Ziarah Religius : Menyelami Agama Sapta Darma


Kebanyakan orang Indonesia hanya mengenal 6 (enam) agama resmi, yaitu Islam, Hindu, Budha, Kristen, Katolik dan Konghucu. Sebagai sebuah bangsa yang besar dan beragam, ini adalah sebuah kekeliruan, karena ada banyak sekali agama di Indonesia. Agama-agama tersebut bahkan telah ada sebelum 6 agama ini hadir ke Indonesia. 

Penyebutan 6 agama sebagai agama  resmi negara adalah sebuah kerancuan dan sesat pikir, karena seolah-olah agama diluar enam agama ini yang telah menjadi darah daging nusantara adalah agama yang tidak resmi, sehingga dianggap tidak sah dan sering mendapat perlakuan diskriminatif, ditambah lagi salah tafsir dari para pemegang kebijakan yang tidak punya persfektif etis dan hanya punya persfektif identitas.

 

Agama-agama Leluhur (Agama asli Nusantara) adalah agama atau kepercayaan nenek moyang suku bangsa Austronesia,  yang telah ada di Nusantara jauh sebelum masuknya agama-agama asing dari subbenua India (Hindu dan Budha), Arab (Islam), Portugis (Katolik), Belanda (Kristen), dan Tiongkok (Konghucu).

 

Masing -masing kepulauan Nusantara punya agama atau kepercayaan yang bahkan  telah berusia ratusan tahun. Di kepualuan Sumatera ada Parmalim, Ugamo Bangsa Batak (UBB), Arat Subulungan, Fanomba adu, bahkan di Aceh Singkil ada agama Pambi.

Di Jawa ada Sunda Wiwitan, Sapta Darma, Kapitayan, Samin, di Nusa Tenggara ada Marapu, Wetu Telu, Jingi Tiu, di Kalimantan ada Kaharingan, di Sulawesi ada Aluk Todolo, Tolotang, Tonaas Walian, Masade, Ammatoa yang telah berusia 5 abad. 

 

Definisi Agama di Indonesia adalah Jiplakan dari Barat 

 

Pendefinisian agama di Indonesia kerap menimbulkan permasalahan, hal itu dikarenakan pendefinisian agama di Indonesia masih merujuk Barat, tidak merujuk kepada keaslian Nusantara.  

"Agama di Indonesia hari ini yang kita maknai adalah warisan atau jiplakan dari Barat, bukan agama yang dimaknai oleh masyarakat Indonesia. Kalau kita tanya masyarakat Indonesia, apa itu agama? Banyak definisinya dan bukan seperti agama yang diatur oleh negara hari ini,"  Pada awalnya, Nusantara sebelum datangnya Eropa meyakini berbagai keyakinan yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat. Setelah orang Eropa menyebar ke seluruh dunia, mulailah dikenal konstruksi 'agama'."Ketika orang  Eropa keluar melakukan ekspansi melalui penjajahan, bertemu dengan banyak praktik, termasuk praktik-praktik yang hari ini disebut sebagai agama dunia. Istilah agama dunia dunia itu baru ada di abad ke-19, baru ada yang namanya konsep agama dunia. Berbagai keyakinan yang ada di dunia distandarkan dengan standar Eropa."Islam berjuang lama untuk menjadi bagian dari agama Islam. Hindu melalui proses sangat panjang untuk bisa diakui sebagai agama. Hal yang sama dilakukan di Indonesia. terminologi 'nabi', yang bukan istilah penting dalam agama tertentu. Tapi, karena konstruksi masyarakat Eropa menghendaki syarat agama ada 'nabi',maka  keyakinan lain harus menyesuaikan.
definisi agama di Eropa dulu adalah untuk menegaskan superioritas Barat atas non-Barat. Sedangkan definisi agama di Indonesia adalah untuk menegaskan politik rekognisi: mengistimewakan kelompok warga negara tertentu dan sekaligus mendiskriminasi kelompok warga negara lain, seperti penghayat kepercayaan.

