En Mémoire Doktor Safir, : “ Blue Sapphire”, diantara tumpukan batu koral”
T. Muhammad Jafar Sulaiman, MA
Pemikiran adalah kemewahan, nilainya melebihi apapun yang termahal dan paling mahal didunia. “lebih banyak emas yang dapat ditambang dari pemikiran manusia, dari pada emas yang dapat ditambang dari perut bumi”. “lebih banyak kemewahan yang dapat ditambang dari pemikiran manusia, daripada kemewahan yang dapat ditambang dari perut bumi”. Ini adalah bentuk kekayaan immaterial yang tentu berbeda dengan bentuk kekayaan material.
Ceylon Blue Sapphire Star adalah batu safir termahal didunia dari Sri Lanka, harganya 1.4 Trilyun dipasar Internasional. Namun, Jumat sore, 19 Mei 2023, jam 18.30 Aceh kehilangan “Blue Sapphire” termahal didunia, yaitu berpulangnya Doktor Safir keharibaan Tuhan. Doktor Safir adalah seorang musafir yang hidup dengan segala pemikirannya yang tidak biasa bagi Aceh juga dan pergi dengan segala pemikirannya yang tidak biasa bagi Aceh. Semua ketidak biasaan pemikiran itu kini telah ditinggalkannya didunia dan juga di bawa kehadapan Tuhannya disana. Barang kali, disana malaikat tidak lagi bertanya siapa Tuhanmu, siapa Nabi mu dan sebagainya kepada Doktor Safir, karena dia memang ahli dibidang itu, tetapi malaikat meminta doktor Safir bercerita tentang teodisi Fakhr al – Din al-Razi, salah satu buku dengan pemikiran yang sangat mendalam yang ditulisanya.
Kenangan Ketika Yudisium (2013) |
“…Denken ist ein einsamer..”, (berfikir itu adalah pekerjaan sepi) kata Heidegger suatu ketika kepada kekasihnya Hannah Arendt. Heidegger menyambung kalimat itu dengan “ ..Deshalb begleite ihn..”, “karena itu temanilah dia”,kemudian Arendt sering menemani Heidegger sampai Arendt menjauh karena Heidegger bergabung dengan Nazi, sedangkan Arendt seorang Yahudi. Sama seperti Heidegger yang sering kesepian dalam kontemplasi pemikirannya, doktor Safir adalah pemikir yang juga sering kesepian dalam kontemplasi pemikirannya, namun dia selalu ceria ketika mengajar, selalu menjadi dinamit yang meledakkan kepala mahasiswa nya agar menjadi mahasiswa yang berfikir berani dan berbeda dari mainstream.
Ketika mengajar, doktor safir selalu menggunakan diktat kuliah berbahasa arab (gundul) apapun mata kuliahnya. Jarang saya menemukan beliau mengajar terutama mata kuliah yang saya ikuti menggunakan diktat berbahasa Indonesia. Diktat itu bukan dibawanya untuk gaya-gayaan, tetapi beliau baca dan jelaskan secara detail muatan isinya. Beliau adalah sosok yang memang sangat serius dalam mengajar, dengan intonasi suaranya yang khas, menjelaskan sejarah pemikiran Islam dan berbagai khazanah pemikiran Islam dengan sangat berisi dan padat.
Kenangan Para Mahasiswa Paska Sarjana Konsentrasi Pemikiran Ketika Yudisium (2013) |
Beliau adalah pembimbing tesis saya dan guru saya dalam berbagai mata kuliah yang sangat penting di Prodi konsentrasi Pemikiran dalam Islam Paska Sarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Saya menulis tesis tentang “Wilayatul Faqih dalam kaitannya dengan dunia Modern”, beliau adalah seorang yang sangat ahli dalam sejarah Syiah, bahkan rujukan beliau dalam mata kuliah adalah kitab – kitab dari Iran dan kebanyakan para pemikir Syiah. Ketika bimbingan tesis, saya selalu menjumpai beliau dirumahnya dan selalu disuguhkan teh atau kopi, bahkan sesekali seperti kenduri dirumah beliau, banyak makanan terhidang. Saya tidak pernah menyia – nyiakan kesempatan ini, jika bersama beliau ada waktu 1 jam, maka bimbinganya hanya 20 menit, 40 menit lainnya saya banyak bertanya tentang sejarah pemikiran dan filsafat kepada beliau, sehingga ketika beliau menjelaskan jawaban dari pertanyaan saya, waktu bergeser menjadi 2 sampai 3 jam, sebuah keuntungan besar buat saya.
Suatu ketika, dalam sebuah mata kuliah yang beliau asuh, beliau begitu tersentak ketika saya berkata : “Pak, menurut saya, Islam lah yang pertama sekali memulai segala kekacauan di dunia, Islam lah yang memulai semua konflik didunia ketika Islam membagi manusia , membedakan manusia menjadi Muslim dan Kafir”. Sejak saat itu, setelah peristiwa itu, ketika beliau mengajar, jika saya belum hadir di ruangan, beliau belum mau memulai kuliah, beliau menunggu saya hadir, ketika saya telah hadir, baru beliau memulai kuliah. Ini sering sekali terjadi, dan saya juga sering terlambat karena pekerjaan saya, maklum ketika itu saya kuliah S2 sambi bekerja.
Dalam bilangan waktu, ketika kuliah saya memasuki tahun kedua, suatu hari doktor safir menghubungi saya : “Jafar, kita ketemu di Masjid……..ya”, saya khatib jumat disana, ada pemikiran terbaru yang menarik kita diskusikan nanti setelah jumat”, pesan doktor Safir. Saya segera bergerak ke Masjid dimaksud. Setelah jumat selesai, dan ketika mayoritas jamaah sudah pulang, petugas masjid mendatangi beliau dan menyerahkan sebuah amplop, honor beliau sebagai khatib. Namun dengan halus beliau berkata “ Tidak usah, jangan, gunakan saja uang itu untuk kemakmuran masjid ini”. Mendapati pemandangan ini saya membatin, “ mungkin saja jika ditempat lainnya, di masjid lainnya, beliau tidak pernah mau menerima honor beliau sebagai khatib atau sebagai penceramah. Beliau mendedikasikan ilmunya sebagai penerang ummat tanpa pernah mau menerima bayaran.
Pesan yang paling saya ingat setelah saya menyelesaikan kuliah master saya adalah : “ jafar, kamu kan seorang pengamal tarekat, bisa jadi suatu saat nanti saya akan ikut belajar disana..”, “ "with pleasure, dengan senang hati pak,..”, kata saya. Namun dikemudian hari, disegala kesibukannya, beliau sering tidak punya waktu ketika saya mengajaknya, sampai waktu itu benar- benar tidak ada lagi, karena beliau telah pergi…
Selamat jalan pak, selamat jalan Doktor Safir, semoga disana engkau berjumpa Fakhr al – Din al-Razi sebagai teman diskusi abadi, sampai Israfil lupa meniup sangkakalanya….