PANCASILA HANYA UNTUK MAYORITAS, TIDAK UNTUK MINORITAS

T. Muhammad Jafar Sulaiman

 

Menjadi minoritas di Indonesia adalah musibah, sedangkan menjadi mayoritas adalah anugerah. Saat ini, Pancasila hanya ada di BPIP, tidak pernah ada di kepala dan persfektif para kepala daerah maupun sebagain para agamawan yang punya pengaruh dalam relasi antar manusia. Ada sebagian kepala daerah yang menyelesaikan segala persoalan terkait hak – hak minoritas agama, namun ada banyak juga kepala daerah yang malah menambah penderitaan kelompok minoritas diwilayah kepemimpinannya. Pancasila yang dirumuskan dan dihadirkan dalam sejarah bangsa sebagai rumah yang mempersatukan seluruh perbedaan, namun ditangan kepala – kepala daerah yang mengedepankan agama dalam kepemimpinannya merubah Pancasila hanya sebagai rumah yang sangat nyaman bagi mayoritas dan minoritas dipaksa tinggal diluar rumah, beribadah dalam angin dan badai. 


Sumber : Google 

Hari ini semua mengklaim paling pancasilais dalam gerakan – gerakannya. Kelompok yang dipersatukan oleh gerakan agama yang kemudian berubah menjadi gerakan politik selalu bicara bahwa eksistensi mereka dihalangi oleh negara, dan mereka mengatakan itu bukan semangat Pancasila. Sedangkan gerakan keagaman yang banyak ini sering membuat kekacauan dalam relasi antar manusia diruang-ruang publik, suka memainkan isu agama untuk politik, suka  menyesatkan komunitas agama yang lain, sering menghalangi pembangunan tempat – tempat ibadah bagi agama diluar Islam, sering mempermasalahkan keberadaan rumah ibadah agama lain diluar Islam, sering mengganggu kenyaman dan kebebasan sipil warga diruang – ruang publik. Namun, hari ini, sebagian besar kepala – kepala daerah tunduk pada kelompok ini, sehingga ketika ini terjadi, Pancasila hanya hiasan di dinding tidak pernah hadir ketika warga tidak mendapatkan haknya dalam beribadah. 


Indonesia adalah anugerah besar, seikat mukjizat dan sebuah keajaiban yang hadir dari sekian banyak kepingan keberagaman yang menyatu membentuk mozaik besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia adalah sebuah keluarga yang dipersatukan oleh persaudaraan kasih sayang luhur. Keluarga besar ini kemudian sepakat berumahkan pancasila sebagai tempat berteduh dan sebagai landasan moral kebangsaan, sebagai pandangan hidup bangsa yang memandu jalan bagi beragamnya anak – anak bangsa ketika berjalan dan berinteraksi.

 

Saat ini, banyak anak-anak bangsa yang masih menjadi korban intoleransi, yang terusir dari rumahnya sendiri, yang dipaksa pergi dari rumah ibadahnya sendiri, dari gerejanya sendiri, dari masjidnya sendiri, yang masih beribadah dibawah tenda-tenda darurat, yang masih didiskriminasi di tanah kelahirannya sendiri, yang dipersekusi di tanah bangsanya sendiri dan yang dihalangi untuk berjumpa dengan Tuhan yang dipercayainya di tanah leluhurnya sendiri. Sebagai sebuah bangsa yang harus berani melawan segala teror, juga masih banyak anak-anak bangsa yang dengan berani mengulurkan tangannya untuk saling membantu sesama saudara, menyelamatkan sesama saudaranya dari upaya adu domba yang ingin menyeret konfik horizontal sesama anak bangsa. 


Indonesia bukanlah sebuah bangsa yang lahir untuk menjadi milik mayoritas, tetapi sebuah bangsa yang hadir untuk menjadi milik bersama. Ketika kita sebuah keluarga besar, maka yang sejati kita perbesar adalah kasih sayang di antara sesama kita, memperkecil kebencian dan menghilangkan segala bentuk diskriminasi, baik dari hati, pikiran dan tindakan kita. Jutaan mil laut dari pulau ke pulau tidak akan pernah memisahkan kita. Ratusan bahasa tidak akan pernah menjauhkan kita, berbagai agama, keyakinan dan kepercayaan tidak akan pernah menyekat kita, ketika, sesama anak bangsa masih bersaudara dalam kemanusiaan dan berkasih sayang dalam perbedaan.

