Mengapa Seorang Pemimpin Harus Bertarekat dan Punya seorang Guru Mursyid ?
Ketika Sultan Al Fatih menaklukkan Konstantinopel, dia sudah berada pada tahap putus asa, ingin menyerah dan menghentikan semuanya. Tetapi kekuatannya muncul kembali setelah sang sultan berjumpa dengan Gurunya seorang ulama Sufi. Dalam sejarah, di setiap kemenangan yang diraih kaum Muslimin, selalu ada peran besar ulama Sufi. Pada Perang Salib tampil pahlawan besar Shalahuddin al-Ayubi dan pasukan tangguhnya yang merupakan alumni madrasah yang dirintis oleh Imam al-Ghazali dan juga didikan Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Begitu pula di belakang Muhammad al-Fatih, sang Sultan yang menaklukkan Konstantinopel, terdapat guru sufi yang selalu membimbing sang Sultan.
Sultan Al - Fatih Sumber : Google |
Dia adalah Syeikh Aaq Syamsuddin, penasihat Muhammad al-Fatih, pahlawan Islam dari dinasti Utsmaniyah yang sukses menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1435 M. Berkat bimbingan Syeikh Syamsuddin, Sultan al-Fatih berhasil membangkitkan semangat kaum Muslim untuk menaklukkan kerajaan raksasa dunia, Bizantium, di usia al-Fatih yang masih 25 tahun. Peran guru sufi ini jelas tidak mungkin diabaikan, Ia selalu membimbing Sultan al-Fatih memimpin pasukannya. Syeikh Syamsuddin, adalah seorang ulama ahli tasawwuf berasal dari negeri Syam yang berhasil memoles al-Fatih menjadi sultan yang tangguh, berilmu, cerdas, pemberani dan pemimpin Negara yang berwibawa.
Sultan Al Fatih adalah sejarah yang sudah kita lalui, lalu bagaimana dengan hari ini ?. Suatu hari, Seorang Wali Allah berkata :
"Jika sesorang menjadi pemimpin, maka hendaklah dia menjadi pemimpin hanya untuk mengabdi, bukan memperkaya diri. Jika pemimpin memimpin untuk memperkaya diri, maka dia kehilangan kesempatan terbaiknya untuk mengabdi kepada Tuhan, maka dia kehilangan kesempatan untuk menjadi hamba Tuhan. Mengapa seorang pemimpin harus mengabdi kepada Tuhan dan menjadi hamba Tuhan ?, karena dengan segala kekuasaan, kekuatan dan penghormatan yang ada padanya, dia masih punya tempat menundukkan dirinya, sehingga dia akan terhindar dari merasa menjadi Tuhan kecil bagi rakyat yang dipimpinnya. Kalau pemimpin bertujuan memperkaya diri, maka dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kekayaan dengan kekuasaannya, sehingga menyebabkan dia berpaling dari mengutamakan dan mementingkan urusan kesejahteraan rakyat”.
Pemimpin yang memimpin hanya untuk mengabdi, maka dia akan selamat dunia dan akhirat, karena dia telah menyerahkan dirinya, telah merelakan dirinya berada dijalan yang benar, yaitu menjadi hamba Tuhan, dengan menjadikan kepemimpinannya sebagai lahan pengabdiannya kepada Tuhan. Pemimpin dengan kriteria diatas, pemimpin yang selesai dengan dirinya sendiri tidak akan pernah bisa didapat jika tanpa bimbingan seorang Guru Mursyid yang kapasitasnya adalah Wali Allah, pemegang otoritas spiritual, karena sosok ini tahu segala kekotoran hati para pemimpin, yang bisa dibersihkan, bisa dihilangkan dengan bimbingan dan kasih sayang seorang Guru.
Namun, jika pemimpin menemukan Guru pembimbing yang tidak tepat, maka kekotoran hati pemimpin bukannya hilang, tetapi justru semakin menumpuk bahkan bertambah-tambah lagi, bahkan pemimpin tersebut akan menjadi Tuhan bagi manusia yang lain.
Menjadi pemimpin adalah sebuah pertanggung jawaban besar. Pertanggung jawaban dunia akhirat, pertanggung jawaban pengetahuan, pertanggung jawaban intelektual, pertanggung jawaban akhlak, pertanggung jawaban sejarah, pertanggung jawaban legacy (warisan). Pemimpin diperlukan karena perlunya satu sosok yang dapat menjadi orang tua yang bijak bagi seluruh anak-anaknya dari berbagai ragam agama, ras, budaya, etnis, dan status sosial.
