahaya lagi, yaitu kaum yang tidak bersenjata, tidak begitu tampak melakukan teror, tetapi mereka sering berteriak dan paling rebut terhadap semua yang berbeda.

Lalu apakah bidadari itu ?, siapakah bidadari itu ? 

 

Dalam Al-Qur’an kita menemukan sekurang-kurangnya 8 kelompok ayat yang memuat kata tentang bidadari di surga. Dari 8 kelompok ayat tersebut hanya 3 ayat yang menyebut secara jelas tentang bidadari, yaitu kata “huurin ‘iin” :

Kadzaalika wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin

"demikianlah. Dan Kami berikan kepada mereka bidadari". (QS 44 : 54)

 

Muttaki-iina ‘alaa sururin mashfuufatin wazawwajnaahum bihuurin ‘iinin

"mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli". (QS 52 : 20)

 

Wahuurun ‘iinun, ka-amtsaali allu/lui almaknuuni

"Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik". (QS 56 : 22-23)

 

Apabila ditelusuri, kata bidadari melalui kata ganti, termuat dalam 5 kelompok ayat Al-Qur’an, yaitu : 

 

1. wa’indahum qaasiraatu alththharfi ‘iinun, ka-annahunna baydhun maknuunun

"Di sisi mereka ada bidadari-bidadari yang tidak liar pandangannya dan jelita matanya, seakan-akan mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan dengan baik". (QS 37 : 48-49)

 

2. wa’indahum qaasiraatu alththharfi atraabun

"Dan pada sisi mereka (ada bidadari-bidadari) yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya". (QS 38 : 52)

 

3. fiihinna qaasiraatu alththharfi lam yathmitshunna insun qablahum walaa jaannun, ka-annahunna alyaaquutu waalmarjaanu

"Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang sopan menundukkan pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka (penghuni-penghuni syurga yang menjadi suami mereka), dan tidak pula oleh jin". (QS 55 : 56)

"Seakan-akan bidadari itu permata yakut dan marjan". (QS 55 : 58)

 

4. fiihinna khayraatun hisaanun, huurun maqshuuraatun fii alkhiyaami

"Di dalam surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik". (QS 55 :70)

(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah". (QS 55 : 72)

 

5. innaa ansya/naahunna insyaan, faja’alnaahunna abkaaraan, ‘uruban atraabaan

"Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya". (QS 56 : 36-37).

 

Dari kelima kelompok ayat tersebut hanya nomor 5 yang secara jelas menyebut objek yang dimaksud adalah berjenis kelamin wanita, sedangkan keempat ayat lainnya tidak secara jelas mengindikasikan apakah yang dimaksud adalah wanita atau bukan. Tafsir Jalalain juga memberikan penjelasan bahwa makhluk yang diciptakan tersebut adalah bidadari sekalipun Al-Qur’an tidak menyebut objeknya, dan kata ‘insyaa’an’diartikan dengan kata ‘langsung’ yaitu yang diciptakan tanpa melalui proses kelahiran terlebih dahulu, sedangkan Tafsir Al-Mishbah tidak mengartikannya sebagai ‘bidadari’ dan tetap memakai kata ganti ‘mereka’, sedangkan kata ‘insyaa’an’ ditafsirkan dengan kata ‘sempurna’, sehingga bunyinya : ”Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dengan penciptaan sempurna..”, suatu penafsiran yang belum tentu berarti ‘diciptakan tanpa melalui proses kelahiran’.

 

Bidadari itu tidak laki-laki dan tidak juga perempuan, tetapi cahaya.  para ahli hakekat mengartikan ciri-ciri tersebut secara majaazi, yaitu istilah kata ”Huurin 'iin” sebenarnya terdiri dua kata yaitu Huuri atau haura yang artinya ”tampak sedikit keputihan pada mata disela kehitamannya (dalam arti yang putih sangat putih dan yang hitam sangat hitam)”. Bisa juga ia berarti "bulat", ada juga yang mengartikan "sipit" atau " lonjong". Sedangkan kata ‘iin’ adalah jamak dari kata ‘aina’ dan ‘ain’ yang berarti " mempunyai mata yang besar dan indah". Berdasarkan arti kata tersebut, "huurin ‘iin" secara hakekat adalah Penampakan (Tajalli) Nur Ilahi yang wujudnya seperti Misykat yang di dalamnya ada Al Misbah, seperti yang diisyaratkan dalam Surat An Nuur 24 ayat 35 dan Hadits Nabi Muhammad Saw.

 

"Allah adalah Cahaya langit dan bumi. Perumpamaan Cahaya-Nya, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus (misykat) , yang di dalamnya ada pelita besar (misbah). Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya) , yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS 24 : 35)

 

Kemudian Jibril mengantar aku ke Sidratul Muntaha, yang diliputi oleh Cahaya berwarna-warni yang sulit dilukiskan keindahannya. Kemudian aku masuk ke dalam Jannah, yang cahayanya seperti cahaya cutiara” (HR Bukhari)

 

Begitulah kehidupan, bagi kelompok yang selalu menggandrungi bidadari, sesuatu yang abstrak, dikongkritkan oleh mereka, sedangkan yang nyata-nyata kongkrit, yaitu bertemu Tuhan didunia, di abstrakkan oleh mereka.

 

Semoga umat Islam segera terbebas dari utopia bidadari…

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :