KETIKA KRISIS ADALAH PENCERAHAN DAN KEMERDEKAAN
T. Muhammad Jafar Sulaiman
Selama dunia ini ada, dan selama manusia hidup didalamya, krisis adalah keniscayaan. Manusia tidak mungkin menghindari krisis, menghindarinya maka mansuia akan terus terpuruk, menghadapinya manusia juga akan semakin tergilas, yang paling benar adalah mengubahnya. Jumlah uang, jumlah kekayaan, serta kemakmuran didunia ini angkanya tetap, malah akan semakin membesar, karena itu, dengan rumus apapun, krisis itu adalah perpindahkan kemakmuran dan perpindahan kekayaan dari satu kelompok kepada kelompok lainnya.
Tidak perlu terlalu jauh, lihat saja ditempat terdekat kita, Aceh, konflik dan damai hanyalah perkara perpindahan kemakmuran dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Ketika konflik, ada kelompok yang terus terpuruk, namun ada kelompok yang terus Makmur, ketika damai, ada kelompok yang terus terabai, terkulai, remuk tak beraturan namun ada kelompok yang makin makmur, kayanya menjuntai-juntai dan terus mapan dari tahun ketahun. Dunia memang begitu, yang kaya akan semakin kaya, yang miskin akan semakin miskin, ketika tidak berpindah, atau tidak dipindahkan.
Source : Google |
Sekalipun krisis adalah perpindahan kemakmuran, namun dalam banyak sejarah dunia, hanya satu yang belum bisa dihindari manusia dalam setiap krisis, yaitu mengorbankan manusia. Hari minggu, 2 september 1945, diatas kapal perang AS, USS Missouri, Jepang menyerah secara resmi dengan menandatangni surat resmi penyerahan diri. Tanggal ini juga menjadi penanda berakhirnya perang dunia II. Perang ini telah mematikan 68 juta manusia didunia, dan Jepang menyerah setelah 120.000 warganya tewas di Horoshima dan Nagasaki.
Empat bulan sebelumnya, Jerman juga menyerah kepada Uni Soviet, setelah 35.000 warganya tewas. 30 April 1945, Uni Soviet melakukan serangan terakhir di Berlin, ibu kota Jerman. Saat pasukan Soviet masuk ke dalam Kantor Perdana Menteri Reich, saat itulah Adolf Hitler bunuh diri.
Perang dunia kedua, melahirkan dua aliansi dunia, yaitu Blok Poros dan Blok Sekutu. Blok Poros beranggotakan Jerman, Italia, dan Jepang. Blok Sekutu beranggotakan Amerika Serikat, Inggris Raya, Uni Soviet, dan Tiongkok. Pasca Jepang menyerah kepada Amerika, 2 september 1945, sebagaimana disabdakan oleh Samuel Huntington, peta dunia berubah dari Bipolar, menjadi Multipolar. Semua krisis melahirkan negara- negara yang terus kaya dan negara- negara yang terus miskin. Oleh kerja para pengatur kebijakan dunia, disebutlah pilahan itu dengan negara maju dan negara berkembang atau negara sedang berkembang. Negara – negara didunia segera berubah menjadi negara – negara produsen dan negara-negara consumer, negara- negara predator dan negara- negara yang hanya menjadi mangsa.
Semua perang didunia, bukanlah karna agama, demi agama, demi harkat dan martabat, tetapi demi kekayaan, demi merampas dan memindahkan kekayaan. Dalam rentang sejarah perang Salib, yang dikatakan sebagai perang suci, Jauh sebelum Yerussalem jatuh ke tangan Salahuddin Al Ayubi, Godfrey of Ibelin berkata kepada anaknya Balian de Ibelin, “ kau pikir perang ini demi agama, tidak, perang ini demi emas, perang ini demi kekayaan,..”. hingga akhirnya dari reruntuhan benteng terakhir Yerussalem, melihat kecemasan Ratu Sheba, Balian sang panglima perang Kristen berkata kepada Ratunya : “tenang saja, kerajaan abangmu, tidak pernah runtuh dan hancur, kerajaan abangmu tidak dibangunan ini, tetapi ada dihati”. Ratu Sheba khawatir terhadap berpidahnya kekayaan kerajaan abangnya kepada Salahuddin. Balian bertanya kepada Salahuddin “ Apa artinya Yerussalam bagi anda,?”. “tidak ada, tetapi adalah segalanya”, Jawab Salahuddin.
Dalam sejarah Islam juga tercatat, 2 Januri 1492 M, Abdillah Muhammad bin Al Ahmar keluar dari Istana Al Hambra dengan sangat terhina. Malam itu, Istana Alhambra di Granada yang 800 tahun dikuasai Muslim.Pemimpin terakhir Andalusia tersebut meninggalkan istana nan megah itu dengan hati berkecamuk, pedih dan pilu, dia menaiki bukit yang sangat tinggi, disini, dia menatap Istana dan menangis sejadi - jadinya sampai jenggotnya basah. Melihat hal itu, ibunya berkata : “ Menangislah! Menangislah seperti bukan seorang laki - laki! Karena kau tidak mampu menjaga kerajaanmu sebagaimana seorang laki-laki perkasa." Jalan itu kemudian dikenal dengan nama Puerto del suspiro del more (Jalan helaan nafas terakhir sang Moor).
