Lama - lama Aceh Bisa Miskin Karena Syariat
Didunia ini, persoalan terbesar bagi manusia hanya 2, pertama, tidak kenal Tuhan dan kedua, kemiskinan. Persoalan beragama atau tidak beragama, persoalan pendangkalan aqidah, siapa yang Islami dan tidak Islami, siapa yang paling syariat dan tidak bersyariat, bukanlah persoalan yang begitu besar dan begitu penting bagi manusia. Sebuah pemerintahan lebih baik menfokuskan segala sumber dayanya kepada peningkatan kesejahteraan manusia dan tidak perlu mengurus terlalu dalam, apalagi mengatur-ngatur perjalanan setiap manusia untuk mengenal Tuhannya, terserah bagaimanapun cara yang ditempuh manusia tersebut.
Bicara kemiskinan, tidak ada kemiskinan paling besar setelah kemiskinan ekonomi selain kemiskinan spiritual dan tidak ada kemiskinan spiritual paling besar selain tidak mengenal Tuhan. Sekalipun manusia itu sejahtera, beribadah dalam kacamata syariat nyapun sudah sangat surplus, tetapi dia tidak kenal Tuhan, maka dia adalah manusia yang paling miskin. Maka pilihannya yang paling baik adalah sejahtera dan kenal Tuhan.
Sekarang mari kita lihat pemerintah Aceh, selama ini mereka lebih fokus kemana, lebih fokus kepada peningkatan kesejahteraan atau lebih fokus kepada menghadirkan agama diseluruh ruang publik manusia. Ketika yang paling dominan dilakukan adalah menghadirkan agama diseluruh ruang publik manusia, maka isu agama ini rentan sekali menghantam dunia usaha, menghancurkan pasar perputaran uang, karena perputaran ekonomi di Aceh kebanyakan harus dikelola dengan manajemen destinasi, artinya, diantara berbagai sektor perputaran ekonomi Aceh adalah sektor pariwisata, cafee, sebagai tempat manusia mengadakan selebrasi, nongkrong bersama, jadi sangat wajar sekali jika di café – cafe itu sering ada live music nya dan tentunya tidak ada yang berlebihan dari praktek itu, sehingga harus dihentikan, di usir dan lain sebagainya.
Kata kunci Islam itu adalah “ Selamat dan Sejahtera”, selamat dunia dan akhirat sebagai dan sejahtera secara ekonomi. Seharusnya pemerintah memegang teguh ini, namun pemerintah baik dilevel provinsi maupun kabupaten kota tidak pernah punya otoritas maupun kapasitas untuk memberi keselamatan manusia dunia dan diakhirat, itu wilayahnya Wali Allah, itu adalah otoritas Wali Allah, bukan wilayah dan otoritas pemerintah. Pemerintah hanya punya kapasitas dan otoritas untuk mensejahterakan manusia dengan segala kuasanya.
Demikian juga halnya dengan sektor pariwisata, pemerintah Aceh itu harus menghidupkan semua sektor pariwisata. Karena sektor pariwisata ini erat kaitannya dengan mensyukuri nikmat dan karunia Tuhan yaitu berupa alam yang indah yang memang sunnatullah untuk dinikmati, jadi mengusir manusia- manusia yang sedang berada dipantai, menikmati matahari terbit, menikmati sunset itu bertentangan dengan sunnatullah, orang menikmati keindahan ciptaan Tuhan kok di usir, Tindakan ini sangat irrasional. Menikmati keindahan pantai, keindahan alam, itu alamiahnya manusia, dan yang paling penting di Imani adalah, bala Tuhan itu bukan karena ramai orang berada dipantai, atau ramai orang yang menikmati live music, tetapi karena manusia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Secara real, manusia itu hidup dalam dua arus utama yang paling dekat dengan keseharian mereka yaitu sejahtera, berkecukupan atau miskin dan serba kekurangan, inilah kondisi paling faktual yang dihadai manusia. Jika manusia miskin, maka mereka masih tetap pergi ke masjid, untuk shalat, artinya tetap bisa dilakukan setiap saat, tetapi ketika dia serba kekurangan, kadang untuk makanpun kekurangan, maka setelah dia shalat dari masjidpun, dia harus tetap memenuhi itu terlebih dahulu dan harus mampu menyelesaikan kebutuhannya itu. Jadi untuk apa pemerintah Aceh menghabiskan energi untuk mengurus persoalan – persoalan agama, yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh manusia, sedangkan persoalan kemiskinan, kebutuhannya sehari -hari, itulah yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, karena semua itu terkait dengan kebijakan dan aturan – aturan tertentu.
Menghadirkan hukum syariat juga bukan sesuatu yang main – main, sejatinya, hukum syariat itu baru bisa ditegakkan ketika bisa dipastikan bahwa tidak ada lagi orang yang kelaparan disebuah daerah, baru syariat Islam ideal untuk ditegakkan. Karena jika tidak, pemerintah akan paling sering mempraktekkan ketidak adilan dalam penegakan hukum dan ini sudah terjadi sehari-hari di Aceh. Syariat Islam yang ingin ditegakkan fokuskan saja kesejahteraan, bukan kepada penghukuman atau syiar- syiar besar yang memakan anggaran secara berlebihan, lebih baik dana itu digunakan untuk mensupport UMKM.