(Samsul Maarif, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya - CRCS UGM, disampaikan ketika menjadi   saksi ahli di Mahkamah Konstitusi dalam sidang Judicial Review gugatan terhadap pasal diskriminatif).[1]

 

Menyelami Agama Sapta Darma 

 

Salah satu agama/ajaran yang sangat menarik untuk diselami adalah Sapta Darma/Sapto Darmo. Penulis berkesempatan berkunjung ke pusat ajaran kerokhanian Sapto Darmo pada tahun 2013 dan tahun 2016. Pusat ajaran Sapta  Darma ini ada  di sanggar Candi Sapta Rengga, Surokasan MG.II/472 Ypgyakarta. Sanggar ini dibangun di tanah seluas 533. Selain Jogja, komunitas terbesar dari Sapta Darma ini ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 


Penulis di Sanggar Sapto Darmo, Jogja, 2016 (Document pribadi)

Ketika berkunjung pada tahun 2013, sanggar pusat sapta Darma ini sedang dalam tahap pembangunan, saat itu penulis adalah salah satu peserta Sekolah Pengelolaan Keberagaman (SPK) CRCS- UGM Angkatan I (pertama). Ketika datang untuk kedua kalinya tahun 2016,  pembangunan sanggar tersebut telah rampung.  Saat itu penulis mengikuti serangkaian acara bersama Sekretariat Nasionla Sobat KBB (Solidaritas Korban Tindak Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), penulis bahkan dibolehkan menginap disanggar tersebut selama 5 malam, sehingga dapat menyaksikan lansung praktek ibadah disanggar tersebut, berdiskusi bersama pengurus sanggar dan berinteraksi dengan penganut Sapta Darma yang datang ke sanggar tersebut.

 

Ajaran Sapta Darma pertama kali didirikan pada tanggal 27 Desember 1955 oleh seorang guru agama bernama Hardjosapoero yang kemudian namanya berganti menjadi Panuntun Agung Sri Gutama. Dalam proses menerima wahyu, ketika itu Hardjosapoero pulang dari rumah tetangganya menghadiri hajatan, istirahat malam dan tidur di teras depan rumahnya. Pada pukul satu malam hari jumat wage tubuhnya merasakan hal aneh, gemetar, menggigil kedinginan dan keringat dingin bercucuran. Lalu kemudian digerakkan oleh kekuatan yang entah datang dari mana sampai terbangun dari tidurnya kemudian duduk bersila dan menghadap ke arah timur, ini terjadi pada tanggal 26 Desember tahun 1952.


Penulis bersama peserta SPK CRCS UGM, ketika berkunjung ke sanggar Sapto Darmo di Jogja, 2013 

Hardjosapoero berusaha mengendalikan dirinya dan melawan namun tetap tidak bisa mengontrol dirinya sendiri, kemudian dia meneriakkan. “ Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rahim, Allah Hyang Maha Adil “, kemudian tanpa kontrol kembali dalam keadaan bersedekap hingga bersujud meneriakkan beberapa kalimat yang berbunyi: Hyang Maha Suci Sujud, Hyang Maha Kuwasa Hyangmaha Suci Sujud, Hyang Maha Kuwasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa.”. Lalu kemudian dalam sujudnya yang ketiga Hardjosapoero berteriak dan berkata: “Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa, Hyang Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa.”. Menurutnya, gerak sujud tanpa kontrol itu dikendalikan dan dituntun langsung oleh Hyang Maha Kuasa dan ini terjadi dari pukul 01.00 sampai 05.00. peristiwa yang  terjadi ini kemudian diceritakan pada kerabat dekat maupun keluarganya sehingga menjadi berita menggemparkan bagi penduduk setempat,  tepatnya di Desa Keplakan, Pare, Kediri, Jawa Timur. 

 

Pada tanggal 13 Februari 1953 Hardjosapoero mendapatkan wahyu kembali untuk melakukan ibadah yang disebut racut, yakni mengalami mati di dalam hidup (mati sajroning urip)Hardjosapuro memaknai hal tersebut sebagai pikiran kita mati, tapi yang hidup adalah rasa atau ruh kita. Hardjosapuro menceritakan kejadian penerimaan wahyu yang dialaminya tersebut, bahwa ia telah meninggalkan badan (badag) naik ke atas (alam lain) di luar bawah sadar manusia. Hardjosapuro masuk ke sebuah tempat suci yang besar dan indah. Ia melakukan sujud di tempat pengimaman kemudian datang seseorang dengan cahaya yang sangat terang dan dibawanya ke dua buah sumur yang memiliki air yang sangat jernih sumur tersebut bernama Sumur Jalatunda dan Sumur Gumuling.