Pemimpin adalah milik bersama seluruh rakyatnya, bukan milik kelompok tertentu, agama tertentu, atau golongan tertentu. Pemimpin yang berpengetahuan, mengayomi, melayani, bijak, berani, dan menjadi milik bersama adalah syarat mutlak kepemimpinan sepanjang masa. Pemimpin yang semata - mata untuk mengabdi hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, dia telah selesai dari segala keinginan duniawinya, sehingga semua kekuasaannya, semua visinya ketika memimpin tidak lain hanya untuk mengabdi. Pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri, sangat sulit dicari, namun tetap akan ada. Ketika menemukan pemimpin seperti ini, maka manusia seperti menemukan sebutir mutiara dalam gelap gulita.
Pemimpin yang mengabdi kepada Tuhan, tidak akan pernah terjadi kecuali pemimpin itu punya seorang Guru Mursyid yang kapasitas dan otoritas spiritualnya terkoneksi lansung dengan Allah, yang akan membimbingnya siang dan malam, 24 jam, tempat dia menundukkan diri, tempat dia menyerahkan diri untuk dibimbing, tempat dia bersimpuh. Guru Rohani disini adalah seorang Wali Allah, yang menyembunyikan diri dari manusia, karena Dia hanya menyibukkan diri dengan Allah, tidak mau menyibukkan diri dengan urusan manusia, sehingga sosok seperti ini harus dicari oleh para pemimpin untuk berguru kepadanya, seperti bergurunya Sultan Al Fatih kepada seorang Syeikh Aaq Syamsuddin. Pemimpin yang tidak mau memenuhi kriteria ini, maka sama saja, sepanjang hayat kepemimpinannya, hanya menghadirkan kekacauan selama dia memimpin dan hanya akan mewariskan segala kekacauan ketika dia tidak lagi memimpin.
Guru Mursyid seperti ini adalah seorang ulama yang tidak pernah jatuh dalam gengaman dan intervensi politik, tidak berafiliasi dengan apapun, tunggal dan berdiri sendiri dengan kekeramatan, power spiritual, kekuatan intelektual yang melampaui kecerdasan rata-rata manusia, ulama yang terbebas dari segala intervensi politik, ulama yang tidak pernah bertandang dan berkunjung ke istana-istana pemimpin, karena bagi-Nya yang berhak dikunjungi hanyalah Allah semata. Ulama seperti ini adalah ulama yang tidak pernah takut kehilangan umat, tidak pernah menginginkan pujian-pujian manusia, karena pujian Allah baginya sudah lebih dari cukup.
Ulama seperti ini adalah ulama yang sangat murni, karena dia hanya lalai dengan Allah, dan tidak pernah lalai dengan manusia, lalai dengan segala tingkah polah manusia, bahkan pada hal-hal yang tidak penting. Ulama seperti ini adalah ulama yang tidak pernah hadir meresmikan jembatan, meresmikan bangunan, meresmikan rumah, meresmikan gapura bahkan meresmikan menara-menara. Ulama ini adalah ulama yang juga tidak pernah naik kepanggung politik manapun. Maka, para pemimpin perlu menemukan ulama yang seperti ini sebagai Guru pembimbingnya, karena jika pemimpin menemui Guru seperti ini, maka dia akan dibimbing bagaimana mengabdi kepada Allah dengan jalurnya sebagai seorang pemimpin, sehingga pemimpin ini terbebas dari segala ketakutan, bebas dari segala teror dan terbebas dari berbagai sandera-sandera politik.
Selama ini, kebanyakan pemimpin tidak pernah berguru kepada Ulama Sufi, tetapi lebih kepada klenik, dukun atau paranormal yang juga memakai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pemimpin itu jimat-jimat dan pantangan - pantangan, jika pemimpin jatuh dan tunduk dalam pelukan guru klenik ini, maka pemimpin itu telah mengabdi kepada Setan dan tidak pernah mengabdi kepada Allah. Hasilnya adalah kekacauan dan kerusakan dimana - mana, karena pemimpin telah menundukkan dirinya pada yang bukan haq. Para dukun, paranormal yang kadang kala juga bersorban dan berjubah ini juga hafal ayat-ayat Suci, bahkan dengan suara merdu, tetapi yang haq dan yang batil itu setipis kulit bawang, sehingga pemimpin terkecoh dengan ayat- ayat Tuhan yang dibacakan.
