SAATNYA FILSAFAT MATI
T. Muhammad Jafar Sulaiman
Konteks Filsafat adalah pemikiran, filsafat paling murni adalah pemikiran manusia tentang pengetahuan wujud , awal dan akhir wujud, yang kemudian berjalan berkelindan dengan keyakinan agama maupun ketidak yakinan terhadap agama. Filsafat, baik Barat maupun Timur, tidak bisa mengelak dari mistisisme sebagai sebuah sistem sendiri yang dipraktekkan oleh para sufi, dimana kemudian para filosof terikat, menggandrungi mistisisme dalam satu dan lain bentuk.
Metode mistis memang terlihat lebih menghunjam daripada pendekatan analitis, karena mistisisme yang dipraktekkan para sufi merupakan suatu bentuk pemikiran yang tidak hanya menerapkan akal, tetapi juga rasa, dengan begitu sufi telah menembak sasaran yang tidak bisa digapai oleh cara-cara lain dalam berfilsafat. Filasafat logika memang relevan dengan mistisisme dan mistisime (tasawuf) bisa berdamai dengan cakrawala pandangan filsafat. Disnilah konteks filsafat dan tasawuf, failasuf dan sufi bertemu, menjadi sebuah alat analitis, perpaduan akal dan hati (qalb) yang bisa melihat persoalan-persoalan manusia modern, bahkan diluar nalar dan batas-batas ketersekatan manusia (borderline), apakah agama, aliran, mazhab, suku, ras, etnik, kelas sosial. Konteks yang sangat relevan, cocok dalam konteks manusia modern, yang sudah tidak ingin lagi terbeda-bedakan dan terpenjara dalam sekat sektarianisme dan fanatisme tertentu dan lebih menginginkan bisa dipertemukan dengan sebuah “realitas wujud yang satu” yang dibawah ini semuanya bisa berhimpun, disinilah philosufi mengambil bentuk dan peran tersendiri.
Pemikiran, seperti juga penciptaan manusia, sama-sama melampaui perjalanan sejarah. Dimanapun ia, pemikiran merupakan ciri yang tidak bisa dipisahkan dari manusia. Dimanapun manusia menjejakkan kakinya, pemikiran dan pemahaman senantiasa akan dibawa manusia, disinilah koteks philosufi berada dan bergerak, sebagai bagian dari memproduk pemikiran yang bisa melihat realitas objektif manusia dan jalan keluar terhadap realitas objektif tersebut. tasawuf secara harfiah berarti mengetahui dan secara teknis dia diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa (tidak melalui pengalaman indriawi dan analisis rasional), dalam proses “tamasya ruhani” ini, terjadi sejumlah “ketersingkapan” yang kemudian tercerap dalam realitas berupa penggambaran tajam apa yang terjadi dimasa lalu, masa kini atau masa depan, adakalanya dia membutuhkan penafsiran dan adakalanya tidak perlu (fana), dan penangkapan para sufi dalam melalui perjalanan ini disebut sebagai “gnosis ilmiah” dan kemudian lama kelamaan semua itu membentuk bahasan-bahasan filsafat, sehingga terjadi kesaling hubungan dan kesaling terkaitan antara filsafat dan tasawuf.