Seiring berjalanya waktu, Hardjosapoero yang sebelumnya memiliki gelar Resi Brahma, mendapat gelar yang baru melalui wahyu yang turun yang terlihat melalui batinnya, pancaran tulisan yang disebut Sastra Jandra Hayuningrat, di dalam tulisan ini terdapat gelar Hardjosapoero menjadi Gutama Panuntun Agung. Wahyu Agama Sapta Darma merupakan sebuah arti dari Ha, Ga dan Ma yang berasal dari abjad Jawa yang berbunyi “A” sebagai manusia, “Ga” atau “Gama” atau “Kama” yang mempunyai arti air suci semantara “Ma” atau “Maya” memiliki arti sinar cahaya Allah.


Tuhan dalam ajaran Sapta Darma disebut Allah Hyang Maha Kuasa, yaitu Zat yang mutlak, bebas dari segala hubungan sebab akibat dan sumber dari alam semesta beserta isinya. Allah Hyang Maha Kuasa memiliki lima sifat luhur yang disebut Pancasila Allah, yaitu Maha Agung, Maha Rahim, Maha Adil, Maha Wasesa, dan Maha Langgeng.

 

Dalam ajaran Sapta Darma, manusia dianggap sebagai gabungan dari roh dan materi. Roh manusia berupa sinar cahaya Allah sehingga manusia dapat berhubungan dengan-Nya, sedangkan materi berupa tubuh manusia. Gabungan roh dan materi ini dihasilkan melalui perantara orang tua, ayah dan ibu. Manusia juga dianggap sebagai makhluk tertinggi di atas hewan dan tumbuhan sehingga menurut aliran ini, di dalam tubuh manusia terdapat radar yang apabila dilatih dengan baik akan dapat memberikan kewaspadaan dalam menjalani hidup.


Simbol Sapta Darma

Penganut Sapta Darma menganggap segala sesuatu yang dilakukannya sebagai ibadah. Akan tetapi, ibadah utama yang wajib dilakukan adalah sujud, racut, ening, dan olah rasa. Sujud adalah ibadah paling utama yang dilakukan minimal sehari sekali, sedangkan racut adalah ibadah Hyang Maha Suci (roh manusia) menghadap Allah Hyang Maha Kuasa terlepas dari raganya sebagai bekal perjalanan roh setelah kematian. Sementara itu, ening adalah ritual semadi dengan memasrahkan diri kepada Sang Pencipta. Adapun olah rasa adalah proses relaksasi untuk mendapatkan kesegaran jasmani setelah bekerja keras atau olahraga.

 

Sapta Darma terdiri dari dua kata, yaitu Sapta yang berarti tujuh dan Darma yang memiliki pengertian kewajiban suci. Sehingga Sapta Darma dapat dimengerti sebagai sebuah ajaran Kepercayaan yang harus melaksanakan tujuh kewajiban yang berasal dari buku Wewarah Tujuh. Ajaran ini memiliki tujuan hendak Menghayu-hayu bahagianya buana, yaitu membimbing manusia untuk dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan di alam langgeng (akhirat), dan ikut serta dalam mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

Wewarah Tujuh Sapta Darma

Ketujuh ajaran itu adalah : 

1. Sujud

Penganut Kepercayaan Sapta Darma wajib melaksanakan sujud paling sedikit satu kali dalam sehari semalam (24 jam). Dalam melakukan sujud yang terpentingan adalah kesungguhannya bukan intensitasnya. Sujud dapat dilakukan di sanggar dengan dipimpin oleh Tuntunan Sanggar.

 

2. Racut

Racut memiliki pengertian memisahkan rasa dengan perasaan, hal ini memiliki tujuan untuk menyatukan diri dengan sinar sentral atau Roh Suci bersatu dengan sinar sentral. Waktu racut dipergunakan untuk menghadap Hyang Maha Suci / Roh Suci manusia ke hadapan Hyang Maha Kuasa. Tujuan dari Racut adalah supaya kita menyaksikan dimana dan bagaimana tempat kita kelak bila kembali ke alam abadi atau langgeng.