Satu hal yang paling penting untuk dipahami dan dimengerti bahwa tangisan Ahmar tersebut bukanlah tangisan karena kecintaannya kepada agama, atau tangisan karena hilangnya peradaban Islam dengan jatuhnya Granada, bukan juga tangisan karena hancurnya pustaka dan 400.000 buku didalmnya atau tangisan karena runtuhnya Islam sebagai rujukan peradaban dan pengetahuan dunia, tetapi dia menangis karena kehilangan kekuasaanya, kehilangan singgasana dan kehilangan seluruh harta kekayaannya yang dirampas karena kekalahan itu, menangsi karena berpindahnya semua kekayaan – kekayaan itu.
Tidak ada pemimpin yang membela agama, tidak ada agamawan yang membela agama, mereka hanya membela diri mereka sendiri. Membela agama hanya ada pada sosok yang otoritas agama dunia dan akhirat ada ditangannya. Itupun membela agama bukan karena diserang tetapi membela agama, karena agama dibajak oleh orang – orang Islam sendiri yang merusak kesucian dan kemurniaan agama yang juga menggunakan dalil – dalil agama.
Manusia dan Krisis
Krisis akan terus ada, malah akan terus ada dan besar tidak mungkin berkurang. Maka , bagi manusia dalam menghadapi krisis hanya berada pada dua pilihan, yaitu mengambil cara aman untuk sekadar menyelamatkan diri dan bertahan hidup (survival mode), atau memilih cara inovasi (innovation mode). Jika hanya mengambil survival mode, seseorang mungkin selamat dari krisis. Tetapi ia tidak akan mendapatkan sesuatu yang baru setelah krisis. Sebaliknya, jika memilih cara inovasi, ia akan tumbuh kuat dan siap menghadapi segala tantangan dalam kondisi apa pun.
Sejatinya, jadilah manusia yang tidak takut kepada krisis, yang perlu dipikirkan dipikirkan adalah bagaimana mencari terobosan baru menghadapi krisis. Jadi, yang perlu dibangun adalah berpikir adaptif karena krisis akan selalu datang berganti-ganti. Yang sangat dibutuhkan adalah bagaimana merespons krisis, dengan cara adaptif terhadap perubahan, serta berupaya mengatasi krisis dengan cara-cara baru. bukan krisisnya yang perlu di takutkan, tetapi bagaimana bisa merespons krisis agar kita bisa mencari cara baru dalam bekerja Jika manusia mengambil model inovasi, maka dia akan tumbuh kuat dan siap menghadapi segala tantangan. Ini yang berat dan tidak mudah.
Saat manusai berada dalam masa krisis, kekacauan, dan mengalami pengalaman traumatis, manusia memasuki "survival mode". Seperti berada dalam mode freeze, flight, fight, dan fawn response. Kebanyakan manusia mungkin sudah sangat lama berada dalam survival mode ini dan tidak menyadari hal ini, sehingga hal ini menghambat mansuia untuk terus bertumbuh. Lantas, akan sampai kapan manusia berada dalam mode ini?
Sebuah daerah yang susah untuk maju, daerah itu akan ditandai dengan banyaknya manusia yang beragama dengan model Survival mode ini. mode untuk sekedar bertahan hidup, selalu dalam kecurigaan, selalu dalam kewaspadaan dan selalu merasa dalam keterancaman. Dia melihat sesuatu yang sedikit berbeda dengan dia selalu dilihat dan dinilai sebagai sebuah ancaman, harus selalu dicurigai dan diwaspadai, hidupnya sangat kaku sekali.
Manusia yang beragama dengan model ini, selalu akan hidup dalam ketakutan, selalu merasa orang lain, kelompok lain sebagai ancaman bagi dia, tidak ada ketenangan dalam hidup. Dari manusia- manusia dengan mode ini sering keluar kalimat – kalimat dan kata – kata “meresahkan”, “sesat”. Padahal seharusnya, dia harus badaptif dengan sesuatu yang berada diluar dia, tidak lansung menganggap berbeda sesuatu yang berada diluar dia, justru harus terus mencari titik temu dan mencari persamaan – persamaan, jika memilih cara seperti ini, maka kehidupannya akan maju, karena dia sudah terlepas dari segala ketakutan, orang yang selalu ketakutan, tidak akan pernah bisa melakukan apapun, dan tidak berani berinovasi melakukan perubahan – perubahan.
Karena itu, beragamalah secara inovatif, bukan beragama sebagai model bertahan hidup. Jika terus beragama dengan model bertahana hidup, akan terus hidup dalam narasi kawan dan lawan, memangsa atau dimangsa, tidak akan menambah kawan atau persahabatan, tetapi terus menambah musuh, menciptakan konflik – konflik baru, dimana seharusnya bisa hidup dengan damai dan tenang. Beragama dengan survival mode ini akan akan melahirkan manusia- manusia yang hanya berfikir untuk besok dan hari ini, tidak pernah punya visi , tidak pernah punya masa depan, padahal agama adalah visi dan agama adalah masa depan.