Source : Google |
Filsafat dan tasawuf (philosufi) adalah sebuah keniscayaan bagi manusia modern. semua manusia menumpang kapal besar bersama yang bernama bumi, berputar-putar di jagad kosmos, lalu lalang bertamasya ke lautan waktu yang tak berbatas (limitless), akan kemana arah kita kalau selalu kekerasan, kebencian yang kita utamakan? . apa yang bisa mempertemukan kita dalam sebuah payung besar diantara segala perbedaan-perbedaan yang dengan perbedaan ini cenderung menyebabkan lahirnya konflik-konflik kemanusiaan?. Idealnya masyarakat modern adalah masyarakat yang terbuka, karena dengan keterbukaan tersebut dapat mencerap ragam perbedaan sebagai hikmah yang bisa mempersatukan perbedaan tetap dengan keberbedaannya masing-masing. Masyarakat terbuka adalah masyarakat yang “buta warna” manusia yang tidak lagi tersekat oleh agama, ras, suku, etnis dan kelas sosial. Gambaran buta warna ini telah lama sekali dikumandangkan oleh banyak sekali filosof dan sufi sepanjang sejarah manusia, diantaranya kita dapat melihat syair yang disuarakan oleh Rumi :
Aku tidak mengetahui diriku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi,
Bukan Majusi, Bukan Islam
Bukan dari sumber alam,
Bukan dari surga yang berputar
Bukan dari Timur, maupun Barat,
Bukan dari darat,laut maupun langit
Bukan dari bumi, air, udara maupun api,
Aku tidak wujud,
Bukan dari singgasana, penjara, eksistensi maupun makhluk
Bukan dari dunia kini atau akan datang,
Bukan dari Adam, Hawa
Bukan dari Tama Firdaus
Tempatku tidak bertempat
Jejakku tidak berjejak,
Baik raga maupun jiwaku
Aku milik sang pencinta
Melihat dua alam bagaikan Satu
Satu yang dikata dan dikenal
Awal, akhir, luar, dalam
Hanya nafas yang menafaskan manusia.
Konsep buta warna ini adalah dimensi yang sudah dimasuki oleh Sufi setelah tahapan rasionalitas terlampaui, akal telah memproduk “hukum-hukum mengenai wujud “ada”, tapi tidak mampu sendiri menuju kepada wujud ada tersebut, untuk menuju kewujud ada diperlukan “pengetahuan kehadiran”, dan kemudian “mengalami kehadiran”, ketika puncak kehadiran, maka realitas ini adalah realitas tanpa sekat, baik agama dan sebagainya, tetapi murni cinta dan kasih sayang. Bagi seorang sufi, Tuhan adalah yang utama, perjalanan menuju Tuhan (realitas sebenarnya wujud) hanya dapat ditempuh dengan Cinta hakikat, bukan cinta berdasarkan kulit luar yang masih berdasarkan agama tertentu, kaum Sufi tidak lagi memakai stasiun ini untuk menuju Tuhan.
Ada tiga paradigma teori pendekatan terhadap persoalan manusia modern, yaitu paradigma order, paradigma plural dan paradigma conflict. Pertama, Paradigma order merupakan paradigma yang melihat bahwa masyarakat merupakan sebuah kesatuan yang selalu mencari keteraturan, dengan asusmsi bahwa individu selalu mencari ketenangan didalam hidupnya. Kedua, paradigma plural merupakan paradigma yang sifatnya lebih mengakui pluralitas pada diri manusia dibandingkan paradigma order. Paradigma plural melihat bahwa masyarakat merupakan sesuatu yang dibangun dari kerjasama yang rasional dan menguntungkan diantara manusia-manusia. Ketiga, paradigma conflict merupakan paradigma yang memandang masyarakat sebagai satu kesatuan sosial yang rentan dengan konflik dan kesenjangan.
Dari ketiga paradigma melihat konteks masyarakat modern ini, kita dapat melihat dalam konteks Indonesia, untuk mendudukkan posisi philosufi. Bahwa di Indonesia, kita belum memasuki tahap masyarakat yang bisa merayakan keberagaman, tapi masih sangat rentan berada pada paradigma conflict, pluralitas dipandang sebagai sebuah arena yang rentan menghadirkan konflik, kalau paradigma order, itu adalah kriteria masyarakat yang akan terwujud sendiri jika “keberagaman” tidak dipandang sebagai wilayah rentan. Inilah realitas yang dapat kita lihat dari kasus-kasus yangterjadi di tanah air, kasus Ahmadiyah, kasus Syi’ah, penutupan dan perusakan rumah ibadah dan tempat ibadah protestan, kasus penyesatan, keberbedaan masih dianggap meresahkan sehingga keresahan yang menggebu-gebu ini dibaca dengan semangat intoleransi (tindak kekeasan) yang harus dihilangkan, untuk sampai ketahap masyarakat yang bisa merayakan keberagaman keberbedaan secara bersama, maka diperlukan pembebasan paradigma, kerangka fikir dan tindakan dan inilah wilayah yang akan dilakukan philosufi.