 

3. Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan Sesanti


Wewarah tujuh yang berarti 'tujuh petuah' merupakan pedoman hidup yang harus dijalankan oleh setiap penganut Sapta Darma. Secara umum, isi Wewarah Tujuh adalah sebagai berikut :

1. Setia dan tawakal kepada Pancasila Allah, yaitu bahwa Tuhan menpunyai lima sifat luhur yang mutlak.

2. Bersedia menjalankan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya.

3. Turut serta membela nusa dan bangsa.

4. Menolong siapa saja tanpa pamrih.

5. Berani hidup berdasarkan kekuatan dan kepercayaan diri sendiri. 

6. Bersikap susila dan berbudi pekerti dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

7. Meyakini bahwa dunia tidak abadi dan selalu berubah.

Sesanti  atau semboyan penganut Sapta Darma dalam Bahasa Jawa berbunyi "Ing ngendi bae, marang sapa bae, warga Sapta Darma kudu suminar pindha baskara." Yang artinya :  "Di mana saja, kepada siapa saja, warga Sapta Darma harus senantiasa bersinar laksana surya.". Sesanti ini bermakna bahwa setiap warga Sapta Darma berkewajiban untuk selalu siap membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.


4. Saudara Dua Belas.


Ajaran Sapta Darma mempercayai bahwa manusia hidup memiliki Saudara Dua Belas dalam tubuh atau pribadinya. Saudara Dua Belas mempunyai hubungan dan sesuai pula dengan proses keberadaan manusia itu sendiri, yaitu sebenarnya umur manusia didalam kandungan seorang ibu adalah 12 bulan lamanya. Hal ini dapat dibuktikan pada adat tata cara upacara temu pengantin. pada saat akan bertemunya kedua mempelai suami istri didahului dengan tndakan / acara balang sadak (saling melempar sadak). Kiasan saling melempar sadak, mempunyai pengertian tempuknya sinar cahaya antara bakal suami istri tersebut, yang lamanya 3 bulan. Sedangkan orang biasa mengatakan bahwa umur manusia dalam kandungan seorang ibu selama 9 bulan. Adapun nama saudara Dua Belas tersebut adalah: Hyang MahaSuci,Premana,Jatingarang,Nagatahun,Gandarwaraja,Endra,Brama,Bayu,Mayangkara,Sukmarasa,Sukmakencana,Bagindakilir

 

Saudara dua belas tersebut berasal dari sinar-sinar dan getaran-getaran yang ada dalam pribadi manusia dengan warna mereka masing-masing yang menunjukkan watak mereka,  ada yang baik, kurang baik, ada pula yang jahat. Dari kedua belas saudara tersebut diatas yang berwatak baik adalah Hyang Maha Suci. Sedang yang tergolong kurang baik adalah Endra, Bayu, Brama, Naga tahun dan lain-lain, saudara yang berwatak paling jahat adalah Gandarwaraja dan Mayangkara. Kedua saudara terakhir ini sifat kejahatanya antaralain suka menyembunyikan, mengaku-aku, ingin dideewakan, memfitnah dan berbuat kejam

 

5. Tali Rasa


Manusia dipercayai memiliki tali rasa hidup. Seluruh tali temali dan memiliki simpul-simpul rasa yang disebut Simpul Tali Rasa. Di beberapa tempat tali rasa/saluran –saluran rasa tersebut mewujudkan simpul, yaitu merupakan sentral setempat. Diseluruh tubuh ada 20 sentral/simpul tali rasa, dan ditandai dengn abjad huruf jawa sebagai berikut :

