MASA DEPAN ACEH : SPIRIT AGAMA HARUS SEJALAN DENGAN SPIRIT KEBEBASAN
Pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan, antara spirit agama dan spirit kebebasan merupakan narasi sejarah yang menjadi penanda paling memorial dalam sejarah manusia. Kekuasaan dalam banyak hal tidaklah otonom dan berdiri sendiri tetapi merupakan proses persekongkolan baik dan jahat dari agamawan dan kekuasaan yang sering di menangkan oleh yang jahat.
Sejatinya, Aceh yang ideal adalah Aceh yang spirit agamanya (the spirit of religion), mendukung kepada spirit kebebasan (the spirit of freedom), yang terjadi malah sebaiknya, spirit agama bertentangan dengan spirit kebebasan, spirit agama mereduksi spirit kebebasan. Aceh hari ini adalah Aceh yang Spirit agama dan spirit kebebasan selalu bergerak kearah yang berlawanan.
Source : Google |
Alexis De Tocqueville (1805-1840), seorang ilmuwan muda prancis, ketika itu berusia 25 tahun berkunjung ke Amerika dan menuangkan observasi etnografinya dalam karya yang kini menjadi “kanon klasik” yaitu Democracy in America (1835 dan 1840). Di Amerika, menurut Tocqueville, demokrasi berakar kuat, tumbuh dan berkembang atas peran agama yang signifikan. Keterpesonaan Tocqueville pada peran agama yang signifikan dalam pengembangan spirit kebebasan dan demokrasi di Amerika tidak dapat dipisahkan dari kegelisahan intelektualnya tentang apa yang saat itu terjadi dinegerinya sendiri yaitu Perancis. “diantara kita (orang Perancis), demikian pengakuan Tocquevilee. “saya melihat bahwa spirit agama dan spirit kebebasan hampir selau bergerak kearah yang berlawanan. Disini, di Amerika saya menemukan kedua spirit itu bersatu erat satu dengan yang lain”.
Karena itu, audiens pembaca yang dituju oleh Tocquevilee dalam “Democracy in America’ itu sesungguhnya bukanlah masyarakat Amerika, tetapi masyrakat Perancis sendiri yang ketika itu diharapkan mau belajar dalam menyatukan spirit agama dan spirit kebebasan. Pengalaman Tocqueville ini kemudian merubah wajah Perancis.
Apa yang dikhawatirkan oleh Tocqueville tentang Perancis, kemudia telah merubah Perancis, Perancis yang sebelumnya selalu berlawanan antara spirit agama dan spirit kebebasan, menjadi Perancis yang harmonis antara spirit agama dan spirit kebebasan, hal ini terbukti ketika Syekh Muhammad Abduh berkunjung ke Perancis pada tahun 1884.
Dalam kunjungan tersebut, teringat kata-kata yang diucapkan oleh Syekh Muhammad Abduh, Rektor Universitas Al-Azhar Mesir Kairo saat berkunjung ke Paris pada tahun 1884 (lebih dari seabad yang lalu). Disaat ia menyaksikan betapa kota Paris indah dan bersih, teratur, rapi, penduduknya bersemangat dalam bekerja, disiplin, tepat waktu, sopan, ramah dan bersahabat. Melihat demikian ia berucap :
“raaytu al-Islam wa lam ara Musliman”(Aku lihat Islam (disana), padahal aku tidak melihat orang Muslim)
Kemudian Syekh Muhammad Abduh membandingkan dengan Kairo yang berbanding terbalik dengan Paris. Penduduknya malas, jorok, jam karet, brutal, kasar dan jahat. Belum lagi melihat aktivis agama yang katanya ulama dengan berbekal dalil sebagai pembenaran agama bersikap brutal , mengganggu ketertiban dan keamanan lingkungan. Semuanya atas nama agama dan atas nama agama pula dengan mudahnya memperbanyak istri secara sirr melewati batas syariah, termasuk dengan mudah menceraikannya.
Melihat perilaku orang Kairo di atas Syekh Muhammad Abduh berucap :
“raaytu al Muslimin wa lam ara al-Islam (aku melihat banyak Muslim (di sini), tapi aku tidak melihat Islam pada diri mereka)”
Bagaimana Aceh ?
Dalam konteks Aceh saat ini, narasi ini menandakan bahwa ada persoalan krusial penting di kita ketika mengelola spirit agama dan spirit kebebasan, bahwa perlu ada pembenahan revolusioner segera dalam mengelola spirit ini agar segala kesemerawutan dan segala kekacauan akan teratasi, sehingga spirit agama dan spirit kebebasan berjalan beriringan dan harmonis. Di Aceh, spirit agama kebanyakan dipraktekkan dengan “Spirit premanisme” ketimbang “Spirit rahmatan lil’alamin” , kebanyakan dengan “spirit ancaman” dari pada “spirit edukasi”, mengapa fenomena ini terjadi ?, fenomena ini terjadi karena kekuasaan dengan segala kedangkalan dan kelemahan pemahaman keagamaanya, memberikan ruang yang teramat besar dan berlebihan pada munculnya kelompok-kelompok seperti ini, sementara kelompok-kelompok rasional lainnya yang justru pemahaman keagamaannya mumpuni, justru dimusuhi, dicurigai akibat pertemuan simbiosis mutualisme relasi kuasa.
Islam adalah akhlak terhadap sesama manusia, terhadap alam, terhadap diri sendiri dan terhadap kehidupan, dan untuk mewujudkan ini semua, tidak akan pernah bisa dilakukan dengan spirit premanisme. Islam adalah perilaku. Islam yang sebenarnya adalah akhlak kepada sesama manusia. Akhlak adalah urusan yang berhubungan dengan sesama manusia, jelas dan terukur dan dapat dirasakan oleh sesama sekaligus bersama. Adapun soal iman dan ibadah, adalah hubungan yang tidak bisa diukur karena urusan pribadi masing-masing dengan Allah SWT.
Salah satu ciri orang berakhlak adalah adanya kemampuan menyeimbangkan antara fisik (spirit perbuatan) dan psikis (spirit ijtihad). Tetapi lihat yang terjadi sekarang, begitu mudahnya umat Islam digiring untuk menyakiti sesama, merusak milik orang lain, menyiksa fisik orang lain, mempermalukan orang lain dihadapan orang banyak. Menyedihkan rasanya melihat seperti itu. Mereka berperilaku jihad fisabilillah tetapi perilakunya menyalahi logika dan moral. Melanggar kaidah hukum dan akhlak, tidak mencerminkan orang yang mempunyai daya pikir (ijtihad).
Tulisan ini hanya ingin mengajak agar akal muslim tidak terasing dari ruang dan zamannya, serta dapat berinteraksi secara lansung dengan berbagai problem – problem sekarang demi hidup yang baik dimasa depan. Karena manusia dilahirkan oleh Tuhan untuk menyembah Tuhan, bukan untuk menyembah agama. Menyembah Tuhan berarti berada dalam spirit kebebasan, sementara menyembah agama berarti berada dalam spirit keterpenjaraan, karena hidup hanya berlandaskan teks, bukan berlandaskan pada konteks.
Lalu, kapan Aceh akan berubah, sehingga spirit agamanya sejalan dengan spirit kebebasan ?