 

Kepada para penyelenggara negara atau siapapun, saya ingin berpesan, bahwa semua anak bangsa minoritas yang saat ini terusir dan teraniaya karena agama dan keyakinan yang dianutnya, itu semua terjadi karena negara -dengan segala relasi kekuasannya – telah memberi ruang yang begitu besar dan terhormat pada gerakan-gerakan radikal yang selalu membajak agama, menebar kebohongan dan teror ketakutan di ruang-ruang publik kebangsaan kita dengan keimanan hitam putih yang menutup pintu bagi ruang perjumpaan dan ruang pertemuan antar keberagaman.

 

Pancasila Sebagai Moralitas Kebangsaan

 

Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Apapun agama, aliran kepercayaan dan keyakinan yang hidup, tumbuh di Indonesia, apalagi yang bersumber langsung dari keluhuran nilai budi Indonesia maka wajib dilindungi dan difasilitasi oleh negara. Semua itu harus dipastikan oleh negara untuk diperlakukan secara setara. Dalam hal ini, agama-agama nusantara, aliran dan kepercayaan Nusantara: Sunda Wiwitan, Sapto Darmo, Marapu, Samin, Ugamo Bangsa Batak, Parmalim, Amatoa, adalah keluhuran nusantara yang harus tetap ada sebagaimana adanya.


Ketika Pancasila adalah rumah bersama, maka mengembalikan mereka ke rumah mereka sendiri adalah Ketuhanan yang berkebudayaan. Masa depan Indonesia ada pada spiritualitas Pancasila yang humanis. Sedangkan gerakan radikalisme, gerakan takfiri dan terorisme adalah gerakan ahumanis. Gerakan-gerakan ini adalah batu sandungan bagi masa depan Indonesia.

 

Ketika siapapun dan di manapun, atas nama demokrasi memberi ruang dan memfasiitasi penyebaran kebencian – apalagi berdalih agama – maka sampai kiamatpun kita akan terus larut dan tenggelam dalam “warisan kekerasan dan diskriminasi”. Yang akan terus diwarisi oleh para pembenci bergenerasi-generasi tanpa pernah bisa berhenti.


Terorisme adalah aib bagi masa depan kebangsaan kita. Maka memberi ruang – secara terhormat dan menganggap biasa saja – pada penyebutan kata-kata “kafir”, “sesat”, “bunuh” antar sesama manusia diruang-ruang publik adalah media pemekaran dan otonomi khusus bagi gerakan terorisme. Terorisme itu hadir dari hati dan pikiran yang membenci, bukan dari segala kesulitan ekonomi. Hati dan pikiran yang membenci semakin mendapatkan panggung penghargaan. 

 

Hanya pada dua hal sederhana di atas, ketika arena tersebut selalu disediakan negara atau siapapun, maka, kapan rantai kekerasan, diskriminasi dan perkusi akan terputus ?., maka lawanlah lingkaran itu dengan spirit pancasila sebagai aktualisasi moral kebangsaan, yang selalu di bicarakan, selalu di dialogkan, selalu di ceritakan , bukan dengan indoktrinasi.

 

Ketika kita hidup di alam demokrasi, maka sama halnya dengan pancasila, demokrasi bukan turun dari langit untuk melegitimasi kebebasan membenci antar manusia, tetapi kebebasan menjaga kebaikan antar manusia, demikian halnya pancasila, dia tergali dari nilai-nila luhur yang mengalami fase pembuahan, perumusan dan pengesahan dan kini harus diceritakan berulang-ulang tetapi tidak sebagai legitimasi kekuasaan tetapi sebagai moralitas kekuasaan yang aktualisasinya ada pada bagaimana memperlakukan anak-anak Bangsa secara adil dan bermartabat. 

 

Kedepan, akan ada lagi pilkada serentak di beberapa daerah di Indonesia, dalam pilkada serentak, maka lawanlah segala politisasi idenittas dan politisasi agama dengan menceritakan pancasila sebagai aktualissasi moral kebagsaan yang tidak pernah mengizinkan politisasi agama dan politisasi identitas. Dan, yang paling sederhana adalah hiduplah dengan kasih saying, tidak memberi ruang apapun bagi pengajaran kebencian antar manusia, sekalipun mengatasnamakan agama dan atau untuk membela agama.

 

Mari terus teguhkan Pancasila sebagai rumah bersama kita, rumah persudaraaan perbedaan dalam ragam perbedaan. Tempat kita berteduh dari segala hujan kebencian, tempat kita berteduh dari terjangan badai permusuhan. Pancasila adalah rumah bagi siapapun anak bangsa yang hati, jiwa, pikiran dan tindakannya mencintai Indonesia dengan ikhlas, tulus dan teguh, karena pancasila adalah moralitas kebangsaan Indonesia. 

 

 

 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url

Baca Juga Tulisan Lainnya :