“Senja di Tempat Baptis Pertama di Jawa”,


Jogja adalah kota yang selalu membuat kita “kangen” dan selalu ingin kembali berkali-kali lagi setelah kita mengunjunginya. Siapa mau lawan Jogja, mereka punya Sultan yang sekaligus gubernur, mereka punya keraton yang pemerintahannya terus berjalan sampai sekang. Mana ada daerah lain di Indonesia yang seperti ini. Dulu, ketika pemerintah pusat di era SBY melalui undang – undang Keistimewaan Yogya ingin menerapkan pemilihan lansung untuk memilih  Gubernur dan wakil Gubernur, serentak rakyat Jogja menolak, mereka tetap menginginkan gubernur Jogja tidak perlu dipilih, karena sultan adalah raja dan juga gubernur, apalagi melalui pilkada, tetapi ditetapkan saja. Bagi Rakyat Jogja, pilkada tak perlu diterapkan di Jogja yang menyandang predikat istimewa, apalagi pilkada pada prakteknya lebih di dominasi politik uang. 

Rakyat Yogyakartalah yang berhak menentukan nasib mereka sendiri, bukan pemerintah pusat. Pemerintah pusat menilai demokrasi harus dilakukan melalui pemilihan langsung untuk menentukan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Sementara masyarakat DIY menginginkan gubernur dan wakil gubernur DIY ditetapkan melalui penetapan sesuai Piagam 19 september 1945 yang mengesahkan penetapan itu. Bahkan masyarakat Yogya menyerukan referendum untuk melawan pemerintah pusat ini. Pemerintah pusatpun tidak berdaya, sampai sekarang dan sampai akhir duniapun, Gubernur Yogya tidak akan pernah dipilih melalui pilkada, tetpi ditetapkan seuai keistimewaan Yogya, setiap Sultan otomatis adalah Gubernur Yogyakarta. Yogya dilawan!

Jogja adalah kenyamanan. Begitu kaki kita menyentuh bumi Jogja, saat itu kenyamanan, ketenangan, kedamaian lansung memenuhi seluruh sel tubuh kita. Berbagai objek warisan budaya yang masih tertata rapi, menanti untuk segera dikunjungi. Yogya selain kota bersejarah bagi Indonesia, adalah juga rumah bagi ilmu pengetahuan, kota pelajar yang setiap tahun selalu menerima ribuan anak – anak Indonesia dari seluruh penjuru negeri, dari sabang sampai Merauke.

Diantara berbagai objek wisata yang kesemuanya menarik, objek wisata religi tetap yang paling menarik dikunjungi. Berwisata ke objek religi, selalu memberikan sensasi tersendiri karena kita bersentuhan dengan sesuatu yang berbeda dengan kita, berbeda dengan keyakinan dan keimanan kita bahkan yang paling menarik adalah  “passing over”, melintasi batas-batas agama yang sangat kaya dan mendalam, melampaui batas – batas keimanann dan menyelami keimanan lain melalui napak tilas sejarah. 

Inti keimanan sebenarnya adalah Sang Kekasih. Ziarah adalah mengunjungi sang Kekasih. Dalam Islam, kekasih itu adalah Muhammad Rasulullah SAW, inilah semua muara perjalanan. Lalu bagaimana setelah itu ?, Nur Muhammad yang abadi itu kemudian berpindah kepada sang kekasih setelah Muhammad yang dikenal dengan Wali Allah.  Pelajaran ini tidak ada dalam syariat dan hanya ada dalam tarekat, hakikat dan makrifat. Syariat tidak mungkin mengetahui ini, karena memang bukan wilayahnya. 

Inti yang sejati itu bukanlah apa yang melekat pada kita, apakah itu agama, keimanan dan lainnya. Ketika kita sebagai manusia pun sudah beragama karena keturunan, maka itu bukanlah yang sebenarnya, karena yang sebenarnya adalah “sang Kekasih” tumpuan dari agama dan keimanan itu sendiri. 