Jika bicara pemerintah Aceh, maka pemerintah Aceh itu bukanlah pemerintahan Islam, jika bukan pemerintahan Islam, mustahil bisa menjadi pemerintahan yang Islami, sebuah negara yang mendeklarasikan dirinya sebagai pemerintahan Islam pun, belum tentu Islami, konon lagi yang bukan pemerintahan Islam. Jadi pertanyaan kuncinya adalah : “ Islamikah pemerintah Provinsi Aceh ?”, “ Islamikah pemerintah Kabupaten kota di Aceh ?, jika tidak Islami, lalu “ bisakah syariat Islam ditegakkan oleh pemerintahan yang tidak Islami ?”
Cara pembuat kebijakan mengelola Aceh itu lucu sekali, sekarang orang - orang didunia hidup sebagaimana kebiasaan dan kecendrungan dunia, sementara Aceh dikelola menjauh dari kecendrungan tersebut. Dikepala dan dipikiran para peramu kebijakan ini baik pemerintah maupun intelektual yang menuangkan pikirannya pada jalan syariah, seolah - olah Aceh ini hanya punya agama, tidak punya yang lainnya, Aceh ini dikondisikan bicara agama saja setiap detik.
Sepertinya mereka yang merasa diri pahlawan syariat lupa satu rumus bahwa "ketika disuatu tempat, disuatu wilayah atau disuatu negeri, yang dominan dan yang dibuat dominan adalah agama, maka segala kompetisi, segala kontestasi, segala persaingan adalah dibidang agama, sehingga bisa dibayangkan apa yang terjadi, segala ruang publik dijadikan agama, potensi pertentangan dan konflikpun semakin besar, karena ini adalah wilayah yang paling azasi. Sementara jika disuatu wilayah yang dominan bukan agama, tetapi sektor swasta misalnya, maka segala kompetisi adalah kompetisi usaha, pengembangan usaha, pengembangan industri, pembukaan industri - industri baru, sehingga orang - orang semakin kreatif, semakin kaya visi, semakin mengatasi pengangguran, karena lahirnya industri- industri baru, semakin menyerap tenaga kerja, semakin lahir industri – industri turunan, sehingga kemakmuran pun semakin tercipta.
Tulisan ini bukan anti syariat, tetapi hanya sebuah bentuk kegelisahan pada sia-sianya kebijakan yang dilahirkan tidak dari hati nurani, tetapi dari emosi, kebijakan yang lahir tidak dari akal rasional, tetapi dari nafsu. Dan syariat Islam yang murni itu bukanlah seperti yang dipraktekkan saat ini. syariat Islam yang dipraktekkan adalah versi pemerintah, bukan syariat Islam versi Tuhan, yang tentu sangat rentan penuh dengan segala kekotoran, sedangkan syariat Tuhan itu sangat Profan. Syariat Islam yang ideal itu tidaklah seperti yang sudah 20 an tahun kita alami ini.
Dalam sebuah pertemuan, disebuah tempat di Aceh, ketika penulis memfasilitasi diskusi tentang syariat Islam dan kesejahteraan, seorang peserta yang profesinya pekerja lepas, dengan sangat marah berkata “Kami tidak ada urusan dengan syariat Islam pemerintah itu, kami tidak peduli dengan syariat Islam yang ditegakkan pemerintah itu, kami melaksanakan sedniri keislaman kami. Setiap hari saya perlu uang minimal 70.000, untuk jajan anak sekolah, untuk makan dan lainnya, pemerintah tidak bisa memberikan ini, jadi untuk apa kami peduli pada kerja – kerja pemerintah yang sok syariat itu, yang seharsunya dikerjakan pemerintah ya fokus pada ekonomi ini
Sebenarnya, jika bicara eksistensi pemerintah dalam isu syariat, maka yang harus dibentuk itu bukanlah wilayatul hisbah, tetapi wilayah al-mazalim, yaitu sebuah lembaga yang dibentuk untuk mengontrol dan mengawasi secara ketat bagaimana perolehan harta-harta para pejabat negara, bagaimana para pejabatan negara mendapatkan kekayaan dari jabatannya itu dan juga harta- harta keluarga pejabat, karena diarea ini rentan sekali terjadi Tindakan korupsi, yang berdampak sangat besar pada kesejahteraan manusia.
Sebenarnya, dengan syariat Islamya, Aceh bisa memproduksi satu norma hukum atau norma lainnya yang bisa dijadikan rujukan bagi dunia, misal, dengan syariat Islamnya Aceh bisa menjaga sumber daya alam, bisa menjaga kerusakan lingkungan, bisa menjaga air, bisa meningkatkan kesejahteran dan pertumbuhan ekonomi, dengan syariat Islamnya Aceh tidak mempersulit bahkan memudahkan pendirian rumah ibadah agama- agama lain, mempraktekkan toleransi yang belum pernah ada didunia, dengan syariat Islamnya Aceh bisa menjaga anak -anak dan perempuan dari segala kejahatan seksual, tetapi momen itu sudah lewat, tidak mungkin bisa terulang lagi, selama 20 tahun pelaksanaan syariat Islamnya, Aceh hanya fokus pada penghukuman dan yang paling sering menjadi korbanya adalah rakyat kecil, Aceh telah menyia-nyiakan 2o tahun kesempatan emasnya.
Lalu lihatlah Aceh sekarang, miskin atau sejahtera ?. Ditengah kondisi yang seperti inipun, masih juga mengabaikan peningkatan kesejahteraan dan selalu mengarus utamakan syariat Islam sebagai senjata utama, sebagai benteng utama menutupi segala kebobrokannya, sehingga apa hasilnya ?, “lama -lama Aceh ini semakin miskin karena syariat yang dipraktekkan ”