SENJAKALA BANK SYARIAH :BUKAN DEMI TUHAN, TAPI DEMI CUAN DAN DEMI KEKUASAAN
T. Muhammad Jafar Sulaiman
Takdir Aceh adalah Provinsi dengan sumber daya alam yang kaya sekali. Ini adalah anugerah sekaligus musibah. Anugerah ketika kekayaan ini diperuntukkan sebesar - besarnya untuk kesejahteraan rakyat banyak dan musibah ketika kekayaan ini diperuntukkan hanya untuk memperkaya segelintir orang saja. Sejatinya, kekayaan sumberdaya alam ini, membuat Aceh sejahtera dan maju, kalaupun mabuk, mabuk dengan kesejahteraan, bukan mabuk dengan agama. Namun, kebanyakan orang Aceh lebih memilih mabuk dengan agama tanpa kesejahteraan, ketimbang memilih sejahtera, yang justru kemudian bisa menjadikan agama maju dan humanis.
Jika sudah bicara Aceh, maka ada satu pertanyaan penting yang wajib di ajukan, apa hubungannya seluruh kekhususan Aceh dengan kesejahteraan, apa hubungannya, bagaiman relasinya UUPA, MoU Helsinki, Bendera, Lambang, Hymne, dengan kesejahteraan ?. Apa hubungannya, bagaimana relasinya implementasi syariat Islam dengan kesejahteraan, apa hubungannya dan bagaimana relasinya Bank Syariah dengan kesejahteraan ?.
Sebagian rakyat Aceh pasrah begitu saja menerima segala pembodohan dan pelalaian menggunakan agama yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam semua relasi kuasa agamawan, politisi, kepala daerah yang bertujuan menggunakan kekuasaan bukan untuk membela agama, tetapi untuk memperkaya diri, memperoleh kursi, memperkaya kelompok, menutupi segala bobrok, dan untuk menguasai segala sumberdaya alam Aceh. Sebagian orang ini menggunakan agama untuk mengalihkan perhatian rakyat agar mereka leluasa menjalankan aksi jahatnya. Kekuasaan juga menggunakan agama untuk menutupi segala bobrok kekuasaannya. “ Biar kerja- kerja kita aman, maka kita harus tampil sebagai pahlawan syariat”. Demikian kata mereka ketika menjalankan aksi jahatnya.
Source : Google |
Di sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, maka konflik harus diciptakan dan dipelihara agar penduduk didaerah tersebut tidak fokus untuk mengawal kekayaaan sumber daya alamnya. Disebuah dareah yang kaya akan sumber daya alam, rakyat di daerah itu sering dimabukkan dengan agama dan dengan isu – isu agama. Semakin rakyat tersebut mabuk dan ribut dengan persoalan agama yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan, semakin menguntungkan bagi para penggaruk kekayaan sumber daya alam Aceh. Salah satu polemik yang diciptakan untuk memabukkan rakyat Aceh tersebut adalah “Polemik Bank Syariah”. Rumusnya sederhana, semakin rakyat mabuk dengan Bank syariah, semakin leluasa kekayaan alam dikeruk tanpa Syariah, semakin aman dan nyaman semua posisi – posisi penting dan strategis didapat oleh mereka – mereka yang terus mengambil untung dari segala polemik yang ada di Aceh.
Hanya gara – gara bank Syariah, yang dia terus untung dan rakyat terus buntung, masyarakat kita semakin menjadi masyarakat sakit dan sedang tidak baik – baik saja. rakyat didaerah tersebut larut dalam polemik agama, sehingga saking larutnya rakyat terbelah kepada dua frasa, “kaphe” dan “Muslim”, “syariat dan anti syariat”, “Pro Bank Syariah dan Kontra Bank Syariah”, “Pro revisi qanun dan kontra revisi qanun”, padahal ketika jaman – jaman kita masih bermain patok lele dulu, dengan tingkat keimanan dan ketaqwaan warganya yang begitu kuat, berbeda sekali bila dibandingkan dengan keimanan dan ketaqwaan warga sekarang yang seperti kerupuk pecal, kita tidak pernah mendengar pemilihan- pemilihanan masyarakat yang seperti itu.
Sampai saat ini, rakyat di Aceh mudah saja percaya bahwa polemik bank Syariah itu bagi yang pro kembalinya bank konven dan pro revisi qanun, bisa berpotensi murtad, berpotensi menjadi kafir, menjadi pengkhianat agama, menjadi Yahudi dan sekaligus menjadi penentang syariat Islam. Sedangkan bagi penolak revisi qanun, menolak kembalinya bank konven adalah jihadis, pahlawan agama, pahlawan Syariah, pembela agama. Padahal keterbelahan ini, semakin membuat Aceh terpuruk, tersudut, terisolir dari segala jalan kesejahteraan, dari segala fajar kebebasan dan dari segala jalan kemajuan.
Keterbelahan ini adalah tanda bahwa Aceh memang sedang sakit parah, jiwa- jiwa rakyat Aceh memang sedang sakit kronis. Tanda paling sederhana dari itu adalah apapun narasi, apapun polemik pasti akan di sublimasi kepada agama. Mengapa selalu di arsir ke isu agama, karena disitu ada banyak cuan, disitu akan lahir projek, disitu akan ada keuntungan untuk suara pileg, ada keuntungan untuk suara pemilukada. Mereka akan dapat kekuasaan dari semua relasi kuasa formal dan informal yang mereka bangun dan rakyat semakin terpecah belah. Aceh terus buntung, Medan semakin untung. Aceh terus terkurung, Medan terus melambung.
Lalu, siapa yang diuntungkan dari polemik yang tidak berguna ini ?, hanya seberapa persen orang yang diuntungkan dari polemic qanun LKS ini. pertama adalah akademisi, dari polemik ini bisa menghasilkan jurnal – jurnal Scopus, bisa melahirkan projek survey, penelitian, analisis kebijakan. Para akademisi, terutam yang background keilmuannya adalah ekonomi Islam, perbankan Syariah sangat diuntungkan dengan adanya polemik ini, karena mereka menjadi rujukan utama dari keberadaan bank Syariah.
Yang sangat diuntungkan berikutnya adalah para politisi. Kelompok ini, ketika melihat sesuatu objek, kalau sangat menguntungkan mereka, maka akan mereka mainkan, akan mereka ributkan, akan mereka adu polemik yang ada dengan sentimen massa, yang tujuan akhirnya adalah kalkulasi suara. Menjadi politisi, untuk meraih suara tentu butuh modal besar, tetapi untuk memainkan isu syariat, terutama dalam persoalan polemik Bank Syariah modalnya sangat kecil sekali, inilah yang menjadi sebab kenapa para politisi suka sekali memainkan isu syariat, suka sekali memainkan isu agama, karena “ Low Cost but High Profit” “ modalnya sangat kecil, tetapi mendapatkan untuk yang kuat”.
Modalnya hanya cuap-cuap saja, kemudian dia segera menjadi pembela agama, segera menjadi pahlawan agama, ujung – ujungnya dari modal bersuara itu adalah kalkulasi suara.
Diakhir semua perjalanan puluhan tahun yang melelahkan itu,dari semua arsiran agama, politik, kekuasaan itu, maka pertanyaan murni dan sangat bermoral untuk diajukan adalah isu bank Syariah itu demi cuan, demi kekuasaan atau demi Tuhan ?.
Mereka bisa saja mengatakan bahwa semua itu demi Tuhan, dengan segala tampilan mereka untuk meyakinkan umat, tetapi diqalbu mereka terdalam tidak ada lagi kemurnian demi Tuhan, karena sudah ternoda dengan hasrat kekuasaan dan cuan. Indikator paling sederhana adalah mereka begitu menggebu-gebunya ketika bicara isu ini, sehingga yang hadir adalah hasrat (desire) yang sama sekali tidak lagi murni, karena kemurnian itu tidak ada lagi debat dan tidak ada lagi rebut, tenang dan bersahaja.