1.    Ha – di dagu (di tengah–tengah)

2.    Na – di tenggok (pangkal leher bawah muka, tempat di atas pertemuan tulang selangka).

3.    Ca  – di atas tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk yang nomor 2 (di dada).

4.    Ra – di cekungan di bawah tulang stenum (tulang dada tempat pertemuan lubang rusuk kecer hati).

5.    Ka – di pusat perut (Jawa : puser).

6.    Da – di tengah–tengah tulang kemaluan.

7.     Ta – di ujung tulang ekor.

8.    Sa – di tulang belakang tepat di belakang pusat perut.

9.    Wa – di bawah ujungtulang belikat  (Jawa: entong–entong).

10. La – di pundak (tonjolan ujung tulang belakang yang di atas)

11.  Pa – di tengah ketiak.

12.  Dha – di siku.

13.  Ja – di tengah–tengah pergelangan tangan bagian depan.

14.  Ya – di tengah–tengah telapak tangan (pangkal jari tengah)

15.  Nya – di susu kanan kiri. (bagi wanitadi pangkal lipatan buah dada).

16.  Ma – di tengah–tengah pangkal paha.

17.  Ga – di tengah–tengah belakang lutut (lipatan lutut).

18. Ba – di atas tumit aschiles bagian dalam.

19.  Tha – di tengah–tengah telapak kaki.

20. Nga – di pangkal hidung (di tengah–tengah antara kedua kening)

6. Wasiat Tiga Puluh Tiga


Wasiat ini adalah pelengkap ajaran Agama Sapta Darma yang diterima oleh panuntun Agung Sri Gutama, yaitu  Sapu jagat, Kucing putih, Jeruk purut, Payung suci, Kembang jaya Kusuma, Singa barong, Mustikaning Manik, Rembulan, Wit Waringin, Jaran Sembrani, Upase Nagatahun, Mliwis Putih/hitam, Piring kencana, Mangkok kencana Cupu kencana, Topeng kencana, Tropong kencana, kaca kencana, Kurungan Kencana, Kidang kencana, Sarine angin, Sarine geni, Sarine banyu, Sarine pangan, Bala srewa, Candhabirawa, Patidhur lan Kasur, Barisan ula, Barisan banaspati, Barisan kethek, Barisan uler, Barisan setan, Bantal lan Guling.


7. Wejangan Dua Belas


Wejangan ini diterima pada tanggal 12 Juli 1955, saat dilakukan sujud di rumah / sanggar Hardjosopoero setelah sujud mendapatkan peintah untuk menyampaikan wejangan dua belas. Pada tanggal 12 juli 1955 setelah para Warga Sapta Darma berkumpul disanggar dirumah Bapak Hardjosopoero, lalu diadakanya sujud bersama dalam rangka memperingati hari diterimanya Wahyu Simbul Pribadi Manusia, Wewarah Tujuh dan sesanti. Dalam sujud bersama inilah yang dilanjutkan dengan ening Hardjosopoero mendapatkan perintah dari Allah Hyang Maha Kuasa, untuk menyampaikan wejangan 12, sebagai pnjelasan bahwa ajaran budi Luhur Manusia telah lengkap dan bila manusia diajarkan sudah dapat mencapai jejaring Satria Utama.

 

Wejangan 1 adalah; Penundukan saudara 12, di Kerohanian Sapta Darma dikenal dengan saudara 12 yang menemani hidup kita sejak lahir sampai mati, 12 saudara tersebut mempunyai sifat, watak/karakter yang berbeda-beda.

Wejangan 2; Wasiat tiga puluh tiga.

Wejangan 3; Pesta.

Wejangan 4; Naik kuda sembrani.

Wejangan 5; Perbintangan.

Wejangan 6; Tesing Dumadi Manusia.

Wejangan 7; Tali Rasa.

Wejangan 8; Saudara 12 jejer sama.

Wejangan 9; Manusia mati dikubur dalam tanah.

Wejangan 10; Manusia mati/melihat peralatan yang rusak.

Wejangan 11; Manusia mati sampai ke alam baka (kehidupan manusia setelah mati)

Wejangan 12; Tutug Jejer Satrio Utomo.


Praktek Ritual Ibadah Sapta Darma

Sapta Darma memiliki sebuah kepengurusan tingkat nasional yang bernama Persatuan Warga Sapta Darma (PERSADA). Sapta Darma telah tersebar di sekitar 102 wilayah Indonesia, dengan puluhan ribu pengikut.

Agama sebenarnya tidak butuh pengakuan, karena dia hidup, berkambang dan tumbuh bukan dari pengakuan, tetapi dari ajaran yang terus tumbuh dan menetap dihati sanubari manusia, dan ini tidak boleh diganggu sama sekali. Ketika agama apapun diletakkan ditempat yang layak dan semestinya, maka dia akan terus hidup dan tumbuh, tidak akan pernah hilang. Semoga semuanya dapat terus hidup berdampingan, apapun jenis agama dan kepercayaannya.

 

 




 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :