REVOLUSI CARA BERAGAMA
T. Muhammad Jafar Sulaiman
Manusia yang memeluk suatu agama tertentu, agama diyakini sebagai institusi pokok baginya dalam rangka penyempurnaan diri atau setidak tidaknya sebagai sarana yang efektif bagi pemenuhan ketenangan dan kebahagiaan jiwanya. Untuk mendukung cita-cita dan melindungi kepentingannya tersebut manusia kemudian melakukan rangkaian upaya-upaya untuk memperteguh dan memberikan landasan keyakinan yang kokoh agar pilihannya untuk beragama benar-benar tidak keliru.Berbagai metode dan cara telah lahir untuk menjelaskan pilihannya tersebut.
Bagi sebagian kelompok, kajian terhadap teks kitab suci dan Sunnah memberikan kepuasan tersendiri bagi dirinya atau dalam upayanya mempengaruhi orang lain, padahal kajian tekstual kitab suci tidaklah memadai untuk mencapai esensi agama, karena kitab suci hanya bermakna apabila kita bisa menjelaskan, menguji validitas kebenaran dan membuktikan statement-statement tersebut beradasarkan hukum-hukum akal yang universal dan merasakan lansung pembuktian kebenaran tersebut. Akal merupakan salah satu daya yang dimiliki jiwa manusia yang menjadikannya mampu memahami pesan-pesan Tuhan yang berguna bagi keharmonisan hubungannya dengan sang khalik dan kebaikan hidup di dunia, namun diatas akal adalah intuisi, yang kebenaran dan validitasnya tidak berdasrkan akal, tetapi berdasarkan panduan dan pemberitahuan lansung dari Tuhan (nafsani), tanpa teks dan diluar teks sama sekali. Jika kita bicara tafsir, maka tafsirnya adalah tafsir isyarah, bukan tafsir ayat.
Source : Google |
Selain kedua jalan diatas, metode lainnya mendasarkan seluruh pesan-pesan transendental agama melalui jalur pengalaman spiritual. Dibalik komponen materil agama, seperti kitab suci ataupun hukum-hukum akal yang menjelaskannya, terdapat fase spiritual dimana klaim-klaim yang terdapat dalam kitab suci maupun ucapan para nabi mendapatkan pembenaran secara langsung melalui pengalaman spiritual yang bersifat khusus. Disini, akal bukanlah satu satunya sumber pengetahuan, tapi pengalaman dan merasakan lansung (hudhuri) yang menimbulkan pengetahuan dan pemahaman langsung kepada manusia. Artinya, ada sebuah fase revolusioner bagi manusia dari aku berfikir maka aku ada, kepada aku tidak berfikir sama sekali, tetapi dipandu lansung oleh Tuhan, tanpa berfikir sama sekali.
Jika ditinjau lebih jauh, kelompok dan aliran keagamaan yang muncul tentu saja tidak sesederhana itu, namun setidaknya perbedaan-perbedaan yang muncul umumnya merupakan derivasi dari tiga klan besar seperti yang disebutkan diatas. Kontinuitas dari hal tersebut para penganut agama tentu saja melakukan sejumlah amalan praktis yang berhubungan dengan prinsip-prinsip keagamaan yang sebelumnya telah terkonstruk secara teoritis dan masing masing memiliki keyakinan kebenaran tersendiri, demikian pula dalam konteks perbedaan yang ada, setiap kelompok memiliki daya pengaruh tersendiri dalam menyebarluaskan pemikiran keagamannya. Pada tataran ini pada dasarnya tidak ada masalah apapun yang muncul, namun masalah-masalah tersebut mulai bermunculan tatkala kelompok-kelompok tertentu menentukan klaim sepihak dan memaksa pihak lainnya agar memiliki keseragaman pandangan dengan dirinya, bahkan dalam banyak peristiwa yang terjadi, kelompok mayoritas (massa) berubah menjadi “hakim” bagi minoritas, kekerasan menjadi “vonis akhir” dengan dakwaan primer karena mereka berbeda dengan mayoritas.
Padahal sejatinya dalam konteks Negara hukum seperti halnya Indonesia, hukum harus menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan perselisahan yang dihadapi setiap warga Negara, dan hukum benar-benar memberikan jaminan yang memadai terhadap perbedaan yang muncul. Jika kita melihat salah satu aturan mengenai agama dalam konstitusi Indonesia, seperti yang tersebut dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keyakinannya itu”.
Ketentuan ini pada dasarnya menjadi jaminan hukum bagi setiap kelompok untuk mengamalkan agama dan keyakinannya, namun dalam penerapannya pasal ini justru seringkali menjadi konsideran bagi aturan-aturan hukum yang mendiskriminasi kelompok-kelompok agama yang minoritas.
Dalam konteks hukum dan perselisihan antar kelompok agama, Prof. Shadiq Jibran menyebutkan bahwa asal usul konflik dalam hukum didasarkan kepada asumsi hak, dimana setiap pihak mengklaim dirinya paling berhak dibanding yang lain, untuk membela hak tertentu, membela diri dari suatu tuduhan, dan masalah-masalah sengketa hukum lainnya”. Persoalan inilah yang pada dasarnya menjadi problema hukum di Indonesia dimana setiap kelompok masing-masing merasa memiliki hak yang sama dalam beragama, sementara pihak yang mayoritas justru merasa paling berhak atas penentuan “nasib” dan masa depan kelompok agama lain. Karenanya supremasi konsep Negara Hukum semestinya equivalen dengan jaminan pembelaan hak yang memadai bagi kasus-kasus perbedaan, terutama dalam konteks keagamaan.
Dari beberapa bagian penjelasan diatas, kita memahami bahwa perbedaan dalam hal beragama dan pengamalan nilai-nilai agama tersebut berbeda-beda dan tidak mungkin untuk diseragamakan apalagi dengan jalur kekerasan atau pemaksaan melalui regulasi hukum. Selain itu kita juga mengetahui bahwa paham agama dan amalan praktis dalam beragama merupakan suatu hal yang padu, namun yang menjadi pokok masalah adalah tindakan praktis yang memaksa dan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama lainnya, maka disini, revolusi cara beragama bermakna perubahan pola tindakan yang selama ini identik dengan kekerasan dan diskriminatif menjadi pola tindakan beragama yang berbasiskan penghormatan dan toleransi antar pihak yang berbeda dan juga mengekpresikan ekspresi agama, kepercayaan dan keyakinan yang dianut bahkan diruang – ruang publik tanpa ada ketakutan sama sekali dan para pemegang kebijakan juga beragama sebagai seorang negarawan dan tidak beragama sebagai seorang agamawan, jadi sama sekali bukan bermakna perubahan kultur pada tataran aplikasi amalan/peribadatan, tetapi perubahan cara Bergama dari agama - agama kajian kepada agama pembuktian, dari agama ritual kepada agama spiritual, dari agama syariat, kepada agama hakikat.