Turunan selanjutnya dari pemimpin yang mengabdi kepada Tuhan melalui bimbingan seorang Wali Allah adalah pemimpin yang tidak mempolitisasi agama, pemimpin yang tidak menghukum dan mempermalukan rakyat kecil sebagai tontonan demi prestasinya. Pemimpin yang tidak mendengar “pembisik” dari berbagai lingkaran. Pemimpin yang sering berjalan di siang dan malam hari melihat rakyatnya, bukan berjalan malam untuk menggrebek, melainkan untuk melihat apakah rakyatnya sudah makan dan sudah terpenuhi segala kebutuhan hidupnya. Pemimpin yang turun menjenguk rakyatnya tanpa menunggu undangan seremonial panen perdana, potong pita peresmian gedung atau berbagai seremonial lainnya.
Pemimpin yang mengabdi kepada Tuhan adalah pemimpin yang punya "Self Autority", "Self Power", pemimpin yang punya kepemimpinan yang utuh dan kuat. Kekuatan kepemimpinan yang bersumber dari pribadi otonom sang pemimpin, bukan kepemimpinan yang ditentukan dan dibentuk oleh lingkaran-lingkaran di sekitar. Jika karakter otonom pribadi pemimpin tidak kuat, maka kepemimpinan akan sangat mudah terpengaruh oleh berbagai kepentingan dari sekitar lingkaran-lingkaran tersebut. Ini adalah problem klasik kepemimpinan di manapun dalam sejarah manusia.Kenapa karakter otonom pemimpin harus utuh dan kuat, karena pemimpin adalah cermin dan gambaran realitas bagi rakyatnya. Pentingnya posisi pemimpin sebagai cermin bagi rakyatnya.
Bagi seorang pemimpin juga berlaku hukum "as above so below" (sebagaimana di atas, seperti itu di bawah) dan "as Inside, so Outside" (sebagaimana di dalam, begitu juga di luar”). Berdasarkan teori ini, segala yang terjadi di luar pemimpin, apa yang terjadi di luar istana pemimpin, maka itu adalah cermin sebenarnya, gambaran utuh dari kondisi seorang pemimpin. Apa yang dialami oleh rakyatnya, adalah cermin dari diri pemimpin itu. Ketika pengangguran meningkat, kemiskinan di mana-mana, maka itu adalah cermin dari miskinnya ide, visi, rasa dari seorang pemimpin. Ketika di luar terjadi kegaduhan, kekacauan, ketidak nyaman, maka itu adalah cermin nyata dari kacau dan labilnya diri seorang pemimpin.
Pemimpin yang mengabdi kepada Tuhan adalah pemimpin yang melihat dengan hati dan mendengar dengan mata. Melihat dengan hati adalah melihat sekaligus merasakan keadaaan sebenarya. Melihat dengan hati hanya bisa kita perolah dari pemimpin yang bisa mengakses lansung nur Allah, terkoneksi dengan Nur Allah, sehingga pemimpin tersebut melihat mendengar dan merasakan tidak lagi dengan mata manusianya, tetapi sudah dengan Cahaya Allah. Jika pemimpin tidak terkonek dengan Nur Allah, maka pemimpin tersebut akan mengakses gelombang setan, sehingga hasilnya adalah centrang prenang dimana-mana. Pemimpin yang memimpin tanpa bimbingan ulama yang punya kapasitas dan otoritas spiritual, ataupun salah mendapat bimbingan, maka dia tidak akan menjadi hamba Tuhan tetapi hanya akan menjadi Tuhan kecil bagi manusia lainnya, sehingga pemerintahannya tidak pernah mendapatkan berkah, melainkan kutukan – kutukan dan kesialan – kesialan.
Pemimpin yang dibimbing oleh seorang Wali Allah adalah pemimpin “blessing” pemimpin yang diberkahi, dimana ketika dia menjadi pemimpin semua kebaikan, kesuksesan, kesejahteraan mandampinginya, semua kebaikan berada disampingnya, segala kesialan, kemelaratan, konflik, kekacauan akan menjauh darinya, karena dia telah menjadi seorang pemimpin yang menarik segala rahmat dan menolak segala bala.
Pemimpin yang diberkahi ini akan didampingi oleh lingkaran orang – orang yang tulus ikhlas membantunya, karena ketika dia mengabdi kepada Tuhan, maka dia membawa energi Tuhan dalam dirinya, sehingga yang tidak tulus, curang, munafik, akan terpental jauh dan tidak pernah bisa bergabung didalam pemerintahannya.
Lalu, adakah Guru Mursyid Wali Allah ini sekarang ? , “ada”. DIA Terang benderang bagi yang telah diberi petunjuk dan gelap gulita bagi yang belum diberi petunjuk
Dimanakah Guru Mursyid Wali Allah ini ?, ikuti saja jalan yang sudah ada, maka akan segera berjumpa….
Dan kapankah pemimpin yang diberkahi ini akan hadir ?, ….secepatnya