Melalu syairnya, Rumi telah menggambarkan dengan indah bagaimana sang Kekasih ini menjadi tumpuan hidup bagi manusia, tumpuan hidup dari segala agama dan keyakinan yang dimiliki manusia…

Jangan tanya apa agamaku.
aku bukan yahudi.
bukan zoroaster.
bukan pula islam.

karena aku tahu,

begitu suatu nama kusebut,

kau akan memberikan arti yang lain
daripada makna yang hidup di hatiku

Apa yang dapat aku lakukan, wahai ummat Muslim?
Aku tidak mengetahui diriku sendiri.
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi,
bukan Majusi, bukan Islam.
Bukan dari Timur, maupun Barat.
Bukan dari darat, maupun laut.
Bukan dari Sumber Alam,
bukan dari surga yang berputar,
Bukan dari bumi, air, udara, maupun api;
Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi, maupun makhluk;
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqseen;
Bukan dari kerajaan Iraq, maupun Khurasan;
Bukan dari dunia kini atau akan datang:
surga atau neraka;
Bukan dari Adam, Hawa,
taman Surgawi atau Firdaus;
Tempatku tidak bertempat,
jejakku tidak berjejak.
Baik raga maupun jiwaku: semuanya
adalah kehidupan Kekasihku ...

 

Goa Maria Sendang Sono

Objek wisata religi yang sangat menarik di kunjungi itu adalah Goa Maria Sendang Sono, terletak di salah satu lembah di Bukit Menoreh, Dusun Semagung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sendang sono dalam banyak literatur sejarah disebut sebagai daerah baptis pertama di Jawa. Ditempat inilah pertama sekali dimulai penyebaran Katolik di Jawa. Penulis berziarah ketempat ini sepuluh tahun lalu, tepatnya tahun 2012, rentang waktu yang Sudan lama sekali.

Berada dalam pelukan Bukit Menoreh, Sendangsono menjadi tempat Ziarah bagi jiwa yang gelisah. Bagi penganut Katolik kawasan yang asri ini  bisa merasakan sejuknya udara perbukitan, menikmati keindahan rancangan arsitektur Romo Mangun, menyusuri jalan salib, hingga berdoa di bawah kaki Bunda Maria. 

Jembatan Menuju Goa Maria 
Dokumen Pribadi

Penulis sengaja berkunjung ketempat ini sore hari, untuk menikmati senja di tanah Jogja setelah terlebih dahulu berkunjung ke Candi Borobudur. Bagi Sebagian peziarah, Gua Maria ini adalah tempat yang tenang, sejuk dan hening sehingga sangat layak menjadi tempat untuk merenung dan mendekatkan diri kepada TuhanGua Maria ini tidak hanya menjadi sarana kontemplasi umat Katolik, tetapi berperan pula sebagai tempat napak tilas budaya. Gua Maria Sendangsono dibangun pada tahun 1927—1929 dan diresmikan tanggal 8 Desember 1929.

Nama Sendang Sono sendiri berasal dari kata “sendang” yang berarti kolam mata air dan “Sono” yang berasal dari kata pohon Sono yang tumbuh di situ. Mata airnya sendiri berada di bawah pohon Sono yang sayangnya kita tidak bisa melihat langsung karena lokasi ini ditutup dengan kaca. Air dari sendang kemudian dialirkan melalui kran-kran, sehingga kita bisa leluasa untuk mencuci muka, meminum, bahkan membawa pulang air ini dengan menyimpannya ke dalam botol atau jirigen kecil yang banyak dijual di kios suvenir di depan.

Goa Maria ini mempunyai kisah tersendiri yang unik. Patung Bunda Maria yang ada di sana merupakan hadiah dari Ratu Spanyol dan untuk membawanya dibutuhkan usaha yang keras karena kondisi alam yang sulit dijangkau. Sekitar tahun 1945, beberapa pemuda Katholik mendapat kesempatan berkunjung ke Lourdes, Prancis, membawa batu dari sana yang dipercaya merupakan batu dari goa tempat penampakan Bunda Maria kepada Bernadette Soubirous di Lourdes pada tahun 1858. Batu dari Lourdes tersebut kemudian ditanam di bawah kaki patung Bunda Maria, sehingga kawasan Sendang Sono juga populer disebut dengan nama “Lourdes-nya Indonesia”.

Kompleks ini sendiri terdiri atas beberapa bagian. Ada kompleks makam, goa Maria, kapel-kapel, sumber mata air, dan bangunan joglo yang mungkin digunakan untuk beristirahat. Sepanjang jalan menuju Goa Maria, kita akan menemukan fragmen-fragmen yang menceritakan perjuangan Kristus dalam menyebarkan agama Nasrani. Di setiap fragmen terdapat tatakan lilin, di mana saya menemukan beberapa orang peziarah menyalakan lilin dan khusyuk berdoa di depannya.

Penganut Katolik Sedang Berdoa di Gua Maria
Dokumen Pribadi 

Saat itu, dua orang misionaris dari Belanda mendarat di Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah Romo Hoovenaar dan Romo Van Lith. Sama-sama diutus untuk menyebarkan ajaran Katolik di tanah Jawa, kedua misionaris ini punya pandangan yang berbeda dalam misi masing-masing. Bagi Romo Hoovenaar, keberhasilan misinya adalah ketika banyak orang yang dibaptis. Sementara menurut Van Lith, menghidupkan kekatolikan itu lebih penting dari pada sekedar memeluk agama Katolik. Dalam misinya, Romo Van Lith ingin menyebarkan ajaran Katolik sekaligus menyejahterakan orang Jawa melalui pendidikan

Untuk memulai misinya, Romo Van Lith mendirikan banyak sekolah pendidikan khususnya di daerah Muntilan, Jawa Tengah. Selain itu, dia mulai mempelajari budaya Jawa dan memisahkan gerakan misi Katolik dari kepentingan politik Kolonial Belanda. Namun dalam keberhasilan karya seorang misionaris, banyaknya pembaptisan tetaplah menjadi tolak ukur. Sementara itu Romo Van Lith tak kunjung menghasilkan baptisan dan dianggap gagal. Karena hal itu sekolah pendidikannya akan ditutup dan dia akan ditarik ke negara asalnya. Hingga pada suatu hari ada seorang petapa bernama Sarikromo yang mendatangi Romo Van Lith dalam keadaan menderita penyakit kudis.


Para Peziarah Meminum Air dari Kran Yang disediakan
Dokumen Pribadi 

Sesampainya di kediaman Romo Van Lith, Sarikromo dirawat hingga sembuh. Tak hanya itu, Sarikromo yang terlanjur tertarik dengan pribadi Romo Van Lith sering datang ke kediaman sang pastor untuk belajar mengenai ajaran Katolik. Sarikromo pulang ke kediamannya di Semanggung dengan dibekali sebuah Kitab Suci Perjanjian Baru berbahasa Jawa. Saat itu banyak orang yang berdatangan ke rumahnya mengenai penyembuhan penyakitnya. Di sana pulalah Sarikromo bercerita kepada penduduk setempat mengenai sosok Romo Van Lith dan apa yang diajarkannya tentang kekatolikan.

Romo Van Lith kemudian membaptis Sarikromo dan tiga orang lainnya di Muntilan. Setelah itu Sarikromo-lah yang kemudian mengajarkan ajaran Katolik di daerah Kalibawang. Pada puncaknya pada 14 Desember 1904, Romo Van Lith membaptis 178 orang (ada versi lain yang menyebut 171 dan 173) setempat di daerah Sendangsono. Peristiwa ini dipandang sebagai “kelahiran” Gereja Katolik” di antara orang Jawa. Dalam menjalankan misinya, Romo Van Lith banyak memasukkan adat istiadat Jawa ke dalam peribadatan umat Katolik. Sebagai contohnya, dia menambahkan musik gamelan dalam setiap upacara keagamaan.

di Depan Salib Barnabas 
Dokumen Pribadi 
Selain itu, dia juga menginisiasi pemilihan tempat suci dalam budaya Jawa sebagai kepentingan peribadatan umat Katolik, salah satunya Sendangsono. dia pulalah yang menekankan perubahan do’a-do’a dan nyanyian Katolik ke dalam Bahasa Jawa. menurut Remy Madinier dalam buku The Politics of Religion in Indonesia, semua yang dilakukan Romo Van Lith dalam menyebarkan ajaran Katolik menunjukkan kalau dia terbuka pada “tradisi sinkretis” di Jawa. Sesuai dengan keyakinan umat Katolik, air yang telah digunakan untuk baptis (diberkati) menjadi air suci. Rama JB. Prennthaler SJ pada tahun 1923 mengusulkan agar Sendangsono menjadi tempat yang suci dengan membangun gua tempat kedudukan Bunda Maria. Patung Bunda Maria diperoleh dari Swiss dan diangkut bersama-sama dari Sentolo Wates, Kulon Progo, 30 km dari Sendangsono. Pada 8 Desember 1929 Gua Maria Sendangsono pun diberkati.

Semoga suatu saat nanti, bisa Kembali lagi ketempat ini, setelah rentang waktu 10 tahun…karena inti segalanya adalah “Sang Kekasih..”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Anonim
    Anonim 4 Desember 2022 pukul 01.47

    Updating the platforms with new 카지노사이트 technologies is the only way to acquire new customers and retain the previous ones. Check what other players should say in regards to the casino in question and the scale of its customer base. Test the casino’s customer support staff, ask them a couple of questions, and see how briskly they reply.

Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :