Sir Muhammad Iqbal, Berfikir dan Menulis dengan Wahyu Nabi dan Para Sufi


"Tuhan dapat kau ingkari, namun Nabi tidak”, demikian narasi Muhammad Iqbal dalam Javidnama (1932). Begitu pentingnya Nabi Muhammad bagi seorang Iqbal yang menjadi wahyu dari segala pemikirannya.  Bagi Iqbal, seperti juga bagi para teolog dan sufi sebelumnya, Nabi Muhammad adalah “ Segala aktivitas Tuhan yang dapat dilihat, sedangkan Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata manusia (al-Qur’an surah 6, ayat 103), Tapi Nabi dapat dilihat dan diraba.” Karena itu, Iqbal berpaling kepada Nabi, baik dalam memohon diberi kesembuhan, maupun untuk memujinya atau inspirasi pemikiran-pemikirannya. bagian ini terutama terjelaskan dalam baris-baris sajak terakhirnya, yang diterbitkan sesudah Iqbal wafat dengan judul Armaghan-i Hijaz (Karunia Hijaz).

 

Allama Iqbal, Sir Iqbal adalah seorang penyair, politisi, dan filsuf besar abad ke-20. asal Pakistan. Iqbal adalah pemikir besar Islam, yang merekonstruksi pemikiran Islam agar kembali kepada sumber murninya yaitu Nabi, para sufi dan para filosof, bukan pada teks yang sering melenakan Umat Islam dan membuat Islam terus tertinggal jauh. Pesannya jelas sekali, jika umat Islam ingin maju, maka kembalilah ke Nabi yang nurnya terus hidup bukan kembali kepada kita suci yang hanya teks  mati. 


Source : Kalimahsawa Id


Kebanyakan karya – karya Muhammad Iqbal adalah interpretasi mistis, sosiologi dan filosofos, terutama tentang Muhammad Rasulullah. Menjelang akhir hayatnya, Iqbal kembali berpaling kepada Rasulullah dibanding pemikiran yang lainnya. Baginya Muhammad adalah sahabat yang setia, penuh kasih sayang, menyenangkan, dia kemudian melantunkan kata – kata sederhana dalam syairnya tentang kecintaannya kepada Nabi Muhammad. 


Iqbal adalah seorang sufi yang dengan inutisinya bisa mendirikan sebuah negara, seorang penyair yang dengan kata-katanya bisa mendirikan sebuah negara dan filosof yang dengan rekonstruksi pemikirannya bisa mendirikan sebuah negara. Dia adalah salah seorang bapak pendiri negara Pakistan, namun cita-citanya untuk mendirikan negara Pakistan tersebut berakhir tragis :  “Nations are born in the hearts of poets, they prosper and die in the hands of politicians”, negara-negara lahir di hati para penyair dan tumbuh sejahtera, tapi kemudian mati di tangan para politisi”.

 

Penyair paripurna ini juga punya cita-cita menyatukan dunia Islam melalui kekuatan politik yang digerakkan oleh spiritual murni yang bersumber dari kenabian, kekuatan budaya dan khazah keilmuan, bukan kekuatan politik yang digerakkan oleh ego spiritual partikular. Cita – cita Iqbal ini mustahil sekali bisa diwujudkan, jika gerakan itu apakah spiritual, intelektual, yang sama sekali tidak terkoneksi dengan kenabian, karena jika koneksi dan pegangannya adalah teks kitab suci, semua akan terhenti dan mati, karena -pembicaraanya adalah pada bahasa, bukan pada kuasa spiritual. Kuasa spiritual itu tidak pernah ada pada teks, tetapi pada Nabi dan yang meneruskan kenabian. 

 

Iqbal lebih sependapat dengan pemikiran Immanuel Kant, terutama ketika Kant bersabda : “ seluruh pengetahuan melalui indera dan pengalaman adalah tak bermakna, bahkan hanya sekedar ilusi dan hanya dalam ide pemahaman murni dan akal budi lah kebenaran berada” 

 

Iqbal tidak percaya begitu saja pada apa yang nampak, pada apa yang ditangkap dengan indra. Pemikiran spekulatif Plato, menghantarkan Iqbal pada pandangan bahwa dunia yang nampak itu tidak nyata, karena selalu berubah secara terus menerus, sementara yang nyata itu harus kekal dan abadi. Alam semesta selalu berubah, sedangkan ide- ide itu kekal dan abadi. 


Apa yang disampaikan Iqbal itu menjadi bahan pemikiran penting bagi kita. Ketika kita mau berusaha sedikit lebih keras untuk menganalisa, maka kita temukan bahwa sebenanrya spirit pengetahun modern melalui beberapa aliran filsafat modern sangat- sangat dogmatis. Pengetahuan modern terlalu menitik beratkan pada pengalaman indrawi, hanya berpegang secara mutlak bahwa hanya indrawilah yang nyata. Ilmu pengetahuan modern menutup  pandangannya pada kemungkinan beragam realitas dibalik pengalaman indrawi. 

 

Sebaliknya, Islam berpandangan bahwa dibalik yang indrawi ada khazanah lain yaitu cakrawalah realitas yang transenden. Islam menerima bahwa yang indrawi adalah nyata,namun tetap mempertahankan  bahwa yang indrawi dan empiris bukanlah satu – satunya realitas.  Para saintis masa kini, yang dikarenakan kesetiaan fanatik mereka pada pengalaman indrawi, membuat mereka tidak sanggup membayangkan sebuah dunia yang lebih tinggi dari dunia nyata yang hanya bersandarkan pada pengalaman indrawi. Dunia yang abadi itu adalah intuisi, yang tidak mungkin dijangkau oleh para saintis. 


Iqbal dan Wahyu Para Sufi 

 

Karya Muhammad Iqbal tentang rekonstruksi pemikiran Islam, tidak mengambil inspirasi dari Yunani, inspirasi utamanya adalah dari nabi. Namun Iqbal tetap menjelajahi secara mendalam khazanah pemikiran Yunani secara luas dan kemudian mengkritik secara tajam dengan menunjukkan dalil bahwa spirit filsafat Yunani adalah murni spekulatif. Terutama pada wilayah konkret, yang tidak dapat memberi pengetahuan yang pasti tentang realitas abadi. Ide-ide itulah yang benar – benar nyata, sedangkan dunia inderawi yang berada dalam proses menjadi itu tidak nyata. 


Patung Iqbal 

Sumber : Google 


Tidak seperti Kant, Iqbal melangkah lebih jauh dan tidak membatasi diri pada pengetahuan empiris. Dengan kekuatan kecintaannya pada sosok nabi, sebagai inspirasi pemikiran, Iqbal bergerak lebih jauh dengan mengetuk pintu mistisisme Islam melalui pewahyuan Tuhan secara lansung tentang rahasia – rahasia diri, kebebasan dan keabadian. 

 

Realitas dan esensi yang mutlak dan kepastian yang pasti yang sifat dasarnya dapat dibuktikan, hanya bisa dibuktikan melalui pengalaman luar biasa yang oleh Iqbal disebut dengan intuisi. Intuisi ini adalah alat untuk memahami keseluruhan realitas. Intuisi hanya dimiliki oleh beberapa orang terpilih. Beberapa orang terpilih yang dimaksud Iqbal disini adalah para Nabi, para Wali dan para sufi. Dalam dunia sufi. Apalagi sufi yang punya mursyid berpredikat Wali Qutub, intuisi ini bukanlah sesuatu yang begitu spektakuler sekali, tetapi sebuah keseharian saja, lebih tepatnya bahkan jauh diatas itu, intuisi ini adalah muraqabah, yang segala pengetahuannya dipandu lansung oleh Tuhan. Intuisi ini tidak pernah ada pada teks -teks, karena teks tidak punya hubungan lansung dengan Tuhan. 

 

Tidak bisa dipungkiri memang, pemikiran manusia sebenarnya tidak puas dengan pengetahuan relative yang diperolah melalui akal dan pengalaman indrawi dan cenderung serta pasti mencari pengalaman mistik. Kesadaran teoritis manusia ingin menjangkau realitas yang absolut, namun tidak sanggup melakukannya dan ini hanya sanggup dan bisa dijangkau oleh para sufi melalui intuisinya (muraqabah), hanya para sufi yang bisa mempraktekkan ini, bagaimana segala pemikirannya, segala kehidupannya dipandu lansung oleh Tuhan dan ini melampaui realitas apapun. 

 

Jalan abadi intuisi yang dimaksud Iqbal ini sebenarnya adalah melalui jalannya para nabi, para Wali, bukan jalannya manusia. Dalam pemikiran Iqbal, menurut Sevcan Ozturk dalam "Becoming a Genuine Muslim: Kierkegaard and Muhammad Iqbal (2018)", peran Nabi Muhammad sebagai "hamba-Nya" memiliki arti khusus, sebab manusia ideal, mard-i momin, berbeda dengan Manusia Super-nya Nietzche. Manusia Super Nietzche muncul “ketika Tuhan mati”, tetapi mard-i momin berlomba meneladani dan mengikuti Nabi Muhammad sebagai hamba Allah paling sempurna. Hal ini pada dasarnya adalah konsep tarekat sufi “qurb al-fara’idh” kedekatan dengan Allah yang disebabkan karena sungguh-sungguh mengikuti Nabi”, dan tetap melaksanakan kewajiban-kewajiban di dunia.

 

Pertanyaan paling penting berikutnya dari fondasi pemikiran Iqbal yang sangat penting ini, sebagai kelanjutan dari pemikiran Iqbal ini, untuk menjadi manusia idel yang mengikuti nabi untuk saat ini adalah mengikuti jalan para Wali yang merupakan pelanjut risalah kenabian, Muhammad bin Abdillah telah tiada, namun nur nya abadi dan menetap pada seorang Wali Allah, inilah keabadian itu. Mengapa ini sangat penting bagi umat Islam ?, karena pelanjut risalah ini bukanlah melanjutkan teks, yang bisa dibaca oleh siapa saja, tetapi melanjutkan panduan pengetahuan secara lansung sebagai jalan keselamatan bagi manusia. Mengikuti jalan ini adalah kunci kemajuan bagi umat Islam. Mengikuti Wali Allah pemegang otoritas spiritual ini adalah jalan revolusioner bagi kebebasan dan keselamatan manusia. Jika tidak, maka umat Islam akan terus terpuruk, karena intuisi yang pasti ada disini, panduan lansung ada disini...

 

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :